Lpmarena.com– Hari Tani diperingati setiap 24 September. Peringatan ini didasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang disahkan pada tanggal 24 September 1960. UUPA membawa amanat pemberdayaan tanah untuk kemakmuran dan kesejahteraan petani. Akan tetapi semenjak disahkannya UUPA, cita-cita kemakmuran rakyat, khususnya bagi para petani, belum juga terwujud.
Karena itu, untuk memperingati Hari Tani, sejumlah elemen mahasiswa dan pemuda melakukan demonstrasi di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Sabtu (24/09). Mereka terdiri dari berbagai organisasi, seperti Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Keluarga Pecinta Mahasiswa Demokrasi (KMPD), Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA) dan Solidaritas untuk Orang Pinggiran dan Perjuangan Kampus (SOPINK). Dalam demonstrasi ini, mereka menuntut pemerintah melaksanakan reforma agraria sesuai amanat UUPA.
Aco, salah satu massa demonstrasi dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), mengungkapkan bahwa reforma agraria sejatinya mencakup dua hal. Pertama, program penunjangan untuk penggarapan tanah.
Menurutnya, penunjangan dari pemerintah ini berupa subsidi pupuk, subsidi bibit dan pelatihan-pelatihan pemberdayaan petani. Hal ini berangkat dari kenyataan banyaknya masyarakat yang punya tanah tetapi tidak ada modal. “Dia tidak punya akses terhadap pupuk, terhadap bibit, terhadap pasar. Akhirnya tanahnya dijual karena dia tidak punya modal untuk menggarap,” kata Aco saat diwawancarai Arena (24/09).
Kedua, redistribusi tanah. Dalam hal ini, pemerintah perlu membagikan ulang tanah yang dimiliki secara lebih oleh individu. Berdasarkan data dari Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA), 68% persen tanah di Indonesia dikuasai oleh hanya 1% kelompok pengusaha. “Tanah-tanah terlantar, tanah-tanah yang terlampau luas milik kelompok penguasa, harus diredistribusikan kepada rakyat,” ungkap Aco.
Tuntutan redistribusi tanah ini juga berlaku untuk pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Wisnu, salah satu massa demonstrasi yang juga dari FPPI, UU Keistimewaan DIY melegitimasi kekuasaan sultan secara penuh untuk menjaga tanahnya sendiri. Artinya, meskipun masyarakat memiliki sertifikat tanah, mereka tetap tergusur jika ada kebijakan pembangunan pemerintah di situ.
“Padahal seharusnya UU Istimewa, pemerintah atau sultan Yogjakarta, itu dipercaya untuk melaksanakan reforma Agraria di DIY,” tutur Wisnu kepada Arena (24/09).
Jika kedua hal tersebut tidak dilaksanakan, amanat UUPA semakin sulit diwujudkan. Apalagi, dalam pandangan Aco, sejak orde baru banyak UU khusus yang menjadi cara berpolitik negara untuk tidak memberlakukan UUPA. Seperti UU Perhutanan, UU Pertambangan, UU Penanaman Modal Asing (PMA), sampai UU Cipta Kerja.
“Kita telah kehilangan semangat UUPA sejak masa orde baru,” kata Aco.
Wisnu menjelaskan lebih terperinci terkait ancaman UU Khusus ini. Menurutnya, tidak terlaksananya amanat UUPA ini bermula dari pembentukan UU PMA pada tahun 1967, yang membawa logika pembangunan dalam corak kapitalistik. Sejak saat itu, banyak pemodal asing yang berdatangan ke Indonesia.
Tak sampai disitu, lanjut Wisnu, para pemodal juga semakin meluaskan invasinya dengan pembentukan UU Perhutanan dan UU Pertambangan pada tahun 1967. Dengan ini, mereka memainkan politiknya untuk tidak melaksanakan UUPA dengan pembentukan UU tersebut. Dengan kata lain, negara hanya menjadi kepanjangan tangan dari pengusaha dan investor.
“Makanya kami menuntut pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria. Dengan dilaksanakannya reforma agraria, dengan sendirinya dia akan menyadari bahwa tanah ini adalah milik kita, kedudukan kita,” tegas Wisnu.
Reporter Jihad Maura | Redaktur Mas Ahmad Zamzama