Lpmarena.com– Rabu (28/09) Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih mengadakan acara Feminist Stage dengan tema “Membumikan Feminisme Menjalin Gerakan Keadilan dan Perdamian”. Dalam acara tersebut, disertai pula pidato kebudayaan oleh Agustina Prasetyo Muniarwati atau yang kerap disapa Nunuk. Dalam pidatonya, ia menceritakan di zaman pra-sejarah, perempuan mempunyai kedaulatan atas dirinya. Berbeda dengan hari ini, kedaulatan perempuan terkekang oleh norma-norma, lingkungan atau agama tempatnya tingal.
Dalam sejarah manusia, perempuan berdaulat atas tubuhnya dan berhak mengambil keputusan tanpa ada campur tangan dari pihak lain selain dirinya. Seperti saat terjalinnya hubungan erotis antara perempuan dan laki-laki yang menghasilkan benih, perempuan berhak untuk memelihara atau membunuh janin tersebut. Ini dilakukan atas kemauan perempuan tanpa ada norma-norma yang mengikat dirinya.
Menurut Nunuk, perempuan zaman itu dan kini berbeda. Perempuan saat ini, dikekang oleh norma-norma yang berada disekitarnya. Seperti norma berpakaian, berperilaku, bertutur bahasa dan sebagainya. Norma-norma yang dibentuk di sekeliling perempuan terjadi sedari kecil. Hal ini membuat banyak perempuan, tidak menyadari dirinya ditindas atas ketidakadilan.
“Karena secara tubuh dan biologis, perempuan memiliki sedikit perbedaan, maka lingkungan menciptakan batas-batas sedemikian rupa. Kemudian muncul pandangan bahwa pakaian dapat menjaga tubuh perempuan dari zina, padahal saat ini belum tentu perempuan yang menjaga pakaiannya terhindar dari zina,” ujar Dwi, salah satu peserta Feminist Stage, saat menjelaskan pandangannya terhadap norma-norma yang membatasi perempuan.
Lebih lanjut, Nunik menyampaikan bahwa saat ini pandangan masyarakat tentang baik-buruknya seorang perempuan ditentukan dari cara berpakainnya. Perempuan yang baik adalah mereka yang tertutup dan menjaga model busananya. Perempuan yang dikategorikan ‘nakal’ adalah mereka yang tidak dapat menjaga cara berbusananya. Masyarakat cenderung menilai seorang perempuan, tanpa melihat dirinya secara utuh sebagai perempuan.
Anggapan-anggapan miring yang didapat para perempuan menyebabkannya sulit untuk percaya diri dan membuka diri. Jika dillihat dari sejarahnya, perempuan adalah tokoh utama dalam kehidupan dengan alam. Perempuan terkoneksi dengan alam melalui kelembutan hatinya, sifat keibuannya, dan perhatian intens perempuan terhadap detail-detail kehidupan. Ini menjadikan perempuan sebagai gender pertama yang paham soal pertanian.
Dijelaskan dalam pidato Nunuk, secara peradaban perempuanlah yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan akan pertanian sebelum para lelaki. Mereka mengetahui bagaimana biji-bijian itu tumbuh, kemana arah angin, berbicara pada alam dengan kelembutan khas perempuan dan menyirami biji-biji secara telaten. Dalam budaya keluarga, segala pengetahuan dan pengalaman perempuan dibagi kepada para lelaki. Dari sinilah pergeseran peran dan mata pencaharian, dari berburu menjadi bercocok tanam.
Nia, ketua koordinasi Feminist Stage juga mengamini apa yang Nunuk sampaikan. Ia juga turut mengkritik soal perempuan yang saat ini mengalami pergerseran mata pencaharian akibat alih fungsi lahan. Menurutnya, pergeseran mata pencaharian otomatis menggeserkan peran perempuan dalam membawa kehidupan di lingkungannya. Saat ini banyak perempuan-perempuan kehilangan tempat untuk menyiram. Hal itu efek dari banyak lahan persawahan atau perkebunan yang diubah menjadi pabrik juga perhotelan. Tak sampai disitu, perempuan saat ini hanya di pandang sebagai targer market dari bisnis.
“Pengalaman perempuan adalah sebuah data yang patut dipertimbangkan, bukan hanya sebagai target pasar kapitalisme,” ungkap Nia.
Reporter Maria Ara | Redaktur Atikah Nurul Ummah