Home BERITA Menghabiskan Malam di Pasar Senthir

Menghabiskan Malam di Pasar Senthir

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com-2021 menjadi momen pertama saya menginjakkan kaki di pasar yang menyediakan berbagai barang bekas dan antik. Semua kebutuhan rumah tangga tersedia di sana, kecuali sembako dan bahan pangan. Pasar itu buka pukul 19.00-21.30 WIB saat cuaca terang. Kalau hujan, pasar akan sepi karena beberapa lapak tutup. Lokasinya di seberang Pasar Beringharjo, warga Jogja menyebutnya Pasar Senthir.

Cahaya remang-remang dan petugas parkir yang mengawai-awaikan tangan menyambut kedatangan saya pada satu malam di September lalu (21/09). Mereka berharap saya menaruh motor di kantong parkir yang mereka jaga.

Berbagai benda dagangan.

Puluhan penjual dengan bermacam-macam dagangannya, mulai dari sepatu, baju, tas, dan buku tua, menyerbu pandangan saya. Selain itu, ada juga piring, gelas; kaset, piringan hitam; hingga onderdil. Mereka menggelar karung untuk alas barang dagangannya.

“Kalau kamu cari barang, di pasar ini lengkap. Rice cooker pun ada,” ucap saya pada Bisma, fotografer yang menemani saya. Apapun ada, asal beruntung.

Bisma sibuk memotret ke sana, kemari. Dari sekian banyaknya pengunjung, beberapa orang berpenampilan nyentrik menarik perhatiannya, di antaranya, perempuan berpakaian batik hijau dan berkacamata hitam, serta penjual yang lebih mirip dukun karena berambut gondrong dan menggunakan banyak cincin. Sesekali Bisma mengarahkan kameranya ke lapak penjual.

Di salah satu lapak, terlihat penjual mengantuk karena menunggu pembeli.

Memang, pengunjung Pasar Senthir berasal dari berbagai kalangan, mulai dari kawula muda: sepasang kekasih, gerombolan anak SMA, dan mahasiswa, bahkan golongan tua pun tak mau kalah eksis meramaikan pasar. Golongan tua lebih sering duduk di pojokan atau mengobrol dengan penjual, daripada mondar mandir. Asap rokok lintingan mengepul dari sana.

“Kadang pasangan-pasangan muda datang. Kalau dulu mayoritas orang yang ke Pasar Senthir, orang yang ekonomi lemah. Tapi sekarang ada perubahan. Ya, sekarang orang-orang menengah banyak datang,” celetuk Yadi, sambil memperhatikan lalu lalang orang yang sedari tadi hanya melewati lapaknya.

Lebih dari satu dasawarsa Yadi berjualan di Pasar Senthir. Barang yang dijualnya beragam, tergantung barang apa yang dia dapatkan dari pengepul.

Di Jogja, pengepul tersebar di berbagai daerah, umumnya di Bantul dan Sleman. “Biasanya udah ada pengepul. Mereka dapat barangnya dari gudang-gudang rongsok. Kebanyakan penjual yang di sini kayak gitu. Jadi, enggak mencari barang sendiri,” jelasnya.

Malam itu, Yadi menjajakan kaset lama dan berbagai macam benda lain: buku, jaket kulit, dan beberapa printilan seperti teropong, serta aneka tumbler yang membuat saya tertarik membelinya.

“Sebenarnya di sini enggak perlu pelanggan karena setiap pembeli punya kebutuhan masing-masing. Beda dengan orang jual sembako. Kadang orang dari rumah juga enggak rencana mau beli apa, tau-tau sampai sini tertarik,” ungkap Yadi.

Dia tiba-tiba mengambil sebuah jaket kulit hitam lalu menawarkan pada saya. “Ini kulitnya belum mati, e. Jaket cewek iki sebenarnya,” ujar Yadi, menerangkan kalau jaketnya masih bagus. Saya menimpali, jaketnya bolong. Ada yang robek di bagian lengan kanan jaket tersebut.

Berjarak lima meter dari lapak Yadi, ada tiga mahasiswa dari Instiper sedang sibuk memilih barang. Mereka berada di antara kerumunan orang yang mempertimbangkan pakaian apa yang akan mereka beli.

Berulang kali Fadli membolak balik celana di tangannya, mengecek apakah celana itu masih bagus dan tidak cacat. Fadli juga meminta pendapat temannya, Roby.

“Harganya lima puluh ribu,” ucapnya sembari menunjukkan pada saya celana beludru warna biru muda yang menjadi pilihan akhirnya.

Roby memamerkan tiga cincin yang dibelinya di Pasar Senthir.

Hampir setiap malam mereka mengunjungi Pasar Senthir. Terakhir dua hari yang lalu. “Di sini harganya murah, terus antik gitu, vintage kan. Soalnya aku anaknya vintage banget,” kata Roby. 

Di jari-jari Roby ada tiga cincin. Semuanya dia beli di pasar ini. Dia membeli kedua cincinnya dua hari yang lalu. Sementara satu, baru dia beli sebelum berkeliling menemani Fadli mencari celana.

“Ini kalo cincin ya worth it, lah, harganya lima ribu,” kata Roby sambil menunjukkannya kepada saya.

Selain cincin, dia juga pernah membeli guci yang hingga kini tetap dipajang di kamar kosnya dan satu celana yang menjadi kesayangannya. “Aku pernah beli celana mereknya Versace. Itu harga secondnya aja sekitar 1,7 juta, aku dapet cuma 35 ribu,” ungkap Roby dengan bangga. 

Di lain lapak, seorang anak perempuan kelas 3 SD bernama Shinta, tak pernah absen menemani orangtuanya berjualan di Pasar Senthir; Muryadi dan Atik. Mereka duduk di atas karung dekat barang dagangannya, yakni sepatu dan buku bekas.

Belum ada seorang pun yang membeli barang dagangan keluarga mungil itu. “Tiga hari ini belum ada yang membeli. Ya, pulang dengan tangan kosong,” ungkap Muryadi.

”Jualan gini laku enggak lakunya tergantung barangnya. Kalau ada barang yang agak bagus, lakunya minimal empat puluh ribu,” imbuhnya.

Muryadi tidak mempunyai pekerjaan sampingan selain berjualan di Pasar Senthir. Dia pernah berjualan di Pasar Pingit, lalu pindah ke Jalan Magelang. Akhirnya Muryadi menjual lapaknya ke temannya dengan harga empat ratus ribu, sebelum menetap berjualan di Pasar Senthir pada tahun 2012.

Berbeda dengan Muryadi, Yadi mempunyai pekerjaan sambilan sebagai sopir lepas. Yadi menyetir ketika ada panggilan dan berjualan di Pasar Sleman ketika hari Pasaran, seperti Pon dan Wage.

Pembeli sedang memilih kaset jadul di salah satu lapak.

Bagi Yadi, berjualan di Pasar Senthir merupakan hal yang menyenangkan. “Senangnya, ya, ada tantangannya juga. Ya, tantangannya cari barangnya itu. Cari barang susah-susah gampang. Nanti kalau misalnya belinya murah bisa jualnya mahal kalau ketemu barang-barang yang langka,” ungkap Yadi. 

Suatu ketika, Yadi pernah mendapat piringan hitam dari pengepul seharga 150 ribu, kemudian dia jual kembali dan laku seharga 800 ribu.

“Yang beli kayaknya kolektor piringan. Waktu itu, saya untung berkali lipat,” katanya, senang mengingat kejadian beberapa tahun lalu.

Pembeli sedang mengecek barang dengan detail menggunakan senter ponsel.

Sebelum saya pulang, Yadi memberikan beberapa tips berbelanja di Pasar Senthir: “Tentunya, nomor satu memang apa yang dibutuhkan. Kedua, lihat kualitas barang, original atau enggak. Yang ketiga, penting tahu harga barunya berapa. Paling enggak, kan, selisihnya hampir lima puluh persen,” pungkas Yadi.

Para pembeli yang baru mengunjungi Pasar Senthir perlu menerapkan tips yang Yadi berikan. Kalau tidak, bisa kalap membeli banyak karena semua barang terlihat unik dan menarik.

Pasar Senthir tempat yang asyik dikunjungi saat senang maupun sedih. Selalu ada pengalaman menarik ketika berkunjung ke sana.

Reporter Atikah Nurul Ummah | Fotografer Bisma Aly Hakim | Redaktur Musyarrafah