Home CATATAN KAKI Untuk Urusan Sandang, Menjadi Perempuan Membuat Saya Terkatup-katup di Persimpangan Jalan

Untuk Urusan Sandang, Menjadi Perempuan Membuat Saya Terkatup-katup di Persimpangan Jalan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Dina T Wijaya

Sebagai seorang perempuan saya sadar betul, bahwa kendali atas tubuh kita masih ada di masyarakat. Penting bagi kita untuk merebutnya kembali. Memaknai sendiri pengalaman atas tubuh dan berkehendak merdeka.

Saya masih sering beranggapan bahwa persoalan bagaimana perempuan berpakaian adalah urusan personal. Jarang saya menggubris komentar manusia-manusia di luar sana perihal bagaimana saya ingin tampil, begitu sebaliknya. Memang benar penampilan kita bukanlah urusan orang lain, tapi terus-terusan diam ketika ada orang–yang sambil garuk-garuk badan–mengurusi cara kita berpakaian, itu bisa jadi bola es yang kian membesar. Apalagi bagi perempuan.

Pengalaman-pengalaman diskriminatif lantaran cara berpakaian, apapun bentuknya, tunak dialami perempuan. Payahnya ini saya sadari baru saja. Bahwa ada satu akar yang telah lama dipupuk dan menjalar ke setiap unsur kehidupan kita. Diinsafi atau tidak. Kita barangkali tak secara utuh sadar, mengapa model pakaian semacam ini yang melekat di tubuh kita. Sekonyong-konyong kita masuk kategori tertentu, dari cewek mamba sampai cewek kue. Jauh daripada itu, rasanya penting untuk kita telusur, mengapa selembar kain yang tersampir bisa punya dampak macam-macam bagi keseharian kita?

Kesadaran saya soal “berdaulat” atas penampilan justru berangkat dari konflik kecil (yang berulang) antara saya dan ibu. Soal sandangan, justru Ibu salah satu yang sering dongkol. Ia kerapkali ingin saya pakai ini-itu supaya terlihat wangun dan setidak-tidaknya terlihat berbeda. Sementara selera kami jauh berbeda. Tentu Ibu ingin anak gadisnya kelihatan necis dan mentereng daripada yang lain. Misalnya ketika mau pergi ke satu acara, ia ingin saya pakai sepatu berlapik dengan pernak-pernik mengilap seperti miliknya atau milik kakak perempuan saya. Saya sebaiknya pakai rok warna cerah, atau setelan yang sudah ia pilihkan. Ditambah perhiasan dan riasan muka. Saya pun bebal, tetap pakai setelan jarit-kebaya dan sepatu flat milik saya sendiri. Kata ibu itu buluk dan tidak gaul. Kami sering berdebat panjang hanya soal pilihan pakaian. Daripada tidak percaya diri, saya memilih terlihat buluk versi ibu. Kalau sudah begitu, tidak ada yang mencegah dan kuasa Ibu hanya berhenti di omelan, “Ah, ngeyel! Sing nyawang kui wong liyo.”

Kalimat terakhir betul juga: orang lain yang melihat kita. Alias, kalau dalam falsafah Jawa, hidup itu wang sinawang. Jadi, sudah barang lumrah kalau liyan berkomentar soal penampilan kita–karena hanya itu yang bisa dilakukan. Tapi bukan lantas berarti kita si pemilik tubuh tak bisa bertuah atas penampilan diri sendiri, kan?

Sebagai perempuan yang sudah mentas dari masa remaja begini, saya masih sukar lepas dari omongan orang tentang penampilan. Pakai celana atau rok. Pakai gamis atau kebaya. Pakai kerudung atau tidak, semua sudah gebyah uyah mendapat komentar. Dalam society kita yang sok bijak ini, penampilan kita adalah isu moral yang jadi bahan renyah buat mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan.

Namun, lama-lama saya merasa jelak. Sikap membelot tak semestinya berhenti antara saya dan ibu. Itu pun toh bukan hal yang besar. Sebab di luar sana, ragam tekanan hingga pengalaman diskriminatif terus dialami perempuan. Saya tak akan jauh-jauh sampai ke negeri Prancis atau Arab yang mewakili dua kutub: pelarangan atau pemaksaan. Dalam hal ini, erat kaitnya pembicaraan kita tentang atribut keagamaan seperti halnya kerudung–yang kemudian berkembang istilahnya menjadi jilbab.

Jilbab kini berkembang menjadi simbol kelas yang menengarai tren modis dari waktu ke waktu. Tak sedikit pula aneka produk yang ramai-ramai dilabeli “halal” atau “khusus hijaber”. Selain jadi ladang basah, ia melambangkan kesalehan, menjadi pangkal anggapan seorang individu mengalami perubahan moral. Pemakaian jilbab dengan alasan identitas agama serta ekspresi kesalehan tentu sah-sah saja, yang membuat gusar adalah ketika ia menjadi alat penghakiman dan pengucilan terhadap manusia, terkhusus perempuan.

Pernah satu momen ketika menghadiri acara pernikahan saudara, saya memakai kebaya model terbaru lengkap kain batik yang diwiru. Rambut saya separuh dikepang. Saya sungguh senang dengan gaya seperti itu dan pergi tanpa berpikir ini-itu. Sampai seorang perempuan, bude saya sendiri, berkomentar. Nada bicaranya sebenarnya bercanda, tapi bercandanya jelek. Dia menanyakan agama saya, katanya, saya beralih memeluk Kristen. Sambil makan jenang dodol, saya tak bisa menahan tawa. Komentar-komentar semacam itu tak saya dapat sekali. Berjuta-kali! Tapi saya hanya balas dengan senyum atau tertawa, atau kadang kalau momennya pas, saya jawab, “Sing penting aku bahagia.”

Sejak kecil, saya memang tumbuh di lingkungan yang tak mewajibkan berkerudung. Sampai suatu ketika, kisaran tahun 2017 di mana gelombang hijrah melanda, nampaknya saya kecipratan ombaknya juga. Di masa-masa mentas SMA, saya mengenal jilbab pelan-pelan. Alasan pertama sejujurnya adalah ingin sama seperti perempuan lain. Di banyak kesempatan, saya merasa berbeda sendiri. Bagi seorang remaja kurang gaul dengan postur menjulang dan kurus seperti saya, tampil sedikit sepadan tentu bisa jadi salah satu upaya untuk membaur. Juga, saya sebenarnya tergiur ketika menjajal kerudung beberapa teman yang sejurus kemudian bilang, “Kamu cantik kalau pakai jilbab, lho.”

Tapi saya kembali terkatup-katup di persimpangan jalan. Seorang teman di kampung, yang terbiasa melihat saya tak berkerudung tak luput berkomentar. “Wah, sekarang hijrah, Din?” atau yang kurang ajar, “Ditutup begitu gak kepanasan, Din?”

Allahu Akbar! Saya harus bagaimana?

Di masa itulah fase di mana saya lagi senang-senangnya mengubah penampilan. Dengan berkacak pinggang di depan kaca, menyampirkan kerudung di kepala, saya nyengir dan seolah-olah berkata: Saya jadi lebih baik! Shining, shimmering, splendid! Ditambah lagi, krisis identitas yang saya alami dalam masa peralihan anak SMA ke anak kuliahan membuat saya kelimpungan mencari “pegangan”. Hari-hari saya dihantui oleh kalimat suci penuh ancaman. Satu langkah anak perempuan keluar dari rumah tanpa menutup aurat, maka satu langkah juga ayah kandungnya mendekat ke dalam derasnya api neraka. Siapa yang tidak ngeri?

Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, betapa hebat menjadi seorang anak perempuan. Ia bisa menentukan surga-neraka orangtuanya! Tapi saya tak sempat mikir waktu itu, dan memilih menutup aurat dengan berjilbab. Leganya bisa menghindarkan bapak saya dari api neraka, pikir saya waktu itu. Walaupun sayangnya hingga kini masih jadi perdebatan diantara para ulama, batas aurat perempuan itu yang mana? Karena bagi beberapa orang, model berkerudung saya pun masih bisa dikatakan “kurang tertutup” alias tidak syar’i. Saya kian pusing.

Di bangku kuliah, saya masuk UIN. Awal kuliah saya cukup senang karena bisa mulai membiasakan diri berkerudung, meski hanya di kampus. Tapi ternyata itu tidak cukup. Seumur-umur saya kesulitan memakai rok panjang. Walhasil, di awal masuk kuliah selain mesti beradaptasi, saya harus tahan dengan rasa risih ketika seluruh mata tertuju pada saya, hanya karena saya memakai celana. Apalagi di setiap sudut kampus terpampang spanduk etika berpakaian “yang benar”. Spanduk itu masih berlaku hingga sekarang, meski UIN sudah membuka jalur keberagaman untuk mahasiswa lintas agama. Mahasiswi digambarkan memakai rok dan jilbab menjuntai menutup dada. Sementara laki-laki harus bercelana dan kemeja panjang. Ada satu momen di mana saban hari saya menghabiskan waktu menonton video tutorial memakai jilbab, dari yang model segi empat hingga pashmina. Hingga akhirnya saya menyerah dan tampil begini-begini saja.

Nisa Alwis dalam bukunya Puber Beragama di Negeriku menulis, ajaran agama yang tekstual menggiring pada sikap fanatik dan sempit. Mengutamakan bungkusan ketimbang isi. Pimpinan Yayasan Pesantren Darul Iman di Banten ini juga menulis, ratusan tahun kultur masyarakat nusantara memiliki pernak-pernik busana daerah yang antik. Terlepas ada kolonialisme, warga mampu berpakaian sesuai adat dan kesantunannya. Mereka memakai “jilbab” yang sesuai dengan tanah yang dipijaknya. Menurutnya ketika kain, kebaya dan selendang masuk tong sampah, diganti dengan khimar dan jubbah, kita sesungguhnya sedang membuang jati diri di negeri sendiri. Sebab Islam masuk ke satu peradaban bukan dengan mengganti pakaiannya, melainkan membaur, membawa nilai akhlak mulia, mendorong ketulusan hati, kecerdasan pikiran, dan kebaikan perbuatan.

Lalu yang berputar-putar terus di kepala saya adalah, mengapa tak sejak awal kita diajarkan berjilbab seperti model sekarang? Mengapa tren hijab begitu fluid dan berubah-ubah? Saya harus ikuti yang mana? Kalau soal ilmu jelas saya masih kurang, tapi bagaimana dengan sesepuh pendahulu kita, kan tidak mungkin mereka ilmunya cethek seperti saya.

Lucu saja ketika menyadari bahwa selama ini saya takut tampak berbeda dengan tak berkerudung,misalnya, bukan karena Tuhan yang saya cintai, tapi hanya karena tekanan komentar dari manusia lain.

Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga dalam momen perayaan Ulang Tahun ke-2 LPM ARENA tahun 1977 (Sumber foto: Arsip ARENA)

Penampilan mahasiswi UIN setelah tahun 1980-an, mereka mulai memakai hijab model “kerudung” yang masih menampakkan sebagian rambut. (Sumber foto: Arsip ARENA)

Bagaimana Mulanya Perempuan Indonesia Memakai Jilbab?

Polemik jilbab dulu sempat ramai ketika satu sekolah di Bali melarang siswinya memakai jilbab. Kini kasusnya berbeda, meskipun isunya sama (red: intoleransi). Belum ada dua bulan yang lalu, kasus pemaksaan jilbab mencuat di media. Seorang siswi SMAN 1 Banguntapan mengalami guncangan mental akibat paksaan mengenakan jilbab oleh oknum guru di sekolahnya. Ia sampai mengurung diri beberapa hari. Tak ada hitam di atas putih yang menyatakan siswi muslim wajib berjilbab, tapi sekolah tersebut mewajibkan muridnya membeli satu set seragam berisi jilbab berlogo sekolah.

Tindak diskriminatif atas nama pakaian bersimbol agama semacam ini telah dicatat selama hampir tujuh tahun, oleh Human Rights Watch. Sejak 2014, lebih dari 100 perempuan yang diwawancarai dalam laporan tersebut mengalami pemaksaan berjilbab. Laporan berjudul “Aku Ingin Lari Jauh” ini menunjukkan betapa perempuan-perempuan tak hanya mengalami pembatasan secara sosial, tapi sekaligus tekanan secara hukum atas dasar syariat Islam. Efeknya berupa ragam, tak hanya kekerasan fisik dan psikis, beberapa bahkan didepak dari lingkungan sosial maupun tempat mencari penghidupan.

Beberapa waktu lalu kita tentu mendengar kabar kematian seorang perempuan asal Iran yang memantik gelombang demonstrasi masif soal aturan jilbab. Protes masih berlangsung hingga sekarang, bahkan meluas dan memakan korban jiwa. Mahsa Amini ditangkap oleh polisi moral setempat hanya karena tak memakai jilbab sesuai aturan. Di hari yang sama, dalam status sebagai tahanan, ia sempat koma sebelum akhirnya meninggal. Di Iran, perempuan tak berjilbab benar-benar dihukum. Saya tak bisa bayangkan, jika kondisi itu juga terjadi di sini. Barangkali tak sekadar komentar verbal yang keluar, bisa saja saya ditangkap dan diperlakukan tak selayaknya manusia, bukan karena tak patuh omongan Ibu, tapi karena berpenampilan tak sesuai syariah. Ini pun tentu berlaku sebaliknya.

Baiklah.  Supaya nafas tak tersengal-sengal, kita sebagai individu perempuan agaknya patut berbangga melihat fakta bahwa selembar kain yang kita kenakan punya pengaruh besar bagi apa yang disebut sebagai simbol kesalehan (yang diformalkan). Melampaui itu bahkan, ketaatan perempuan tampil di depan publik menjadi tolok ukur pemegang kekuasaan melanggengkan otoritasnya dengan standar moral laki-laki. Lagi-lagi yang dipakai gacok adalah nilai-nilai agama. Di sinilah kemudian saya skeptis, penggunaan jilbab bergeser menjadi identitas politik belaka. Lalu pelan tapi pasti, jilbab menjadi penanda relasi kuasa jika dilihat dari fakta bahwa pelaku pemaksaan adalah pemegang otoritas yang mengontrol mereka yang di bawahnya. Meskipun beberapa ketentuan tak diatur eksplisit, tekanan yang diterima terang-terangan merendahkan pilihan perempuan.

Jika dirunut, jilbab sendiri mulai kian serempak jadi kewajiban bagi perempuan sejak Revolusi Iran tahun 1979. Peristiwa kemenangan itu dirayakan oleh negara-negara Islam lain,  termasuk Indonesia. Setelahnya disusul dengan santernya ideologi Wahabi yang ingin membawa “ajaran yang murni”. Secara politis kemudian menjadi upaya pendekatan Soeharto terhadap Islam politik pada masa itu. Penggunaan jilbab yang awalnya dilarang, mulai dilonggarkan. Sampai masa kepungkur, penggunaan atribut keagamaan ini dimasukkan dalam aturan-aturan dalam institusi formal. Dan di negeri kita ini, dari aturan-aturan formal itu kemudian merembes ke segala lini hingga sekarang.

Tahun 1970-an mahasiswi berpenampilan tanpa mengenakan jilbab dalam Kongres dan Pertemuan Ilmiah Ikatan Pers Mahasiswa (Sumber foto: Arsip ARENA)

Seorang mahasiswi dalam Kongres dan Pertemuan Ilmian Ikatan Pers Mahasiswa sekitar tahun 70-an (Sumber foto: Arsip ARENA)

Mulanya di Aceh, pemberlakuan peraturan daerah “syariah” yang mewajibkan jilbab di sekolah kemudian menular ke berbagai daerah di Indonesia, seperti di Jawa dan Sumatra pada tahun 2001. Kabupaten Indramayu disusul Provinsi Banten menjadi yang pertama mengeluarkan peraturan wajib jilbab. Aturan ini pun berkembang, ketika pertengahan 2014 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Mohammad Nuh, mengeluarkan aturan yang dimaknai bahwa semua siswi muslim wajib berseragam jilbab.

Husein Muhammad, yang menulis buku Fiqh Perempuan pernah mengatakan dalam satu diskursus mengenai aurat perempuan, bahwa teks apapun bentuknya, Qur’an, hadist, pendapat para ulama adalah respons atas kasus dan peristiwa di dalam ruang dan waktu kebudayaan. Oleh karena kebudayaan terus berubah, maka pemaknaannya tentu akan berbeda-beda.

Daripada menghabiskan energi mengurusi urusan permukaan, perkataan Husein Muhammad perlu kita patri dalam benak. Bahwa penampilan bukan hanya ublek pada masalah pakaian yang menjaga kehormatan diri, tapi berkelindan dengan aktivitas aktualisasi diri sesuai dengan konteks sosialnya.

Tragedi Mahsa Amini dan banyak kasus diskriminasi terhadap perempuan itu semua mestinya menjadi peringatan. Pilihan-pilihan pribadi yang dipaksakan, hingga ke tataran sistematis, adalah pelanggaran hak asasi manusia.

Pada akhirnya, sebagai seorang perempuan saya sadar betul, bahwa kendali atas tubuh kita masih ada di masyarakat. Penting bagi kita untuk merebutnya kembali. Memaknai sendiri pengalaman atas tubuh dan berkehendak merdeka. Serta yang jauh lebih penting dari itu, memaksa memakai jilbab maupun melarangnya, dua-duanya jelas menyakiti keberagaman pengalaman perempuan.

Correct me if I’m wrong.

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi dan Pemimpin Redaksi LPM Arena | Ilustrator Dzaky Samsul Anwar