Home BERITA Kepemimpinan Perempuan dalam Film “Pesantren”

Kepemimpinan Perempuan dalam Film “Pesantren”

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.comLantunan-lantunan Arab yang dibaca santri menjadi permulaan film dokumenter berjudul “Pesantren” dalam Bioskop Mahasiswa, Kamis (27/10). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Jemaah Cinema Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga untuk merayakan ulang tahunnya, sekaligus memperingati Hari Santri Nasional.

Rilis tahun 2019, film tersebut berlatar Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy,  Cirebon. Berbeda dengan pondok pesantren umumnya yang dipimpin oleh seorang kiyai, pimpinan ponpes Kebon Jambu merupakan sosok perempuan, namanya Masriyah Amva.

Film “Pesantren” ini mengusung isu gender, satu di antaranya narasi tentang kepemimpinan yang harus dipegang oleh laki-laki saja. Beberapa adegan menggambarkan pikiran patriarki yang tumbuh subur dalam masyarakat Indonesia.  Masyarakat masih menganggap perempuan hanya bertugas di rumah dan memandang sebelah mata perempuan yang memimpin. 

Husein Muhammad, dalam salah satu adegan, menampik narasi tersebut. Menurutnya, kepemimpinan laki-laki bukanlah hal mutlak karena laki-laki hanya mempunyai kelebihan di satu sisi.

“Ayat Al-Qur’an yang mengatakan laki-laki menjadi pemimpin, memiliki lanjutan, yaitu melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain. Ayat tersebut mengatakan ‘sebagian’ dan berindikasi bahwa terdapat kelebihan lain yang dimiliki perempuan,” terangnya.

Mengenai film tersebut, Nafisatul Mu’awwanah, pemateri dalam diskusi menjelaskan bahwa feminisme bukan urusan gender, laki-laki pun bisa menjadi feminis ketika dia punya prinsip kesetaraan gender. Demikian halnya dalam kepemimpinan. Kepemimpinan bukan soal gender, melainkan tentang kelayakan dan kinerja seorang dalam memimpin suatu kelompok.

Hal tersebut berkaitan erat dengan stereotip bahwa perempuan hanya pantas menjadi ibu dan istri. “Pada awalnya, yang memiliki akses untuk belajar di pondok adalah laki-laki saja. Namun sejak tahun 1910, pendidikan pesantren dibuka juga untuk perempuan. Namun hal tersebut hanya untuk membentuk seorang ibu dan istri yang baik saja,” terang Nafisah.

Lebih lanjut, Muhammad Yaser Arafat, pemateri diskusi film, melihat permasalahan kesetaraan gender dengan kacamata kebudayaan.  “Terdapat konteks ahistoris dalam film tersebut. Kita tidak bisa selalu mengatakan semua yang berbau Arab relevan dengan Islam” kritiknya.

Dalam nalar Wali Songo, Nabi Muhammad disebut sebagai An-nabi al-ummi, yakni Nabi yang memiliki sifat keibuan. Artinya, dalam mengayomi kelompok atau masyarakat diperlukan sifat keibuan. Prinsip seperti itu tidak ada dalam kebudayaan Arab.

Menurut Yaser, di Indonesia, agama harus sejalan dengan kebudayaan yang ada. Ketika ada kebudayaan berasal dari Arab dan tidak relevan dengan budaya masyarakat, maka tidak bisa diterapkan.

Reporter Ahmad Fauzi | Redaktur Musyarrafah