Lpmarena.com–Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) menyatakan penolakan atas terbitnya surat Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM yang melegalkan penambangan Batu Andesit di Wadas tanpa izin. Gugatan ini mereka sampaikan dalam konferensi pers di LBH Yogyakarta pada Rabu (02/11).
Surat tertanggal 28 Juli 2021 tersebut perihal “Tanggapan atas Permohonan Rekomendasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembangunan Bendungan Bener” tersebut, menyatakan bahwa pengambilan material tambang yang dilakukan di Desa Wadas tidak memerlukan perizinan. Alasannya pemenuhan kebutuhan material Bendungan Bener tidak untuk kepentingan komersial.
Dhanil Al Ghifary, perwakilan dari LBH Yogyakarta yang turut mendampingi masyarakat Desa Wadas menegaskan tidak ditemukan klausul atau pasal yang memperbolehkan pertambangan dilakukan tanpa adanya izin. Dhanil merujuk pada UU Nomor 4 Tahun 2009 dan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambanganan Mineral dan Batubara (Minerba) beserta aturan turunan lainnya. Menurutnya setiap badan atau lembaga, kelompok, dan perorangan yang ingin melakukan kegiatan pertambangan diwajibkan mengurus perizinan.
“Apa yang dilakukan Dirjen Minerba Kementerian ESDM ini, seolah-olah memposisikan diri sebagai hukum, dan bertindak secara sewenang-wenang,” kata Dhanil.
Hal inilah yang menggerakkan Gempa Dewa didampingi Solidaritas untuk Wadas melayangkan gugatannya kepada PTUN Jakarta. Marsono, sesepuh Desa Wadas yang hadir dalam konferensi siang itu berharap Mahkamah Agung (MA) memberi perhatian khusus terkait upaya hukum yang diperjuangkan warga Wadas.
“Kami Warga Wadas tidak ingin ruang hidup kami dirusak. Katanya negara mau menyejahterakan masyarakat. Namun, sampai detik ini negara terus berusaha merusak ruang hidup kami,” ujarnya.
Hingga kini warga masih merasakan dampak nyata kegiatan pra-penambangan, terlebih pengaruhnya terhadap mata pencaharian. Pembebasan lahan produktif milik warga mengakibatkan hilangnya sebagian besar pendapatan warga yang bergantung sepenuhnya pada hasil perkebunan.
Hasil riset evaluasi ekonomi yang dilakukan Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih bersama Wadon Wadas mengungkapkan bahwa rata-rata pendapatan Warga Wadas sebesar 75 juta dalam setahun. Lebih-lebih, sepanjang hidupnya Warga Wadas bisa memiliki pendapatan sebesar 1 milyar. Ini dinilai tak sebanding dengan ganti rugi yang diberikan pemerintah.
Tidak hanya kerugian dari segi ekonomi, ruang hidup warga juga akan terampas. Hal ini mengingat Desa Wadas termasuk wilayah yang rentan terjadi bencana alam apabila kegiatan pertambangan tetap dilakukan.
Siswanto, perwakilan dari Pemuda Wadas mengatakan situasi Desa Wadas hari ini cukup menekan, pihak pemerintah menggunakan pendekatan ‘halus’ seperti silaturahmi, pemberian bantuan kepada warga sebagai upaya untuk melemahkan warga.
“Upaya yang dilakukan pemerintah ini sebagai framing bahwa Warga Wadas sudah guyub rukun, tidak ada pro-kontra ataupun perlawanan. Padahal, sampai hari ini Warga Wadas tetap konsisten untuk memperjuangkan tanahnya,” pungkas Siswanto.
Sidang pertama pun akan digelar pada tanggal 8 November 2022 mendatang. Pasca konferensi pers, mereka menyurati MA dan KY untuk meminta diberikan hakim terbaik dalam menangani perkara.
Reporter Yudhistira Wahyu Pradana | Redaktur Dina Tri Wijayanti