Lpmarena.com-Kekerasan terhadap perempuan menjadi isu yang disorot dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II. Isu tersebut diulas dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), Jumat (25/11) di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara.
Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan, menyayangkan pada HAKTP tahun ini, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Dia mengungkapkan hingga bulan November ini, ada 3081 kasus kekerasan yang dilaporkan padanya. Lebih dari setengahnya merupakan tindakan kekerasan seksual.
“860 kasus terjadi di ruang publik. Sisanya lebih banyak di ruang personal,” terang Andy.
Jumlah tersebut tentu memunculkan kekhawatiran yang besar. Namun di sisi lain, jumlah itu juga menunjukkan keberanian korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Andy pun mengapresiasi karena hal itu dapat membantu proses penanganan kasus dengan baik.
Meski demikian, Andy berharap kasus kekerasan pada perempuan tidak terjadi lagi. Menurutnya, konsep kesetaraan yang berprinsip kesalingan harus dapat terealisasi secara substantif. Prinsip kesalingan berasal dari keyakinan bahwa semua makhluk setara di hadapan Tuhan.
“KUPI sejak awal berkomitmen agar kiprah perempuan setara dengan laki-laki dalam berbagai isu sosial, kemasyarakatan, dan kebangsaan,” tutur Andy.
Alissa Wahid, Direktur Nasional Gusdurian, menjelaskan penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan adalah ketidakadilan gender yang “memenjarakan” jenis kelamin tertentu. Hal itu berimplikasi pada bentuk relasi yang timpang.
Menurut Alissa, kondisi di atas tidak sesuai dengan perspektif agama, khususnya Islam. Untuk itu, “KUPI melakukan rethinking, yakni penyusunan mental model baru yang lebih sesuai dengan dasar keagamaan,” terangnya.
Selain relasi yang timpang, salah satu akibat dari ketidakadilan gender lainnya adalah femisida, yaitu pembunuhan terhadap perempuan karena dia “perempuan”. Dwi Yuliawati Faiz, Kepala Program UN Women, memaparkan bahwa femisida terjadi karena konstruksi sosial yang menganggap pelecehan, perkosaan, hingga pembunuhan ialah keniscayaan bagi manusia bergender perempuan.
Dwi menganggap femisida merupakan bentuk kekerasan paling kejam. “Norma-norma seperti inilah yang di hari (HAKTP) ini harus kita perangi bareng-bareng,” tegasnya dalam konferensi pers yang sama.
Lebih lanjut, menurut Dwi, untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan tidak cukup dilakukan secara hukum saja. Penting juga tindakan pencegahan agar tidak terjadi kekerasan. “Itu menjadi PR kita bersama,” terangnya.
Dia berharap KUPI dapat menjadi gerakan sosial yang dipimpin oleh perempuan yang maju, berkembang, dan menjadi pionir peradaban.
Reporter Ahmad Zamzama Nuruddin | Redaktur Musyarrafah | Sumber foto: Tim Media KUPI II