Lpmarena.com – Perjalanan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) kini memasuki tahun ke-19. Dalam dokumen Urgensi dan Pokok-Pokok Pikiran Pengaturan Penyusunan RUU PPRT sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai RUU prioritas tahun 2020. Namun hingga saat ini, pemerintah tak kunjung mengesahkannya.
Luluk Nur Hamidah, Anggota DPR-RI, dalam Focus Group Discussion (FGD) Kongres Ulama Perempuan Indonesia II (KUPI) bertema “Merumuskan Strategi Bersama untuk Percepatan Pengesahan RUU PPRT” (24/11), menjelaskan salah satu penyebab mandeknya RUU tersebut ditengarai adanya konflik kepentingan kelas.
“Kendalanya adalah meyakinkan kelas menengah, termasuk di dalamnya pengambil kebijakan karena mereka merasa tidak ada keterhubungan batin dengan Pekerja Rumah Tangga yang dianggap kelas bawah,” terang Luluk.
Salah satu hak PRT di dalam RUU adalah kebebasan berserikat. Disaat mereka terorganisir dan menuntut terpenuhinya hak-hak yang lain, para pemberi kerja menganggap hal itu sebagai ancaman yang mengganggu status quo mereka.
RUU PPRT juga dianggap merusak budaya gotong royong dan kekeluargaan. Padahal dengan aturan tersebut, pekerja rumah tangga akan aman dari tindak kekerasan dan hubungan kekeluargaan dengan pemberi kerja akan semakin erat.
Selama ini, komunikasi pemberi kerja dengan PRT bersifat dua arah. Pemberi kerja berposisi sebagai pesuruh, sedangkan PRT hanyalah yang disuruh. Namun dalam realitanya, pemberi kerja sangat bergantung pada kehadiran PRT.
Selain itu, RUU PPRT dianggap hanya mewakili satu kelas saja. Berbeda dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPK-S) yang bersifat universal. “Hak pekerja rumah tangga belum dianggap sebagai hak memenuhi dasar manusia,” ujar Luluk.
Persepsi masyarakat masih menganggap PRT sebagai pembantu. Akibatnya, mereka tidak mendapat upah layak, jaminan sosial, dan pendidikan. Untuk itu perlu adanya pengakuan identitas “pekerja” agar PRT mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai amanat UUD 1945, Pasal 27 Ayat (2).
Senada dengan Luluk, Ari Ujianto, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga, dalam FGD yang merupakan rangkaian acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia, mengungkapkan pentingnya penggunaan istilah yang tepat untuk mengubah persepsi masyarakat.
Sulitnya pengakuan masyarakat terhadap PRT berhubungan dengan sejarah. Sejak dulu, di Pulau Jawa, stilah yang dipakai adalah jongos dan babu. Hanya kepatuhan yang mereka miliki: bekerja apapun yang diperintahkan oleh majikannya.
“Istilah ini penting karena mengandung ideologi. Kalau pembantu disebut pekerja, maka akan muncul pengakuan dan hak-haknya akan terpenuhi,” terang Ari.
Ari memberi satu contoh kasus: seorang PRT di Semarang tersengat listrik saat sedang mengangkat jemuran. Tangannya diamputasi. Di Jakarta bahkan ada yang meninggal karena digigit anjing majikannya.
Sejatinya PRT merupakan kelompok rentan mendapat kekerasan, mulai verbal, psikis, hingga fisik. Untuk itu perlu payung hukum yang mengatur jenis pekerjaan, jam kerja, hingga upah layak. Ari berharap RUU PPRT segara disahkan sebelum 2023.
“Isu PRT adalah masalah kemanusiaan. Kalau tidak sekarang, tahun depan akan riskan karena sudah masuk tahun pemilu,” ujar Ari.
Dalam fikih Islam, pekerja rumah tangga setara dengan pekerjaan lain. Tidak ada stratifikasi sosial. Abdullah Aniq, pengurus Lembaga Bahtsul Masail PBNU (LBM PBNU), menegaskan bahwa melindungi pekerja rumah tangga merupakan syariat Islam. Di dalam fikih, PRT termasuk dalam al ajir al khasyi, yakni orang yang bekerja dengan akad yang jelas, mulai dari waktu bekerja hingga upah.
“Dalam Islam, PRT tidak bisa dipandang sebagai pekerjaan kelas dua. Derajat semua pekerjaan sama, antara PRT dengan legislatif misalnya,” terang Abdullah.
Abdullah merujuk pada kisah dalam Sohih Bukhari. Suatu ketika, Nabi Muhammad bertemu dengan seseorang yang menghina budaknya. Kemudian Nabi berkata bahwa orang yang merendahkan seorang yang bekerja di rumahnya (PRT), berarti di dalam dirinya masih ada sifat jahiliyah.
Nabi menyebut hubungan pemberi kerja dengan PRT ‘ikhwanukum khawalukum’. Ikhwan artinya saudara, sedang khawal ialah Pekerja Rumah Tangga. Secara semantik, menurut Abdullah, kata ikhwan yang terletak di awal menunjukkan relasi kesetaraan antara pemberi kerja dengan PRT.
Tak berhenti di situ, lanjut Abdullah, Nabi juga bersabda,”Jika ada yang bekerja di rumahmu, maka berilah dia makan dengan apa yang kau makan, pakaian yang sama, dan janganlah memberi beban yang tidak bisa dia lakukan.”
“Tidak boleh dibeda-bedakan,” pungkasnya Abdullah.
Reporter Musyarrafah | Redaktur Aulia Iqlima V | Foto Qothrunnada Anindya (LPM Himmah)