Home BERITA KUPI II: Komitmen Ulama Perempuan Indonesia dalam Merawat Lingkungan

KUPI II: Komitmen Ulama Perempuan Indonesia dalam Merawat Lingkungan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com—Isu lingkungan menjadi bahasan utama dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II. Urgensi isu ini dinilai sebagai bentuk pengamalan prinsip kesemestaan dari tiga prinsip lain: keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Salah satu sebab kerusakan lingkungan adalah perilaku manusia modern, seperti halnya perilaku konsumtif yang menyebabkan timbunan sampah plastik. Nur Arfiyah Febriani, salah satu pembicara dalam halaqah umum bertajuk Gerakan Ulama Perempuan Indonesia: Paradigma, Tantangan dan Peluang Gerakan  tersebut mengatakan bahwa kerusakan ialah bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan(25/11).

Nur mengadopsi salah satu ayat Al-Quran, bahwa ketika manusia memiliki potensi untuk merusak lingkungan—baik laki-laki maupun perempuan—berkewajiban  melakukan konservasi.

Bumi dinilai oleh Nur memiliki sifat yang sama dengan perempuan, sehingga rentan terhadap kerusakan akibat perilaku laki-laki. Tetapi, di era sekarang, perempuan juga memiliki potensi yang sama untuk merusak lingkungan. Potensi ini berkelindan dengan konstruk feminin dan maskulin yang seolah hanya dimiliki laki-laki atau perempuan.

Padahal itu konstruk yang tidak terbatas pada satu jenis kelamin. Seseorang yang memiliki sikap feminin positif akan memiliki karakter yang mampu menebar kenyamanan terhadap lingkungannya. Sementara sikap maskulin positif ditandai oleh kebijaksanaan, prestasi dan memiliki sikap revolusioner.

“Sikap arogan dan dominasi adalah bentuk maskulin negatif, ini bisa dimiliki siapapun, laki-laki dan juga perempuan,” lanjutnya.

Gerak Nyata di Lingkup Pesantren

Dalam forum tersebut dibahas pula bentuk gerakan nyata terkait isu lingkungan. Satu hal yang digarisbawahi ialah pembagian peran yang adil. Bukan hanya perempuan, anak dan suami pun dapat turut berkontribusi untuk perbaikan lingkungan, khususnya persoalan sampah.

Menurut data yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total timbunan sampah mencapai 30 juta ton per tahun 2021. Dilihat dari jenisnya, 17,5% adalah plastik dan 39,9% merupakan sisa makanan. Sumber sampah paling besar berasal dari rumah tangga yakni 40,8%.  Karenanya sampah perlu diolah secara tepat sehingga tidak berakhir sia-sia. Pengelolaannya dapat dilakukan dengan memilahnya terlebih dahulu.

Contoh aksi nyata pun sudah dilakukan oleh warga Desa Panggungharjo, Bantul. Wahyudi selaku Kepala Desa yang hadir dalam kongres mengatakan, bahwa dalam upaya tersebut, diperlukan perubahan radikal perilaku masyarakat.

“Kalau kulit buah itu bisa dijadikan kompos, sedangkan kardus dapat dikumpulkan untuk dijual,” kata Nur saat diwawancarai ARENA di panggung utama KUPI 2 terkait pengelolaan lingkungan.

Dengan pemilahan yang tepat, sampah dapat menjadi komoditas yang memiliki nilai jual dengan tetap membawa misi keberlanjutan lingkungan hidup. Penyadaran terhadap masyarakat terkait sampah merupakan hal penting yang bisa dimulai dari keluarga dan lingkungan terdekat. Seperti di lingkungan pondok pesantren Desa Panggungharjo.

“Kami bekerja sama dengan pondok pesantren di lingkup desa, seperti PP Al-Munawir yang rata-rata setiap harinya menghasilkan 2 ton sampah per hari, 40% sampah bernilai jual, 40% organik dan sisanya adalah residu,” timpal Wahyudi.

Pada sesi lain, Khatibul Umam salah satu Pimpinan Pondok Pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk, menyampaikan dalam kongres bahwa kampanye terhadap lingkungan sudah mereka galakkan sejak tahun 1977. Saat ini pun mereka memakai kurikulum berbasis lingkungan.

“Kurikulum itu berisi isu-isu lingkungan seperti seri energi, pangan, sanitasi air, masalah sampah dan masalah gerakan itu sendiri,” terangnya saat diwawancarai ARENA (24/11).

Lebih lanjut, Umam mengatakan bahwa ragam aturan gaya hidup berkelanjutan pun diterapkan di lingkungan pesantren, seperti menghindari pemakaian plastik kemasan. Gerakan ini pun tak berhenti pada kampanye membuang sampah pada tempatnya, tapi juga upaya mengurangi produksi. Misalnya dengan adanya komunitas pesantren seperti Pemulung Sampah Gaul yang didinisiasi santri perempuan.

 “Semoga tema-tema lingkungan yang diangkat oleh KUPI bukan hanya sebatas isu, namun juga bisa diterapkan secara nyata,” pungkas Umam.

Reporter Ahmad Zubaidi | Redaktur Dina Tri Wijayanti