Home BERITA Redup-Redam Upaya Wujudkan Ruang Aman di Kampus Putih

Redup-Redam Upaya Wujudkan Ruang Aman di Kampus Putih

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Upaya dalam mewujudkan ruang aman di kampus putih masih menyisakan tanda tanya buat publik, penyintas, saksi dan gerakan kolektif yang berjuang mengadvokasi. Fokus pelayanan yang ada selama ini pun dilakukan tanpa SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang disahkan.

Lpmarena.com-Penanganan dan pencegahan kekerasan seksual, termasuk di tingkat Perguruan Tinggi, telah diatur dalam berbagai regulasi, mulai dari Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama No. 5494 Tahun 2019, Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022, bahkan sudah ada UU TPKS yang disahkan pada 12 April lalu. Namun UIN Sunan Kalijaga tak kunjung mengesahkan SOP Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual sebagai bentuk aturan permanen dalam upaya penanggulangan kekerasan seksual di kampus.

Dua tahun terakhir, tak ada pemberitaan terkait pelecehan dan kekerasan seksual di UIN Sunan Kalijaga. Kalaupun ada, kabar itu hanya berhenti dari desas ke desus antara mahasiswa. Apakah ini merupakan bukti bahwa UIN Sunan Kalijaga sudah menjadi ruang aman dari pelecehan dan kekerasan seksual?

Masih segar di ingatan kita, kasus pelecehan yang menimpa Kiran (bukan nama sebenarnya), mahasiswi UIN Sunan Kalijaga. Meski kini menguap, kasus yang meruak pertengahan Februari tahun 2020 itu sempat ramai dan menimbulkan berbagai respons dari kalangan mahasiswa. Salah satu kolektif di kampus yang mengawal langsung adalah Srikandi UIN Sunan Kalijaga.

ARENA melalui tim project #RuangAmanKampusPutih pun menghubungi Laili Isna Fatkhurrahman, salah satu pendiri Srikandi UIN. Kami meminta keterangannya terkait pengalaman mengadvokasi kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus putih saat membentuk aliansi Gayatri. Laili, menjelaskan Srikandi merupakan lingkar studi yang ia dirikan bersama dua orang koleganya pada 2018 lalu. Langkah itu berawal dari kegelisahan mereka melihat minimnya gerakan yang berfokus pada isu perempuan dan gender di kalangan mahasiswa. 

“Aku pengen adanya komunitas yang lahir secara organik dari mahasiswa,” kenangnya saat diwawancarai via daring pada Minggu (27/11).

Kegiatan Srikandi pada mulanya diisi dengan diskusi buku, bedah film, dan agenda lain yang berkaitan dengan isu perempuan dan gender. Seiring berjalannya waktu, pada awal tahun 2020 mereka mendapatkan aduan kasus pertama kalinya melalui media sosial Instagram. Kasus kiran merupakan laporan pertama yang diterima Srikandi. Pada saat itu pun, kampus belum mempunyai Satuan Tugas dan SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Menurut kronologi yang diunggah dalam akun tersebut, terduga pelaku ialah seorang pengampu mata kuliah.  Kejadian itu berlangsung ketika ia dan seorang temannya berkunjung ke rumah dosen. Di sana Kiran mengalami pelecehan secara fisik. Penyintas yang masih berstatus mahasiswa baru kala itu mengaku tak berani berkutik, pasalnya ia khawatir terduga pelaku menggunakan jabatannya untuk mengancam.   

“Saat muncul kasus itu, belum ada satgasnya dan SOP-nya, belum ada ikhtiar kampus untuk itu,” kata Laili.

Berdasarkan informasi dari unggahan Instagram Srikandi, rumor beredarnya kasus pelecehan yang menimpa Kiran diperoleh dari akun Instagram @uinsuka.curhat. Tangkapan layar itu kemudian diunggah ulang dalam akun Srikandi pada 17 Februari 2020. 

Pada hari yang sama Srikandi langsung terhubung dengan penyintas. Sehari setelahnya mereka menemui Kiran. Ia mengisahkan pelecehan yang ia alami. Kemudian pada 19 Februari, Srikandi membentuk Gayatri. Aliansi ini menjadi upaya advokasi kasus Kiran sekaligus sebagai respons untuk mengambil langkah strategis dalam mengawal isu kekerasan seksual di UIN Sunan Kalijaga.

Advokasi yang diinisiasi oleh Srikandi dan Aliansi Gayatri mengalami sekelumit cerita panjang. Berdasar keterangan Laili Isna Fatkhurrahman, yang saat itu merupakan anggota Srikandi, Aliansi Gayatri merupakan gerakan advokasi yang melibatkan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas dan Fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), organisasi mahasiswa serta Pusat Studi Wanita (PSW) selaku lembaga yang berfokus pada kajian perempuan dan isu kesetaraan gender. 

Ragam upaya pengawalan kasus sudah ditempuh. 9 Maret 2020, perwakilan dari Aliansi Gayatri dan PSW mengadakan audiensi dengan pihak rektorat. Regulasi penanganan kekerasan seksual pun disepakati dengan meratifikasi keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 tahun 2019 Tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Adapun pertemuan kala itu dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan. Waryono Abdul Ghafur selaku WR III bersama Witriani selaku perwakilan dari Pusat Studi Wanita (PSW) pada masa itu pun turut dalam tim penyusun draf Standar Operasional Prosedur (SOP) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditargetkan selesai dalam dua bulan.

Dua bulan berlalu, tepatnya 10 Mei 2020, aliansi Gayatri kembali melakukan audiensi. Namun diketahui bahwa draf SOP belum final. Sebulan setelahnya, 5 Juni, Gayatri kembali meminta kejelasan terkait draf tersebut, namun jawaban masih sama. Belum final dan masih direvisi.

Mahasiswi lulusan Bahasa dan Sastra Arab itu mengungkapkan bahwa pihaknya telah mendesak kampus untuk membuat SOP. Namun setelah menunggu selama tiga bulan semenjak audiensi, acuan itu tak kunjung disahkan. 

Kasus Kiran menurut Laili merupakan pemantik bagi penyintas lainnya untuk berani menyuarakan pengalaman traumatik yang pernah mereka alami. Pasca kasus Kiran naik ke permukaan, Srikandi mendapat 4 laporan kasus kekerasan seksual di kampus. Aduan itu mereka peroleh melalui hotline dan call center yang mereka sediakan.

Data tersebut, kata Laili, mestinya menjadi alarm darurat bagi kampus. Pasalnya pada waktu itu UIN Sunan Kalijaga tak kunjung menyediakan layanan penanganan dan SOP Pencegahan dan Penangan bagi sivitas akademik. Keberanian para penyintas untuk berani bicara pasca kasus Kiran merupakan bentuk desakan agar SOP disahkan.

“Pas itu akad kita ke korban yang speak up ini, untuk disampaikan ke PSW dan rektorat berkaitan dengan urgensi penyusunan SOP.”

Di lain sisi, ia menilai ketersediaan lembaga yang berfokus pada isu perempuan dalam organisasi mahasiswa tak serta merta menjanjikan ruang aman di kampus putih. Seperti halnya Kopri PMII, Kohati HMI, Immawati IMM dan divisi pemberdayaan perempuan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema).

Aliansi Gayatri menghadapi beberapa kendala saat pengadvokasian, mulai dari kurangnya sumber daya anggota, masalah periodesasi kepengurusan, hingga kurang terbentuknya solidaritas yang kuat. Laili juga menyayangkan keterlibatan banyak pihak dalam advokasi yang menjadikan pergerakan Gayatri tak efektif. Menurutnya keterlibatan beberapa organisasi mahasiswa beserta jajarannya tak melahirkan dukungan dan kepedulian, tetapi malah hanya berhenti di rasa penasaran atau sekadar menjalankan himbauan dari atasan.

PLT dan Kepercayaan Publik atas Layanan Kasus Kekerasan Seksual di Kampus

Hingga kini, upaya advokasi yang dilakukan Srikandi dan Aliansi Gayatri tak jelas duduk perkaranya. Meninggalkan tanda tanya. Lampau setahun kemudian kisah Kiran dan penyintas lainnya redup. Suasana seolah normal, laman media sosial Srikandi hanya diisi dengan informasi agenda diskusi, ucapan seremonial serta hasil survei terkait kekerasan seksual dan pelantikan pengurus baru. 

Hingga pada 10 Maret 2021—bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional—Pusat Layanan Terpadu (PLT) Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual UIN Sunan Kalijaga diresmikan.  Pembentukannya mengacu pada Surat Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nomor 187.2 tahun 2020.

Apa luka lama telah pulih?

Tuntutan para penyintas terkait pengesahan draf SOP tak kunjung dipenuhi. Walhasil pemenuhan hak korban dan penindakan terduga pelaku pun belum jelas ujung pangkalnya meski telah berdiri PLT.

Kewenangan PLT pun terbatas. Jika terdapat kasus, PLT hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada pimpinan kampus. Lembaga ini tak memiliki otoritas untuk melakukan penyidikan hingga memberi putusan atas penindakan pelaku. Arah gerak mereka–mengacu pada SK Peraturan Rektor–kini berubah dari penanganan menjadi sebatas advokasi melalui mediasi.

Pihak mereka sepakat ranah advokasi hanya ada pada lingkup kampus. Jika terdapat penyintas yang ingin membawa kasus mereka ke hukum, PLT sekadar memberi informasi atau menjadi penghubung dengan pihak terkait, misalnya Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) yang merupakan jaringan internal mereka di UIN Sunan Kalijaga.

Witriani, ketua Pusat Layanan Terpadu (PLT) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, menjelaskan bahwa PLT hanya fokus pada pencegahan. Upaya tersebut diwujudkan misalnya melalui workshop relasi sehat, pembekalan kode etik KKN serta sosialisasi melalui selebaran dan poster layanan aduan.

“PLT sudah berusaha melakukan berbagai upaya agar menciptakan ruang aman,” jelasnya via daring pada Sabtu (03/12).

Project #RuangAmanKampusPutih pun mengadakan survei terkait ruang aman di lingkungan kampus UIN Sunan Kalijaga. Ruang aman yang kami maksud ialah kondisi yang kondusif dan inklusif, dimana nilai kehormatan dan penghargaan atas setiap orang tidak diusik, direndahkan, ataupun direnggut haknya karena ketimpangan relasi kuasa. 

Survei ini dibuat untuk meninjau tingkat kesadaran serta pengetahuan warga UIN atas isu ruang aman di lingkup kampus. Menyangkut penanganan kasus, pendampingan dan perihal keberlanjutannya. Survei ini berangkat dari pertanyaan: Sejauh mana layanan yang ada mengadvokasi isu kekerasan seksual di kampus UIN Sunan Kalijaga? 

Dalam rentang waktu 28 November hingga 5 Desember 2022, kami memperoleh 74 responden. Jumlah responden laki-laki dan perempuan sama, masing-masing mencapai 48,6% dari keseluruhan responden yang ada. Sementara 2,7% di antaranya tak berkenan menyebutkan. 

Mayoritas responden, yakni 93% merupakan mahasiswa S1. Sisanya 4,1% mahasiswa S2 dan 2,7 % alumni. Mereka tersebar di fakultas yang berbeda. Sebanyak 22 responden dari Fakultas Syariah dan Hukum, 12 Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, 6 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, 4 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, 4 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, 7 Fakultas Sains dan Teknologi, 8 Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, 9 Fakultas Sosial dan Humaniora dan 1 responden dari Pascasarjana. 

Pada bagian awal survei #RuangAmanKampusPutih, kami menanyakan tingkat pengetahuan para responden terkait bentuk-bentuk tindakan pelecehan dan kekerasan seksual di lingkup kampus. 

Berdasarkan pengakuan para responden, lebih dari separuh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga sudah mengetahui bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan seksual di lingkup kampus.

Kendati, hal tersebut belum juga bisa menjadi tolok ukur kampus dikatakan sebagai ruang aman menurut mereka. Karena faktanya 75,7% atau sebanyak 56 dari responden menjawab belum.

Menanggapi hal ini, Witriani selaku ketua PLT pun tidak mengetahui pasti kondisi ketersedian ruang aman yang ada di UIN Sunan kalijaga. Menurutnya standarisasi ruang aman tidak berpatokan pada jumlah kasus, melainkan penyediaan layanan bagi para penyintas, seperti Pusat Layanan Terpadu.

“Ini (PLT) bentuk upaya kampus agar responsif dan kemudian mengangkat bahwa kita peduli dengan persoalan ini,” jelasnya saat dihubungi ARENA (03/12).

Namun hal tersebut tak dirasakan oleh S, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Menurutnya, kampus tidak maksimal dalam memberikan informasi dan sosialisasi terkait layanan dan alur pelaporan pelecehan dan kekerasan seksual.  

“Pertama, teman saya (Fakultas Dakwah dan Komunikasi) mendapat perlakuan pelecehan seksual oleh salah satu dosen. Kedua, kurangnya informasi mengenai sarana laporan mengenai pelecehan seksual,” tulisnya.

PLT sebagai layanan pencegahan dan kekerasan seksual pada Maret mendatang genap dua tahun masa kepengurusan. Dalam mengemban tugasnya, PLT melakukan tugas dengan memberikan sosialisasi, edukasi serta layanan aduan bagi seluruh publik kampus yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Meski faktanya, berdasarkan data yang kami olah menunjukkan lebih dari 70% responden masih belum mengetahui siapa itu lembaga yang menyediakan layanan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. 

“Karena sejauh ini saya tidak pernah mengetahui lembaga yang mengurusi mengenai kekerasan seksual itu mengadakan sosialisasi dan program kerja mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus,” tulis BA, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.

Ketidaktahuan publik akan PLT merupakan hal yang wajar. Begitu timpal Witriani. Ia berdalih bahwa sosialisasi baru dilakukan dua kali pada tahun 2021 secara daring dan secara luring pada kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Menurutnya kekurangan tersebut bukan menjadi hal. Justru katanya PLT sebagai rujukan bagi Perguruan Tinggi Islam Negeri lainnya.

“Kalo ada kurang sana-sini itu wajar.  Tetapi sebetulnya kita tetap jadi percontohan gitu lho di PTKIN,” kilahnya. 

Upaya Mewujudkan Ruang Aman

Terwujudnya ruang aman bagi publik kampus dari pelecehan dan kekerasan seksual merupakan harapan bagi semua pihak. Dari #RuangAmanKampusPutih, kami berusaha menakhlik indikator ruang aman di kampus UIN Sunan Kalijaga menurut para responden. 

Responden sebanyak 39,2% menjawab bahwa faktor pertama yang berpengaruh adalah lembaga yang bertanggung jawab atas sosialisasi, penanganan dan advokasi kekerasan seksual. Faktor kedua ialah gerakan kolektif atau solidaritas yang peka dan setia mengawal isu tersebut. Persentasenya sebanyak 36,5%. Sedangkan 13,5% atau sepuluh responden baru menilai faktor yang berpengaruh ialah kebijakan yang tegas. Kebijakan yang dimaksud adalah SOP Pencegahan dan Penanggulangan Pelecehan dan Kekerasan Seksual. Sisanya, mereka menilai ketiga faktor tersebut sama pentingnya dalam ketersediaan ruang aman di kampus. Mayoritas responden juga mengatakan bahwa sosialisasi, penanganan, dan advokasi kasus kekerasan seksual terkesan biasa saja. 

Selain mengeluhkan sosialisasi yang kurang masif, beberapa dari mereka mengungkapkan bahwa penanganan kasus pun terkesan lamban.

“Menurut saya, proses penanganan kasus KS melalui PLT UIN masih tergolong lambat dan tidak sepenuhnya berpihak pada korban (meski mengaku sebaliknya).” 

N, Mahasiswa Fakultas Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

“Kurangnya sosialisasi mengenai penanganan dan wadah pelaporan pelecehan seksual.”

S, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

“Sosialisasi masih belum digencarkan. Kalaupun ada itu hanyalah isu kolektif gerakan mahasiswa yang tergerak dalam isu tersebut. Padahal PLT sudah dibentuk, namun tupoksinya bagi saya tidak berjalan optimal.”

M, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

Sosialisasi, penanganan dan advokasi kasus kekerasan seksual yang terkesan “biasa saja”, juga didukung dengan persepsi responden mengenai kebijakan dari pihak kampus. Dari keseluruhan responden terdapat 32 orang atau 43,2% mengaku “tidak tahu” dengan adanya kebijakan tegas yang menindak isu kekerasan seksual. Bahkan 30,7% responden menyatakan ketidakpuasan mereka.

Pun selaras dengan realita yang ada, para responden menilai gerakan kolektif yang ada di UIN Sunan Kalijaga masih terkesan minim. Kesadaran bersama akan isu ini sendiri masih kecil. Pendapat dominan mengatakan bahwa mereka tak tahu mengenai gerakan kolektif.

Menyangkut gerakan kolektif, kami beberapa kali mencoba menghubungi Assyifa Reza—selaku ketua umum Srikandi. Kami ingin mengetahui tanggapannya terkait penilaian responden. Namun ia tidak menggubris dan hanya membaca pesan WhatsApp yang kami kirim.

Awal Desember lalu, kami juga menghubungi Srikandi melalui akun Instagramnya. Hingga berita ini ditulis, belum ada respons. Pada halaman media sosial pun, tak ada update apapun. Kami melihat unggahan terakhir  adalah 16 Februari lalu.

Survei #RuangAmanKampusPutih membagi responden ke dalam tiga kategori. Lebih dari separuh, yakni 51,4% responden ialah mereka yang pernah mendengar serta menyaksikan tindakan pelecehan dan kekerasan seksual. Sebanyak 6,8 % atau 5 orang dari keseluruhan responden kami pernah mengalami tindakan pelecehan dan kekerasan seksual di kampus. Sisanya tidak pernah mengalami dan menyaksikan. 

Pengalaman Saksi Pelecehan dan Kekerasan Seksual

Pengalaman traumatik yang dialami penyintas menjadi perbincangan di kalangan mahasiswa dan lingkarannya. Lebih dari setengah responden menyatakan pernah mendengar dan menyaksikan kekerasan seksual di lingkup kampus. Bentuk kesaksiannya beragam. 

Kami menemukan tiga kategori saksi: saksi mata langsung, mendengar cerita langsung dari penyintas, dan mendengar cerita dari selain penyintas. Berdasarkan pengalaman mereka, cerita mengenai kekerasan seksual yang menimpa penyintas kebanyakan mereka peroleh dari kabar burung yang beredar di lingkungan kampus.

Hanya 12 responden (31,6%) pernah mendengar cerita langsung dari penyintas atau pelaku. Tiga dari 74 orang pernah melihat secara langsung kejadian pelecehan dan kekerasan seksual itu terjadi. 

Setelah diperhatikan lagi, di antara para saksi, empat diantaranya juga pernah mengalami kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Namun mereka lebih nyaman mengkategorikan diri sebagai saksi dibanding penyintas kekerasan seksual. 

Berdasarkan pengakuan saksi, 10 orang pernah melihat dan mendengar kasus kekerasan seksual berbasis online atau KGBO. Lalu pelecehan secara verbal adalah yang paling banyak terjadi. Sebanyak 55,3% pernah mendengar maupun menyaksikan pelecehan dan kekerasan seksual secara verbal di kampus. Kemudian jenis kekerasan seksual secara fisik yang dialami penyintas disaksikan sebanyak 52,6% responden. Dari keseluruhan saksi, 17 orang diantara mereka mengenal si penyintas. Kendati demikian, sedikit dari mereka yang berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka saksikan. Persentasenya hanya 14,8%. Kebanyakan hanya menegur sebisanya atau memilih diam. 

TN, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum mengaku pernah melihat secara langsung pelecehan seksual secara verbal yang dialami penyintas. Kejadian tersebut berlangsung di ruang kelas. Ia menyebutkan terduga pelaku merupakan dosen pengampu mata kuliah.

“Jujur sekalipun harus melapor saya tidak tahu harus kemana,” tulisnya dalam kolom survei. 

Suara mereka yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual

Lima dari keseluruhan responden mengaku pernah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual di kampus, dan 2 diantaranya juga merupakan saksi. Para penyintas ini berasal dari lima fakultas yang berbeda dari delapan fakultas yang ada di UIN Sunan Kalijaga. Kekerasan seksual yang mereka alami tak hanya satu kategori. Bahkan terdapat 4 orang diantara penyintas pernah mengalami sekaligus: pelecehan verbal dan non verbal.

Berdasarkan pengakuan dari para penyintas, terduga pelaku pelecehan dan kekerasan seksual beragam. Mulai dari dosen, mahasiswa, serta karyawan kampus. Secara keseluruhan berdasarkan pengakuan dari responden baik penyintas maupun saksi, terduga pelaku yang paling dominan disebutkan adalah mereka yang memiliki relasi kuasa: dosen dan senior.

Terdapat 4 penyintas yang mengakui mereka mendapatkan pelecehan dan kekerasan seksual di lingkup kampus, satu orang diantaranya di luar kampus. Banyak diantara penyintas tidak tahu harus berbuat apa saat mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Mereka lebih memilih diam. Hanya satu penyintas yang berani menolak dan menahan tindakan terduga pelaku atas dirinya. 

Pengalaman yang menimpa mereka pun tidak serta merta membuat mereka berani untuk melaporkan ke pihak yang menyediakan layanan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual: PLT UIN Sunan Kalijaga. 

Salah satu penyintas yang enggan melapor menulis, “Diam, gak ada bukti, gak akan ada yang percaya.” 

ND, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora juga menyampaikan keluhannya terhadap pelayanan kampus dalam merespons kasus kekerasan seksual di lingkup kampus. Ia menyayangkan kampus lebih memilih menyelesaikan kasus secara kekeluargaan atas dalih pertimbangan nama baik.

“Saya tidak tahu pasti kebijakan macam apa saja yang dikeluarkan kampus terkait isu KS. Namun yang saya rasakan berdasarkan pengalaman pribadi, masih ada intervensi—meski secara halus—untuk menyelesaikan persoalan lewat jalur kekeluargaan. Hal ini kemungkinan untuk menjaga nama baik kampus, entahlah namun bagi korban dan pendamping, ini bukanlah bentuk penyelesaian yang diharapkan.” 

Berdasarkan pengalaman para penyintas serta orang terdekat mereka yang pernah mendengar sekaligus menyaksikan kekerasan seksual berlangsung, mendesak pihak kampus untuk transparan terkait SOP Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus UIN Sunan Kalijaga. 

“SOP belum dipublikasi.”

AS, mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi

“Karena harus ada tindak lanjut dari PLT terkait pengesahan SOP.”

FS, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

“Kampus masih sering menjadi tempat dimana kekerasan seksual terjadi, terutama secara verbal mulai dari banyaknya senior-senior dan dosen cabul sebagai pelakunya, proses pembelajaran di ruang kelas menjadi tidak nyaman dengan pola pengajaran dosen cabul yang selalu membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi dan intim, sudah seharusnya kampus menerapkan SOP KS dan melakukan sosialisasi secara masif agar kampus benar-benar menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar.”

RA, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

Menanggapi hal tersebut, pihak PLT menyayangkan adanya penyintas yang justru tak melaporkan kasus yang mereka alami hanya dengan alasan tidak adanya publikasi SOP. Menurutnya hal tersebut tidak masuk akal. Ia menilai hal yang perlu diperhatikan penyintas adalah layanan, bukan disahkannya SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

“Kesannya gara-gara SOP tidak disahkan, gak masuk akal. Kan ini ada pelayanan dan sudah sosialisasi sedemikian rupa,” tegasnya pada ARENA

Ia berasumsi bahwa penyintas tidak pernah akan menanyakan SOP saat menerima pelayanan dari PLT. Ketua PLT tersebut juga menjelaskan, tidak ada urgensi untuk menerbitkan SOP sekalipun nanti sudah disahkan. Pasalnya SOP itu hanya berfungsi sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.

“Saya pikir gini lho, teman-temen itu kalau mengadu ya mengadu saja, kenapa harus ke SOP perginya?” tanyanya.

Terkait hal tersebut, Laili dengan tegas mengatakan bahwa keterbukaan dan pengesahan draf SOP menurutnya sangat penting bagi para penyintas. Kiran dan para penyintas lain hingga sekarang masih berjuang menuntut keterbukaan SOP sebagai bentuk jaminan dan kepastian yang akan mereka terima. 

Pasalnya SOP tersebut sepatutnya cukup detail mengatur bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual dalam konteks kampus, cyber grooming serta konsekuensi hukum tegas bagi terduga pelaku. Ia sungguh menyayangkan draf SOP yang katanya telah dirancang dua tahun yang lalu tak kunjung disahkan.

Senada dengan Laili, Nur Ainun dosen Program Studi Ilmu Hukum menjelaskan tujuan SOP adalah sebagai standarisasi, kepastian, dan akuntabilitas atau pertanggungjawaban sah suatu lembaga. Atas dasar itulah, menurutnya keterbukaan SOP dengan cara publikasi merupakan hal yang harus dilakukan suatu lembaga. Pasalnya publikasi merupakan bagian dari sosialisasi. Ia menilai pengesahan dan publikasi itu penting karena akan berimbas pada pengetahuan dan kepercayaan publik terhadap suatu lembaga, terkhususnya PLT UIN Sunan Kalijaga.

“Bagaimana orang tau dan mau percaya tentang prosedural yang kita tangani, kalau prosedural itu sendiri tidak dipublikasi,” jelasnya pada ARENA pada Sabtu (10/12).

SOP Pelecehan dan Kekerasan Seksual: Urusan Pelik Yang Tak Pernah Usai

Witriani selaku ketua PLT mengakui bahwa SOP memang dibutuhkan sebagai legalitas dalam penanganan dan pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual. Tetapi secara mekanisme pengesahannya membutuhkan waktu yang panjang. Karenanya pada waktu itu, kampus memutuskan untuk membuat Pusat layanan Terpadu terlebih dahulu.

Mekanisme yang panjang menurutnya dikarenakan harus melewati revisi yang mempertimbangkan kondisi kampus dan penyesuaian dengan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama Nomor 5494 tahun 2019, Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022, dan UU TPKS yang baru saja disahkan 12 April lalu.

“Karena proses SOP itu panjang. Harus melewati senat dan itu sidangnya panjang. Dan sampai sekarang pun tidak akan ada PLT, jika mengikuti proses itu,” jelasnya.

Di sisi lain, ia juga menjelaskan bahwa belum disahkannya SOP pun tak akan berpengaruh terhadap operasional penanganan kasus kekerasan seksual. Sebab, semua kebijakan terkait penanganan tetap mengacu pada dasar hukum yang jelas.

ARENA pun meminta Salinan draf SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang telah dirancang oleh PLT. Namun ia tidak berkenan memberikan dengan alasan akan direvisi pada rapat PLT selanjutnya.

“Saya pikir belum sekarang ya, karena ada beberapa penyesuaian, baru rencana Desember ini baru kita rapatkan lagi, dan perlu waktu yang agak lama untuk mencermati satu per satu,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Nur Ainun yang juga sebagai anggota PLT menjelaskan bahwa selaku gugus tugas pencegahan dan pelayan KS, PLT sendiri memang sudah seharusnya memiliki legalitas yang formal. Ini bertujuan menciptakan sistem yang permanen dalam merespons pelecehan dan kekerasan seksual di lingkup kampus.

Dari sudut pandang hukum, PLT dalam pelayanan dan pencegahannya kekerasan seksual saat ini masih mengacu pada kebijakan diskresi bukan atas legal formal yang merujuk pada mandat UU yang telah disebut di atas. Diskresi sendiri merupakan kebijakan yang bersifat sementara dalam mengatasi suatu kondisi tertentu dengan segera dan efektif.

“Dari segi aspek legalnya itu, dia ibarat jalan daruratnya,” jelas Nur Ainun. 

Dalam konteks ruang aman ini, menurutnya situasi darurat itu ditandai maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang membutuhkan penanganan segera, efektif dan efisien. Maka dari itu, bisa saja tak lagi membutuhkan mandat regulasi yang lebih lengkap.

Dosen hukum tersebut juga menjelaskan kebijakan yang bersandar kepada diskresi sesuai dalam pasal 22 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Hukum ini menggunakan standar keabsahan doelmatigheid: tujuan berdasarkan situasi dan kondisi. Bukan pada rechtmatigheid: mandat dari aturan.

Lebih lanjut, Nur Ainun juga menilai SOP pencegahan kekerasan seksual sangat penting sebagai dasar legal formal, agar terdapat standarisasi dan kepastian yang jelas. Ia lantas mengingatkan bahwa PLT tidak boleh selamanya bersandar pada aturan yang sifatnya diskresi. Pasalnya diskresi hanya merespon situasi darurat. Pada saat yang bersamaan menurutnya PLT juga harus mempersiapkan sistem yang permanen sebagai legal formal. 

“Karena tidak mungkin kita darurat itu mau selamanya,” tegasnya.

Ia menjelaskan konsekuensi hukum jika UIN Sunan Kalijaga selalu bersandar pada diskresi. Di satu sisi akan mendapat gugatan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena bersandar pada diskresi yang tidak memiliki dasar administrasi berupa mandat Undang-Undang. Bahkan ada kemungkinan dilaporkan ke Ombudsman terkait maladministrasi. Sebab, idealnya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual ini seharusnya dibangun seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Namun hal tersebut menurutnya sulit untuk diwujudkan segera. Bukan karena desakan hukum, tapi terhalang kesibukan para petugas PLT yang juga merupakan tenaga pendidik dengan tugas pokok Tri Dharma Perguruan Tinggi serta proses sidang yang memakan waktu. Begitu argumennya.

Nur Ainun lalu mempertanyakan kedudukan Pusat Layanan Terpadu (PLT) dalam Organisasi  dan Tata Kerja (Ortaker) di UIN Sunan Kalijaga. Menurutnya PLT tidak terakomodir dalam kategori lembaga sebagaimana yang diatur pada pasal 65 dan 66 Peraturan Menteri Agama No 26 tahun 2013. Ia tak masuk ke dalamnya maupun sebagai unit pelaksanaan teknis sebagaimana yang diatur pada pasal 81 dan 82.

Setelah ditelusuri melalui website UIN Sunan Kalijaga, diketahui dalam edisi revisi susunan Ortaker UIN Sunan Kalijaga, sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2017, tidak terdapat perubahan apapun pada pasal-pasal yang menjelaskan Lembaga dan Unit Pelaksana teknis UIN Sunan Kalijaga.

Merespons hal ini, Nur Ainun menilai perlunya peninjauan ulang dengan melakukan perubahan nomenklatur atau penambahan pada susunan Ortaker tersebut. Tujuannya agar PLT sebagai lembaga pencegahan dan penanganan kekerasan seksual masuk ke dalam struktur organisasi dan tata kerja kampus sehingga mempunyai sistem yang permanen.

Walhasil, UIN Sunan Kalijaga masih berfokus pada pelayanan tanpa perangkat aturan yang tegas–SOP Kekerasan Seksual. Upaya dalam mewujudkan ruang aman kampus pun menyisakan tanda tanya buat publik, penyintas, saksi dan para gerakan kolektif yang berjuang mendampingi. Setelah dua tahun berlalu semenjak kasus Kiran hingga kini, tanpa publikasi, perancangan SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual berhenti pada wacana dan harapan. Tak kunjung rampung dengan berbagai alasan. Harapan mereka hingga kini belum jelas muaranya. 

Reporter Muhammad Al Faridzi | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Ilustrator Bisma Aly Hakim | Datagrafis Nabil Ghazy

Liputan ini bagian dari project “Yang Muda, Yang Mewartakan” dukungan Rutgers Indonesia dan Project Multatuli
#RuangAmanKampusPutih