Melalui buku ini, Andayani menyejarahkan kisah perjuangan orangtua korban salah tangkap Klitih
Lpmarena.com-“Kami ingin membuat sejarah, kawan-kawan sekalian. Karena kalau tidak ditulis, kalau tidak direkam, apa yang kami perjuangkan itu akan hilang,” begitu kata Andayani, penulis buku, saat mengantar diskusi dan bedah buku Memburu Keadilan: Anakku Korban Rekayasa Kasus Aparat yang diadakan Orang Tua Bergerak dan Sosial Movement Indonesia di Bjong Kopi Janti, Rabu (11/1).
Andayani menulis buku berjudul Memburu Keadilan: Anakku Korban Rekayasa Kasus Aparat terkait perjuangan orangtua korban peradilan sesat kasus klitih Gedongkuning. Mereka dijadikan tersangka dan divonis hukuman pidana meski tidak terlibat. Berbagai usaha menuntut kembali hak telah ditempuh, namun gagal. Andayani merasa ada kejanggalan dalam proses peradilan, dan buku ini ia tulis sebagai pengingat pada masyarakat tentang sistem peradilan sesat yang dialaminya.
“Dengan adanya dokumentasi itu, kami yakin perjuangan kami akan diketahui oleh banyak orang dan mungkin bisa membuka kasus-kasus yang lain,” ucapnya.
Buku yang dipaparkan di awal diskusi direspons dengan antusias oleh Ita Fatia Nadia, Ketua Bidang Arsip Sejarah Perempuan. Ita meyakini tulisan dan gerakan perlawanan para orangtua ini akan terus berlanjut.
“Ini tidak hanya bertahan sesaat, karena bapak-bapak dan ibu-ibu ini menyuarakan suara orang kecil melawan ketidakadilan pejabat dan aparat,” ucapnya membuka diskusi.
Menurut Ita, gerakan orangtua ini akan menjadi satu titik sejarah. Ia kemudian mencontohkan gerakan orangtua di Argentina, kerap dikenal dengan istilah Plaza de Mayo. Para orangtua yang kehilangan anaknya karena kejahatan pemerintahan, mulai menanyakan di mana keberadaan anak-anak mereka. Mereka tidak hanya berkumpul secara rutin di depan alun-alun, namun juga menyebarkan pemahaman politik kepada ibu-ibu lain non-korban, bahwa suatu saat anak mereka bisa saja menjadi korban.
“Jika gerakan Ibu Andayani dan orangtua lain bisa terus dijaga maka akan mungkin menjadi satu titik sejarah perlawanan pada ketidakadilan aparat,” papar Ita.
Ita pun mengingatkan untuk menyebarkan pengalaman yang ada dalam buku ini kepada orang tua lain. Menurutnya, kesadaran politik tentang ketidakadilan aparat perlu dibangun dan disebarluaskan kepada semua lapisan agar terjadi perubahan.
Herlambang Wiratraman, Dosen Fakultas Hukum UGM, turut menyoroti pentingnya buku itu sebagai sebuah narasi. Baginya, meski buku kecil itu bisa punya pengaruh besar. Narasi yang ada tentang Klitih atau kejahatan lain sejauh ini dikendalikan oleh aparat, dan buku ini mencoba melawan narasi itu dari perspektif sipil sebagai korban.
“Saya bisa membayangkan, ke depan publik akan terus diingatkan bahwa penegakan hukum pernah terjadi begitu semena-mena ini,” jelasnya.
Dari perspektif akademisi, Herlambang menyarankan bagi mahasiswa atau siapapun yang belajar Ilmu Hukum untuk membaca buku ini. Buku yang kebanyakan beredar dan dibaca mahasiswa Hukum adalah rangkaian aturan tanpa sudut pandang keadilan.
“Membaca buku ini akan mengusik nurani. Kemudian nurani yang terusik menggerakan otak. Dengan itulah seseorang ahli hukum bisa melihat keadilan,” pungkas Herlambang.
Reporter Fatan Assidqie | Redaktur Dina Tri Wijayanti