Kisah Yulia dan Jhon adalah bukti bahwa rasisme masih tumbuh mengakar di masyarakat Kota Istimewa ini.
Lpmarena.com-Kala itu setibanya Julia di indekos, ia tak mengira bahwa rencananya untuk istirahat selepas bepergian harus diurungkan. Bukan kasur yang menyambut kepulangannya, tetapi perkataan pemilik kos yang membuatnya terpukul. Tanpa alasan dan sebab yang jelas, Julia dikeluarkan dari kamar yang masih disewanya.
“Mbak kamu jangan di sini lagi. Kamu keluar secepatnya kalau bisa,” ungkap Julia seraya menirukan nada ibu kosnya.
Dengan segera ia membereskan barang miliknya dan memilih pergi. Ia terlanjur sakit hati. Hari itu, hingga ia menceritakan ulang kisahnya ini, ia masih tak habis pikir mendapat perlakuan demikian.
“Saya kos bayar, saya tidak ribut, saya mengikuti semua aturan. Tapi tiba-tiba saya dikeluarin tanpa sebab,” keluhnya sembari mengingat kejadian tiga tahun lalu.
Semenjak itu, pencarian indekos selalu menjadi pekerjaan yang melelahkan baginya. Hingga sewaktu ia dikeluarkan dari kos lama, ia sempat menginap di temannya yang dengan ringan hati menawarkan tempat bermalam untuk beberapa hari.
Banyak cara ia lakukan, mulai dari mencari informasi dari mulut ke mulut, hingga ia mulai mengirimi pesan ke setiap nomor indekos yang masih menyediakan kamar kosong. Awalnya ketika ia menanyakan keberadaan kamar kosong via chat, pemilik kos menyatakan bahwa kamar masih ada. Namun, ketika ia mendatangi tempatnya, pemilik kos mengurungkan niatnya.
“Awalnya ketika saya chat, bilangnya ada. Tetapi setelah aku datang dan dia melihat bahwa aku orang Timur, ia mengatakan bahwa kamarnya sudah full,” ungkap Julia.
Sialnya itu tidak sekali dua kali ia alami. Ia mengalaminya penolakan yang sama ketika mendatangi kos yang dia inginkan. Julia harus bersusah-payah menemukan indekos yang mau menerimanya.
“Kenapa sa mencari tanah sepetak saja untuk tinggal susah sekali di kota ini,” umpat Julia.
Kejadian serupa tidak hanya dialami Julia, Jhon mahasiswa Papua yang berkuliah di salah satu universitas swasta di Jogja mengeluhkan masalah serupa. Semenjak pertama kali datang ke Jogja hingga saat ini, ia belum pernah mendapatkan tempat menetap.
Mulanya, Jhon yang asli dari Paniai ini datang ke Jogja pada 2015. Saat itu, ia tinggal di asrama mahasiswa Papua di daerah Klebengan. Namun, karena jarak kampus dan asrama cukup jauh, Jhon merasa kuwalahan dan memutuskan untuk mencari tempat tanggal yang dekat dengan kampusnya. Mendengar rencananya, salah seorang kawan menawarkan satu kos yang sama. Tapi ketika Jhon mendatangi indekos itu, hasilnya nihil.
“Begitu saya datangi, pemilik kos bilang sudah ada yang ngisi. Saya tidak tahu pasti sudah ada yang mengisi atau belum, tetapi di depan kosnya masih ada tulisan ‘terdapat kamar kosong’,” ungkapnya.
Jhon tidak menyerah begitu saja, ia masih berusaha. Hampir setiap ada waktu luang, ia menyempatkan diri mencari. Selama empat bulan, dirinya bolak-balik mencari indekos. Sama seperti Julia, Jhon juga melakukan cara yang beragam. Ia menyusur daerah kampusnya yang bertuliskan ‘ada kamar kosong’. Ia hubungi pemiliknya. Sampai di tempat, pemilik mengurungkan niatnya menyewakan ke Jhon. Begitu seterusnya.
Hingga pada 2017, komunitas Mahasiswa Papua mengumpulkan dan mewawancarai mereka yang juga terkendala pencarian kos. ARENA juga berbincang dengan mahasiswa lainnya. Tak sedikit dari mereka bernasib sama. Alasannya pun bukan karena keyakinan. Bahkan, Jhon bercerita bahwa temannya dari Fak-Fak yang beragama Islam pun kesulitan mencari indekos. Hingga pada akhirnya, setelah ia kesana-kemari, ia memutuskan untuk berpindah ke asrama mahasiswa Papua di daerah Kusumanegara.
“Kan biasanya ada tulisan hanya menerima kos Muslim. Lah ini kawanku Muslim tapi juga mendapat penolakan,” ungkapnya.
Akar Diskriminasi Ras
Perlakuan diskriminatif terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta tak berhenti di sana. Julia kerap mengalami kejadian tak mengenakkan. Satu waktu ketika mengendarai motor bersama kawannya, ia disusul orang tak dikenal dan diteriaki, “Monyet!” Julia memilih tidak mengindahkan umpatan itu.
Pipin Jamson, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM mengatakan bahwa kejadian yang dialami oleh Julia dan Jhon merupakan dampak dari stigma yang melekat di masyarakat. Stigma itulah yang memengaruhi cara satu masyarakat memandang dan memperlakukan seseorang atau satu kelompok orang. Misalnya saja, stigma yang dilekatkan pada orang Papua adalah anggapan bahwa mereka kasar, suka berbuat onar, dan berwatak keras. Prasangka inilah, yang kemudian merembet pada penolakan-penolakan.
“Ini adalah warisan kolonial, karena memberikan sekat-sekat antar manusia dan menganggap kelompok tertentu lebih baik,” jelasnya.
Filep Karma dalam bukunya Seakan Kitorang Setengah Binatang juga menulis ragam rasisme yang ada di Tanah Papua. Menurutnya rasisme yang selama ini ada, disebabkan oleh anggapan bahwa kelompok tertentu lebih unggul daripada yang lain. Seperti misalnya, mayoritas Melayu cenderung merasa lebih baik daripada orang Papua yang Melanesia.
Pipin juga pernah menyaksikan bagaimana mahasiswa Papua mendapat tindakan rasis. Saat itu tahun 2016 terjadi pegepungan asrama Papua Kamasan hingga berahir pada kasus penginjakan kepala Obygus Gobai. Pipin bersama temannya berada di dalam asrama saat polisi mengepung dan mengitari sekiar asrama. Saat itu, kata Pipin, situasinya kacau sekali.
“Waktu pengepungan Kamasan, saya bersaksi bahwa ada kelompok yang di depan Asrama mengucapkan ‘monyet’,” tegas Pipin sambil memerah wajahnya saat menceritakan hal itu. Ia mengingat dengan jelas bagaimana perlakuan sekelompok orang meneriaki monyet ke kawan Papua.
Julia yang juga berada lokasi pada waktu pengepungan itu menceritakan ketakutannya. Mereka tidak diperbolehkan keluar, sementara yang di luar tidak diperbolehkan masuk. Mereka yang di dalam tak bisa berkutik, bahkan untuk sekadar keluar mencari kebutuhan pokok tak bisa.
“Kita di dalam sudah kehabisan makanan saat itu, tidak ada yang boleh masuk. Suasana mencekam dan banyak yang ketakutan,” kisah Julia pada ARENA sambil terisak.
Kejadian tujuh tahun lalu itu masih melekat di memori mereka dan menyisakan trauma. Meskipun, dalam keterangan yang dimuat media, aparat menampik adanya tindakan kekerasan saat itu, dan mengatakan bahwa Jogja adalah kota yang toleran.
Menurut Pipin, stigma yang melekat di masyarakat Papua tak lepas dari campur tangan pemerintah. Misalnya ketika orang luar Papua menganggap orang Papua itu keras, dan pembuat onar, seperti yang kerap sekali disudutkan ke mereka, itu salah satu akibat dari pengiriman militer yang terus menerus di tanah Papua dan situasi politik di sana.
“Bagaimana militer di kirim kesana itu kan akan brimbas ke keadaan disana. Mereka dianggap separatis dan pembuat onar, dan itu secara ngga langsung diserap oleh publik. Jadi kalo misalnya pemerintah mengatakan bahwa masyarakat harus berubah, ya pemeintah juga harus berubah kebijakannya,” tegas Pipin.
Pipin mengatakan bahwa orang Papua mengalami tiga kekerasan yaitu kekerasan langsung, struktural, kultural. Kekerasan langsung yang terjadi yakni berupa kekerasan fisik militerisme. Kekerasan sruktural berupa kebijakan yang diskriminatifa dan tidak memihak mereka, serta penindasan kultural berupa kekerasan budaya. Misalnya saja anggapan tidak sopan atas penggunaan koteka.
Apa yang dialami oleh Jhon dan beberapa mahasiswa Papua di Yogyakarta adalah bentuk tindakan deskriminasi ras. Padahal, tindakan rasisme atau merendahkan orang lain karena suku atau warna kulit tidak dibenarkan dalam aturan manapun.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa diskriminasi adalah pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung. Peminggiran ini didasarkan pada pembedaan antar-manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, hingga keyakinan politik. Imbasnya, yakni pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Reporter Atikah Nurul Ummah | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Ilustrator M Dzaky Samsul Anwar