Home BERITAKABAR KAMPUS Kritik dibalas Panggilan: Cerita Mahasiswa yang Direpresi Kampusnya Sendiri

Kritik dibalas Panggilan: Cerita Mahasiswa yang Direpresi Kampusnya Sendiri

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Alhuzaifi, Jazuli, dan Putri hanya tiga dari sekian mahasiswa yang dibatasi kebebasan berekspresinya di UIN Sunan Kalijaga.

Lpmarena.comSekeluarnya dari bioskop, Syaidurrahman Alhuzaifi spontan kaget saat mendapati handphone-nya ada lebih dari tiga kali panggilan tak terjawab dari ibunya. Padahal ia kira selama ini ibunya tak pernah menelepon lebih dari itu. Ia merasa ada sesuatu yang sangat mendesak.

“Kamu ada masalah apa di kampus?” itu chat ibunya yang berada di Riau, tempat tinggal Alhuzaifi. “Kamu jujur aja, ini Ibu dapat surat panggilan,” lanjut ibunya. Saat itu hari Jumat, 2 September 2022.

Tak berselang lama, sebuah foto surat dikirim oleh ibunya. Ia cermati, dan memang tercatat jelas bahwa surat itu perihal undangan orang tua mahasiswa yang ditujukan kepada orang tua berikut nama lengkap Alhuzaifi. Orang tuanya diminta datang dalam pertemuan yang rencananya dilaksanakan pada Senin, 5 September 2022, hanya berjarak 3 hari sejak surat itu diterima. Dalam tempo yang sangat mendadak itu, siapa juga yang tak panik?

Tapi Alhuzaifi berusaha tenang. Ia cermati lagi surat tersebut. Di sana hanya ada dua tujuan yang tersurat: pertama, menjalin komunikasi yang baik antara orang tua dengan pihak kampus. Kedua, mendidik anak ke arah yang lebih baik. Tampak keduanya tak menunjukkan alasan yang jelas, pikirnya.

“Alasan pemanggilan tidak rasional dan tidak berbasis akademik,” ungkapnya kepada ARENA pada Minggu (4/9).

Namun, tetap saja, kenyataan itu tak dapat meredam kepanikan ibunya. Untuk itu, Alhuzaifi, yang juga menjabat ketua Dema UIN Sunan Kalijaga saat itu, tak ayal harus gamblang menceritakan kepada ibunya apa yang belakangan ia lakukan di kampus. Ia memang tak bisa memastikan aktivitas mana yang menyebabkan surat itu datang, sebagaimana surat pemanggilan juga tak memberitahukannya, tapi tak butuh waktu lama bagi Alhuzaifi untuk mengerucutkannya pada dua delik: Demo pada 11 Agustus 2022 dan aksi pada PBAK 2022 yang berujung dibubarkan oleh rektorat. Dan ia ingat, kedua kejadian tersebut berangkat dari keresahan yang sama: Tingginya biaya UKT dan adanya pinjaman Danacita.

“Seakan akan aku melakukan kesalahan, padahal (saat) aku muhasabah ya menyampaikan kritikan saja. Gak ada ngerusak fasilitas, gak ada mencemarkan nama baik, atau kode etik,” tuturnya.

Senasib dengan Alhuzaifi, represi dengan pola yang sama juga dialami Ahmad Jazuli. Pada hari Jumat 2 September 2022 lalu, ibunya tiba-tiba menelepon berkali-kali. Jazuli yang baru bangun dari tidur mendapati foto surat dari chat ibunya. Surat itu persis dengan surat yang diterima Alhuzaifi.

“Orang tua saya menanyakan undangan ini karena apa? Kamu merasakan melakukan kesalahan enggak?” tanya ibunya, sebagaimana ditirukan Jazuli saat diwawancarai ARENA pada Minggu (4/9).

Sebagaimana Alhuzaifi, Jazuli juga memperkirakan bahwa pemanggilan tersebut berkaitan dengan keikutsertaannya dalam demo dan aksi pada PBAK 2022 lalu. “Tetapi saya sebagai mahasiswa ya merasa enggak melakukan kesalahan,” jawab Jazuli yang menjabat ketua komisariat PMII UIN Sunan Kalijaga saat itu pada ibunya.

ARENA juga mendapatkan fotosurat yang dimaksud oleh Alhuzaifi dan Jazuli. Surat itu bernomor B-   /Un.02/BA/TU.00.2/08/2022. Meski surat tersebut resmi dengan kop UIN Sunan Kalijaga, Alhuzaifi mengaku banyak mendapat kejanggalan. Salah satunya terkait nomor surat yang cacat dan tidak lengkap. Alhuzaifi pun menganggapnya sebagai surat kaleng.

Salah satu surat panggilan yang dilayangkan Rektorat kepada wali mahasiswa.

Kejanggalan lain dari surat tersebut adalah pihak yang menandatanganinya. Surat itu ditandatangani oleh M. Rahmatullah, Kepala Biro Administrasi Akademik Kemahasiswaan dan Kerjasama (AAKK). Meski ditulis atas nama rektor, Alhuzaifi menyebut sebenarnya Biro AAKK tidak berhubungan dengan kemahasiswaan. Karena itu ia mengaku tidak tahu dipanggil sebagai apa.

“Kenapa (pihak yang memanggil) enggak satgas kode etik kalau memang melanggar kode etik? Kalau aku dipanggil sebagai mahasiswa, ya (dipanggil) lewat WD 3. Kalau sebagai ketua Dema, ya WR 3 yang lebih valid,” sebut Alhuzaifi.

ARENA mencoba melayangkan surat wawancara pada M. Rahmatullah lewat WhatsApp pada 5 September 2022, juga dua kali bertandang ke kantor AAKK pada 6 September dan 8 September. Tetapi semuanya tidak direspon. Kecuali pada tanggal 8 tersebut salah satu staff AAKK menanggapi bahwa kepala Biro AAKK enggan untuk diwawancarai.

Kejanggalan-kejanggalan surat, alasan-alasan yang tak spesifik, dan jauhnya jarak dengan waktu yang mepet membuat surat pemanggilan tersebut patut dipertanyakan kesungguhannya. Bahkan, menurut Alhuzaifi sendiri, surat tersebut memang tidak ditargetkan agar orangtuanya datang dan hanya untuk menekan mental.

***

Tak jauh dari kasus surat pemanggilan tersebut, intervensi dalam kebebasan berekspresi juga terjadi dalam bentuknya yang lain: panggilan langsung. Kejadian itu dialami oleh Putri Inayah, reporter LPM Rhetor, seusai meliput demonstrasi di PBAK 2022 pada Kamis, 18 Agustus 2022 lalu.

Saat dihubungi ARENA, Putri membenarkan hal tersebut. Menurutnya, saat itu ia melakukan liputan dalam bentuk video, mengabarkan kondisi PBAK hari pertama, di mana para mahasiswa baru membentangkan banner dan melakukan protes tentang mahalnya UKT dan Danacita. Ia mengaku melakukan liputan tersebut dengan apa adanya dan sebelumnya tidak mengetahui bahwa ada demonstrasi di tengah PBAK.

“Aku enggak melebih-lebihkan atau mengurangi (liputan tentang PBAK). Kejadian riilnya memang begitu,” ungkap Putri saat diwawancarai ARENA pada Selasa (31/01).

Tak lama seusai acara, video tersebut diunggah di akun instagram LPM Rhetor. Video tersebut mendapatkan ribuan view dalam waktu cepat. Namun sekitar dua jam kemudian, Pajar Hatma Indra Jaya, Wakil Dekan 3 Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), menghubungi pihak LPM Rhetor dan meminta mereka menghadap di ruang dekanat FDK.

Ada apa kok tiba-tiba dipanggil, pikir Putri. Ia panik. Sebelum beranjak ke ruang dekanat, ia bersama kawan-kawannya mengecek kembali hasil liputannya. Tak lupa juga membuka-buka lagi kode etik jurnalistik. Meski merasa tak ada kesalahan yang dilakukan, Putri dan kawannya yang lain tetap mendatangi pemanggilan itu.

“Di situ kami diarahkan untuk memberitakan berita-berita yang positif,” ungkap Jia Ulhaq, Pimpinan Umum LPM Rhetor saat dihubungi ARENA pada Kamis (22/09).

Menurut Jia, Pajar saat itu memang hanya memberi arahan. Tak ada kesalahan spesifik dari liputannya yang dapat disebutkan oleh Pajar. Meski demikian, pemanggilan tersebut memang dikaitkan dengan liputan LPM Rhetor tentang PBAK hari pertama. Pajar pun mengaku belum menonton video tersebut. Ia melanjutkan instruksi dari Abdur Rozaki, wakil rektor 3 UIN Sunan Kalijaga. Karena LPM Rhetor secara struktural berada di bawah FDK.

“Kalau bisa di takedown, diganti sama berita-berita yang bagus,” ungkap Pajar waktu itu, sebagaimana diceritakan Putri.

Namun pada akhirnya video liputan tersebut tidak sampai diturunkan. LPM Rhetor tetap membiarkannya karena tidak ada kesalahan yang mengharuskan mereka menarik kembali video tersebut.

Meski tidak sampai ke arah intimidasi, pemanggilan tersebut memberikan dampak mendalam bagi Putri, apalagi itu merupakan liputan pertamanya dalam bentuk video. Selepas itu, Putri mengaku takut untuk muncul kembali. Ada semacam trauma yang menghantuinya. Hal-hal yang berbau PBAK menjadi momok baginya.

“Kalau ketemu Pak Pajar pun kayak masih takut,” ungkap Putri.

Putri akhirnya juga angkat tangan dari liputan PBAK hari kedua, ketiga, juga hari-hari berikutnya. Dan ia baru berani kembali meliput pada bulan selanjutnya, itu pun tentang demo di gedung DPRD Yogyakarta.

Jia Ulhaq melihat pemanggilan kepada Putri ini sebagai pembatasannya dalam bereskpresi. “(Pemanggilan tersebut) Jadi kontradiktif. Kampus yang katanya ruang bebas berekspresi, malah membatasi ruang itu,” serunya.

***

Alhuzaifi, Jazuli, dan Putri hanya tiga dari sekian mahasiswa yang dibatasi kebebasan berekspresinya di UIN Sunan Kalijaga. Menurut Alhuzaifi dari sumber yang ia terima, surat pemanggilan yang diterima orang tuanya disinyalir juga ditujukan kepada 16 mahasiswa yang berbeda. Dan ada beberapa surat yang telah terkonfirmasi kedatangannya untuk beberapa mahasiswa.

Kebebasan berpendapat ataupun berekspresi merupakan hak dasar warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum sebagai bentuk pencerminan dari sistem pemerintahan yang demokratis. Ia juga sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3. Tetapi kasus Alhuzaifi, Jazuli, dan Putri menunjukkan bahwa di kampus putih, julukan UIN Sunan Kalijaga, kebebasan berekspresi masih patut dipertanyakan. Alhuzaifi, Jazuli, dan Putri hanya bersuara dan mencoba memperbaiki kebijakan kampus yang tidak sebagaimana mestinya, tetapi balasan yang mereka dapat adalah intimidasi dan intervensi.

Reporter Mas Ahmad Zamzama | Redaktur Fatan Asshidqie | Ilustrator M Dzaky Samsul Anwar