Perda Gepeng tidak menyelesaikan masalah apapun terkait kemiskinan dan kelompok marjinal di jalanan.
Lpmarena.com-Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penangangan Gelandangan dan Pengemis atau yang biasa disebut sebagai Perda Gepeng dinilai bermasalah. Kebijakan yang diskriminatif ini tidak menawarkan solusi apapun terkait kemiskinan dan justru mengkriminalisasi kelompok rentan.
Kritik ini disampaikan dalam peluncuran Catatan Kritis Atas Kebijakan Gubernur DIY periode 2017-2022 oleh LBH Yogyakarta. Diseminasi bertajuk “Demokrasi Narimo Ing Pandum” ini digelar di Kantor PKBI DIY pada Selasa (14/03).
Dalam penyampaian catatan kritis atas kebijakan dari pemerintah daerah Yogyakarta (DIY), Kharisma Wardatul, dari LBH Yogyakarta menilai bahwa kriteria gelandangan dan pengemis pada Perda tersebut abstrak. Tidak ada tolok ukur yang jelas. Perda Gepeng menjabarkan kriteria gelandangan sebagai orang yang tidak memiliki KTP, tidak memiliki tempat tinggal dan tidak memiliki masa depan untuk anak-anak dan juga dirinya. Sementara pengemis adalah mereka yang mata pencahariannya bergantung pada belas kasihan orang lain, berpakaian kumuh, lusuh, compang-camping dan tidak sewajarnya, berada di tempat umum, dan memperalat sesama untuk merangsang belas kasihan orang lain.
Sehingga menurut Kharisma, akibat adanya peraturan ini adalah kriminalisasi terhadap kelompok marjinal dan rentan yang secara visual mirip gelandangan atau pengemis. Sebab dalam pelaksanaannya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merazia dan mengangkut orang tanpa klarifikasi.
LBH Yogyakarta bersama Lkis, WCC, dan Harapan Fian pernah menanyakan hal tersebut ke Dinas Sosial. Menurut Dinas Sosial, mereka telah melakukan kerja sesuai dengan Perda Gepeng. Hal ini lah yang membuat Kharisma berpikir bahwa substansi dari Perda Gepeng yang bermasalah.
“Perda ini sangat mengkriminalisasi ketimbang KUHP, kalau di KUHP ada prosedurnya. Perda Gepeng (red: berdasarkan) jika terlihat mata seperti ciri-ciri tersebut diangkut di tempat dan dibawa ke camp assessment, tempatnya seperti penjara,” jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ahmad Syaifuddin, dari organisasi Harapan Fian. Ia beranggapan bahwa Perda Gepeng selain mengkriminalisasi juga memakai pendekatan koersif atau kekerasan. Selain itu, terdapat disharmonisasi antara Pergub dan Perda.
“Kalau di Perda penggelandangan disanksi kurungan enam minggu, denda 10 juta. Tidak pernah ke pengadilan, namun ke camp assesment antara dua minggu sampai tiga bulan,” jelasnya.
Ahmad Syaifuddin membandingkan perlindungan bagi gelandangan dan pengemis di DIY dengan daerah lain yang menurutnya lebih baik.
“Perlindungan di Magelang dan Klaten, anak-anak ditempatkan di rumah singgah, mereka akan mendapatkan makan dan tempat tinggal dan akan ditelusuri penyebab mereka di jalanan selama 14 hari,” pungkasnya.
Reporter Fauzul Abid | Redaktur Dina Tri Wijayanti