Oleh: Ahmad Faishol Abimanyu
“Saya sejak kemarin tegaskan kita NU ini ndak usah ikutan macam-macam ideologi gender yang dikembangkan dari ranah budaya yang lain. Ndak usah. Ini saya ingatkan Fatayat dan Muslimat, jangan ikut-ikutan feminisme.”
“Maka saya bilang kalau sekarang PBNU itu ada perempuan-perempuan, soal kapasitas, bukan karena perempuan. Walaupun perempuan kalau goblok, ya ndak kita pakek. Itu soal kapasitas. Walaupun laki-laki kalau goblok juga ndak kita pakek.”
Kutipan di atas adalah secarik pidato Gus Yahya yang disampaikan di LKK PBNU pada pertengahan Januari lalu. Terdapat dua hal yang perlu dicermati: yang pertama, ini yang viral, penolakan feminisme sebagai sikap yang perlu ditekankan dalam NU. Yang kedua, persoalan kapasitas yang diatribusikan kepada laki-laki maupun perempuan mengesampingkan identitas gender sebagai hal yang mengaburkan.
Penolakan feminisme dari budaya lain cukup dimaklumi, dengan penafsiran bahwa gerakan perempuan Nahdlatul Ulama perlu diartikulasikan dengan laku Islam, terutama Islam Nusantara. Penolakan tersebut merupakan sikap yang lahir dari supremasi Nahdlatul Ulama terhadap kekuatan Islam, di mana peran perempuan diasumsikan inheren dan signifikan dalam proses pewarisan tradisi Islam. Sementara itu, feminisme merupakan representasi individualistik paradigma Eropa, yang secara historis lahir dari konteks yang berbeda dengan Islam Nusantara.
Sayangnya, penolakan Gus Yahya terhadap feminisme kurang tepat ketika dialihkan pada persoalan kapasitas yang diatribusikan kepada manusia secara umum. Apa yang dimaksud kapasitas di sini adalah potensi kodrati yang dimiliki oleh manusia. Contohnya, kapasitas yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi Nahdliyyin adalah potensi berpikir, bervisi nahdliyyah yang mencukupi, serta punya tenaga yang siap dicurahkan untuk berkhidmah di Nahdlatul Ulama. Dari menjadi warga, kader, hingga pengurus mensyaratkan kapasitas tertentu di setiap kategorinya.
Kapasitas bisa dimiliki semua orang, tapi tidak tepat untuk mengasumsikan bahwa kapasitas yang dimiliki oleh semua orang adalah sama dan setara. Karena kenyataan historis dan sosial tidak menunjukkan kapasitas masing-masing individu setara. Buktinya, ketimpangan sosial dimana-mana. Apa yang kita anggap ‘potensi’ dan ‘kapasitas’ adalah hal rumit yang perlu didudukkan, terutama dalam tulisan ini adalah persoalan laki-laki dan perempuan.
Mengandaikan ‘pada dasarnya’ perempuan memiliki kapasitas dan potensi kodrati yang setara dengan laki-laki, memungkiri ketimpangan yang dialami oleh perempuan. Untuk itu perlu menelisik segala hal fundamental di balik fenomena ketaksetaraan yang tampak. Artinya kita perlu metodologi untuk membacanya.
Bagaimanapun, mengabaikan metodologi feminis barat dan menekankan hanya pada kapasitas manusia yang setara berarti mengabaikan penindasan dan opresi yang dialami oleh perempuan: kekerasan seksual, upah murah, pelabelan sosial, pembagian kerja secara seksual, keterjebakan perempuan dalam pekerjaan domestik, subordinasi perempuan di ranah politik, dan lain sebagainya.
Layaknya kertas kosong yang kita coret sendiri seketika lahir. Pengandaian ini sia-sia. Kapasitas yang dimiliki perempuan tentu tidak sebanding dengan yang dimiliki laki-laki dalam masyarakat kita yang patriarki. Kapasitas yang dimiliki oleh perempuan yang lahir dari keluarga pemilik Pertamina tentu tidak sebanding dengan yang dimiliki perempuan yang lahir dari keluarga petani, dalam masyarakat kita yang kapitalistik.
Akan lebih mudah untuk memasukkan Erik Thohir, misalnya, ke dalam kepengurusan NU—Insyaalloh satu tahun lagi— karena secara material lebih mungkin baginya melakukan perjalanan sowan ke kiai-kiai untuk mempelajari keaswajaan secara ketat, untuk meluangkan waktu menghadiri dan menjadi panitia di setiap acara NU, karena ia tidak perlu pusing apakah ia bisa makan dengan cukup dan tidur dengan nyenyak.
Sehingga, kita perlu menggeser persoalan kapasitas pada persoalan yang menyangkut kompleksitas relasi manusia dengan masyarakatnya, di mana ia bergulat dengan kenyataan.
Produksi dan Reproduksi adalah Kapasitas Manusia
Memahami kapasitas sebagai konsep yang dibentuk sejarah dan sosial berarti memahami relasi manusia. Memahami bagaimana perempuan dan laki-laki punya akses atas produksi dan reproduksi. Konsep ini bertolak dari analisis materialisme-historis yang menjadi inti metodologi pendekatan Feminis-Marxis: manusia adalah makhluk materil yang membutuhkan makanan cukup untuk menghidupi dirinya, oleh karenanya ia memproduksi sesuatu.
Untuk dapat memproduksi sesuatu, manusia perlu membagi tugas, peran dan alat produksi dengan sesamanya; membangun keluarga, dimana bentuknya selalu beragam di setiap corak produksi tertentu. Agar tenaga produksi tetap tersedia pada hari berikutnya, manusia memulihkan tenaganya dengan reproduksi. Kapasitas sebagai potensi manusia dapat dipahami sejauh corak produksi dan reproduksi menentukan perjalanan manusia di atas garis sejarah yang ia lewati sejak dirinya lahir di dunia.
Analisis materialisme-historis yang mengerucut pada produksi dan reproduksi yang dijalin oleh relasi laki-laki dan perempuan, menghindarkan kita dari pengisolasian tubuh perempuan dalam perspektif ahistoris, di mana ia dilepaskan dari aktivitas konkret yang ia kerjakan sehari-hari.
Beberapa perspektif feminis mungkin tidak sedikit yang berujung pada kekeliruan. Misalnya mereka melacak sumber penindasan, tapi secara bersamaan memutus keterhubungan laki-laki dan perempuan dalam konteks historis. Firestone, misalnya, menganggap bahwa sumber penindasan adalah ketaksetaraan biologis pada prokreasi, sehingga untuk membebaskan perempuan perlu menghilangkan alat reproduksinya. Chodorow secara psikoanalitis mendasarkan ketimpangan pada peran perempuan sebagai ibu, di mana citra keibuan turun temurun hingga ke anak-anak perempuan (Gimenez, 2019). Sehingga citra keibuan menjadi kata kunci yang universal tapi justru terputus dari konteks sosial-sejarah. Maka, untuk menjelaskan relasi perempuan dan laki-laki secara historis, perlu mendekati tubuh perempuan dari analisis produksi dan reproduksi kapitalisme, yang mana relasi tersebut dibangun di atasnya.
Kapitalismelah yang kemudian menempatkan kapasitas perempuan pada umumnya di wilayah reproduksi. Hal ini berlaku sejauh kapitalisme menghendaki produksi secara terus-menerus, untuk menghidupi kapital itu sendiri. Reproduksi memadat dalam apa yang disebut sebagai “upah”.
Akumulasi kapital itu menjadi momen penting dalam corak produksi kapitalisme, mendesak kelas pekerja, baik laiki-laki maupun perempuan, untuk menjadikan “upah” sebagai satu-satunya sumber utama mereka, yang mana dengan “upah” mereka memulihkan tenaga kerja untuk melakukan produksi di hari berikutnya. Seorang pekerja memerlukan makanan yang cukup, tidur yang layak, dan kebutuhan-kebutuhan selain produksi, untuk dapat kembali bekerja di keesokan harinya. Termasuk dari reproduksi adalah prokreasi untuk melahirkan generasi-generasi agar dapat menggantikan tenaga kerja yang mati dengan tenaga kerja yang baru.
Dari sini kita menjadi paham postulat Engels (1972), “produksi selalu berjalan dua kali lipat, dimana hal tersebut membutuhkan produksi atas sesuatu dan pada saat yang sama, produksi kehidupan manusia.” Namun, perlu diperjelas di sini, bahwa reproduksi tidak sebatas memulihkan tenaga kerja untuk produksi, melainkan segala hal yang membuat kehidupan berharga dan bermakna seperti: pendidikan, hiburan, hasrat, kesehatan, dan lain sebagainya. Kapitalis berusaha, bukan saja untuk dirinya namun juga untuk keberlangsungan kapital, membatasi ‘upah’ pada tataran yang cukup bagi pekerja untuk menghidupi dirinya sendiri (floor of subsistence), sehingga tenaga kerja hanya cukup memulihkan tenaganya untuk hari berikutnya, tanpa memulihkan kebermaknaan hidupnya.
Hanya saja, kapitalis secara struktural tidak mungkin membuka lapangan kerja untuk semua orang, terlepas dari apapun gendernya (Gimenez, 2016). Pada titik ini, laki-laki dan perempuan dipaksa untuk berkompetisi satu sama lain dalam memperebutkan lapangan kerja yang terbatas. Sementara kekuatan-kekuatan produksi—tenaga kerja dan alat-alat yang dibutuhkan kapitalisme untuk produksi—menciptakan pembagian kerja yang secara teknis dicirikan dengan keterampilan yang ekuivalen dengan “upah” tersebut. Sehingga, begitu perempuan dimobilisasi ke ruang publik, mereka tersegregasi dalam konstruk sosial yang dicirikan oleh kapitalisme. Hal ini berkaitan erat dengan perbedaan fisiologi yang ada pada perempuan dan laki-laki, dimana perempuan tidak mampu bekerja secara teknis dengan baik dan mengalami pelemahan pada masa-masa prokreasi, penyusuan dan siklus menstruasi (Mies, 2014). Sehingga yang terjadi adalah peminggiran dan proses penyembunyian perempuan dari penglihatan kapitalisme, kemudian dipertajam dengan perangkat ideologis, seperti halnya yang terjadi pada rasisme.
Perempuan yang terjun dalam kerja-kerja non-domestik pada umumnya, secara struktural, mendapat upah yang lebih sedikit dan perlakuan yang tidak setara dibandingkan dengan laki-laki. Di sini kita menjadi akrab dengan istilah “feminisasi kerja” (feminization of work) yang banyak dianjurkan oleh kalangan feminis yang terkonsentrasi pada politik formal dan wilayah publik-privat. “Feminisasi kerja” dipahami sebagai jalan keluar bagi keterjebakan kapasitas perempuan pada wilayah domestik atau ranah privat kepada ranah publik yang disediakan oleh kapitalisme.
Pada abad ke-18 di Eropa, mobilisasi perempuan ke ranah publik didasarkan pada kepentingan perempuan sebagai tenaga kerja di pabrik manufaktur (Rahayu, 2013). Hal ini juga berlaku di Indonesia pada pertengahan abad ke-19, di mana corak produksi kapitalistik berbaur dengan kolonialisme (Colonial Mode of Production), perempuan-perempuan Jawa dikirim ke Deli bahkan Suriname untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak perkebunan.
Gerak akumulasi kapital menentukan seberapa luas pasar tenaga kerja. Begitu perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-hak pendidikan dan kesempatan pekerjaan berhasil diperoleh, bebarengan dengan kemajuan alat-alat produksi yang berimplikasi kepada usangnya pembagian kerja secara teknis, kapitalis mempertajam ketersediaan tenaga kerja melalui cara kerja ideologis (Gimenez, 2016). Misal dengan mengijinkan para feminis untuk menganjurkan perempuan mendapat pekerjaan yang sama dengan laki-laki.
Namun di lain sisi, corak reproduksi secara luas tidak berubah. Sehingga yang terjadi adalah perempuan harus memikul beban kerja dua kali lipat dari laki-laki, dimana mereka harus bekerja di wilayah non domestik dan melahirkan anak serta mengasuhnya. Sementara mendapat beban ganda, pada saat yang sama “upah” perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki.
Kekalahan perempuan dari laki-laki di wilayah kompetisi kerja non-domestik membuatnya terasingkan dalam pembagian kerja seksual, sekalipun produksi kapitalistik mendekatkan pilihan-pilihan terbuka untuk laki-laki dan perempuan propertyless (tidak memiliki alat-alat produksi, dalam hal ini adalah para pekerja) (Gimenez, 2016), yaitu melalui ketersediaan lapangan kerja yang tersedia baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Laki-laki dan perempuan mampu bertahan hidup dan membentuk relasi yang stabil dengan membentuk ikatan keluarga, sehingga dapat memperluas akses material kebutuhan hidup. Keluarga merupakan unit terkecil serikat para pekerja untuk mereproduksi tenaga kerja mereka yang telah berlangsung dari generasi ke generasi. Kapitalisme, dengan demikian, memungkinkan subordinasi reproduksi atas produksi, dimana unit keluarga murni ditentukan sebagai wilayah reproduksi yang terpisah dari produksi. Di dalam keluarga, laki-laki dan perempuan diandaikan sebagai partner seksual dan dapat hidup secara sosial sangat manusiawi. Tapi melalui mekanisme pasar tenaga kerja mengkronfontasikan keduanya dalam keberingasan kompetisi.
Batasan-batasan yang ditentukan kapitalisme memungkinkan kapasitas perempuan untuk bekerja sebagai ibu rumah tangga yang secara struktural, di luar kontrol yang ia miliki, menjadi semakin bergantung kepada laki-laki yang memimpin keluarganya. Ketimpangan terjadi ketika laki-laki memiliki pekerjaan yang dibayar, sementara perempuan harus memikul dua kali lipat beban kerja.
Kapasitas bukan Identitas!
Melalui analisis struktural di atas, pemosisian perempuan pada fungsi reproduktif dan prokreatif dalam corak produksi kapitalisme, memungkinkan sosialisasi wacana perempuan sebagai sosok yang kerdil dari laki-laki. Secara terus-menerus, kapitalisme yang menjangkiti sekujur tubuh masyarakat kita, mengarahkan pembentukan identitas perempuan sebagai yang selalu subordinatif.
Ujaran Jawa masak, macak dan manak jadi contoh perwajahan patriarki dalam masyarakat kita. Patriarki melihat perempuan semata-mata pada fungsi reproduksi saja. Sosialisasi ini berlaku di segala hal: beririsan dengan ras, etnis dan bahkan agama. Kapitalisme, dengan begitu, mengalir di sekujur tubuh masyarakat kita, menciptakan momentum-momentum organik sebagai sebuah totalitas dan menempelkan masing-masing identitas tertentu pada masyarakat yang hidup di dalamnya.
Identitas perempuan sebagai subordinat banyak diasumsikan oleh banyak feminis terkini hanya berdasar pada persoalan patriarki. Melalui analisis di atas, gagasan patriarki dianggap bukan satu-satunya sumber penindasan yang dialami oleh perempuan. Laki-laki tidak lepas dari determinasi sejarah, juga tidak memiliki kemampuan spesial untuk meramal masa depan agar dapat menciptakan sistem yang dinamakan patriarki. Sekalipun patriarki lebih tua dari kapitalisme, tapi ia hanya mungkin mengalami penguatan dan menjadi watak dominan masyarakat kita. Sehingga pertalian antara kapasitas perempuan yang telah ditentukan oleh kapitalisme dengan identitas yang melekat padanya, secara diskursif disosialiasikan berdasarkan relasi produksi dan reproduksi yang mendasarinya.
Mengesampingkan identitas dan mementingkan kapasitas sebagai sikap ideal agaknya membingungkkan, sekaligus kurang tepat, karena menunjukkan seolah tidak ada cara tertentu dan spesifik untuk mendudukkan persoalan identitas sebagai hal yang kompleks dan rumit untuk diselesaikan. Terjebak dalam bias identitas dan menyelesaikannya dengan cara menyederhanakan kapasitas. Sementara kapasitas, sebagaimana laku produksi dan reproduksi, adalah perihal yang erat dengan relasi corak produksi yang harus dianalisis secara struktural.
Melalui analisis struktural, persoalan kapasitas perempuan dapat dilihat dalam kompleksitas relasi produksi/reproduksi. Setidaknya, karena kapasitas sebagai goblok, seseorang tidak dinilai sebagai buruk dan payah karena semata-semata ia goblok. Sebagaimana tujuan saya mempelajari pendekatan Marxis, sekurang-kurangnya ia memungkinkan kita untuk mengoreksi aktor sosial dengan menjelaskan kondisi-kondisi yang menentukannya.
Mempersalahkan inferioritas perempuan atau superioritas laki-laki tentu mengabaikan kompleksitas sosial, karena kedua hal ini hanyalah efek struktural dari jaringan yang rumit di atas relasi produksi dengan reproduksi. Akan tetapi, menganggap kapasitas sebagai potensi setara yang dimiliki oleh baik laki-laki maupun perempuan, serta meninggalkan metodologi feminisme merupakan hal yang kurang bijak dilakukan. Pernyataan itu mengabaikan fakta subordinasi perempuan atas laki-laki dalam corak kapitalisme.
Kapasitas tidak dapat diandaikan sebagai yang natural ada dan setara pada masing-masing individu. Ia mengemuka bersamaan dengan jalinan rumit sosial dan ekonomi. Dalam kerangka agama sebagai standar objektif bagi pengetahuan, Nabi mengingatkan:
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?” [H.R. Bukhari].
Pada dasarnya memang kapasitas yang dimiliki oleh seluruh manusia adalah setara—di atas fitrah—namun struktur sosial, yang disimbolkan melalui orang tua sebagai unit keluarga terkecil, menjadi landasan ketidaksetaraannya. Oleh karena itu, kita tetap membutuhkan analisis dan metodologi yang membebaskan, agar seluruh manusia dapat berada di posisi setara satu sama lain.
*Penulis kelahiran Bantul ini adalah mahasiswa Akidah dan Filsafat, al-Azhar Kairo, yang terjebak dalam labirin Marxisme. Pernah nyantri di Ponpes Assalafiyyah, Mlangi dan Ponpes Fadlun Minalloh, Wonokromo. Sekarang aktif di Lakpesdam PCINU Mesir, menulis tentang diskursus kiri di Timur Tengah.
Ilustrator Surya Puja Kelana | Editor Fatan As-shidqie
Daftar Referensi:
Engels, F. (1972). Origin of the Family, Private Property, and the State. New York: Pathfinders Press.
Gimenez, M. E. (2016). Kapitalisme dan Penindasan terhadap Perempuan: Kembali ke Marx. Pustaka IndoPROGRESS.
Gimenez, M. E. (2019). Marx, Women, and Capitalist Social Reproduction: Marxist Feminist Essays. Leiden: Koninklijke Brill.
Izzati, F. F. (2021, Maret 24). Dari Feminisme Islam ke Islam Tanpa Feminisme: Suatu Pemetaan Awal. diambil kembali dari Islam Bergerak: http://islambergerak.com/2021/03/dari-feminisme-islam-ke-islam-tanpa-feminisme-suatu-pemetaan-awal/
Mies, M. (2014). Patriarchy and Accumulation on a World Scale. London: Zed Books Ltd.
Putra, E. P. (2023, Januari 18). Ketum PBNU Berpesan ke Kader Fatayat dan Muslimat: Jangan Ikut Feminisme. Diambil kembali dari Republika: https://news.republika.co.id/berita/ronsqn484/ketum-pbnu-berpesan-ke-kader-fatayat-dan-muslimat-jangan-ikut-feminisme
Rahayu, R. I. (2013, Agustus 19). Feminisasi Dunia Kerja Menguntungkan Kapitalisme. (F. F. Izzati, Pewawancara)
Rahayu, R. I. (2017, Mei 11). Dalam Tegangan Permanen: Relasi Gerakan Feminis dalam Perjuangan Kelas. Diambil kembali dari IndoProgress: http://indoprogress.com/2017/05/dalam-tegangan-permanen-relasi-gerakan-feminis-dalam-perjuangan-kelas/