Lpmarena.com – Ratusan orang berkumpul di Gupit, Karangsewu, Galur, Kulon Progo, pada Minggu (7/5), untuk memperingati hari lahir ke-17 Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). Tua dan muda tumpah ruah mengikuti serangkaian acara. Peringatan ini dilangsungkan selama dua hari. Dibuka dengan pemurtaran film dan mujahadah pada Sabtu (6/5) malam. Dilanjut esoknya, Minggu (7/5) pagi, dengan arak-arakan gunungan dan penampilan musik solidaritas dari berbagai grup.
Peringatan hari lahir ini menjadi momentum PPLP-KP untuk menegaskan konsistensi perlawanan rencana tambang pasir besi di lahan pertanian warga. Secara seremonial, konsistensi itu disimbolkan dengan pemotongan tumpeng oleh ketua PPLP-KP, Supriyadi, yang diberikan kepada sepuluh anak-anak dari petani PPLP-KP.
Menurut Supriyadi, PPLP-KP yang berumur dewasa tentu sudah melahirkan generasi baru, menggantikan generasi lama yang sudah meninggal dunia. Pemberian tumpeng tersebut lantas dimaknai sebagai perlawanan terhadap tambang besi akan tetap berlanjut sampai kapanpun.
Sejak didirikan pada 2006, tutur Supriyadi, PPLP-KP hadir untuk kesejahteraan petani. Apapun permasalahan yang dihadapi petani, PPLP-KP senantiasa membantu mengatasinya, seperti kelangkaan pupuk dan jatuhnya harga pasar. Akan tetapi, persoalan utama yang dihadapi mereka adalah perebutan lahan pertanian oleh korporasi untuk dijadikan tambang pasir besi.
“Kita komit dari awal untuk tetap menjaga kelestarian alam, menjaga alam Kulon Progo. Kita buktikan sampai hari ini kita tetap kompak,” jelasnya kepada ARENA saat ditemui seusai acara.
Senada dengan itu, menurut Suparno, salah seorang warga PPLP-KP asal Kalurahan Karangwuni, peringatan hari lahir ini berguna untuk merapatkan barisan solidaritas warga dan menunjukkan PPLP-KP masih ada dengan konsistensi yang sama. Sebab, sampai sekarang, lahan pesisir Kulon Progo masih terancam pertambangan yang dioperasikan PT Jogja Magasa Iron (JMI), mengingat korporasi tersebut masih mengantongi izin kontrak karya sampai 2038.
“Karena apapun itu, selama kontrak karya masih belum dicabut, maka kita masih terancam,” ungkap Suparno kepada ARENA.
Padahal, menurut Julian Dwi Prasetya, Direktur LBH Yogyakarta, sebenarnya pemerintah sudah tidak bisa memberlakukan kontrak karya di lahan pesisir yang dimiliki warga PPLP-KP. Mengingat sistem kontrak karya adalah sistem lama yang muncul pada zaman Orde Baru, dan ketika itu Indonesia masih di bawah kesadaran bahwa dalam sistem kontrak karya Indonesia setara dengan korporasi.
“Harusnya itu diubah, sehingga harusnya kontrak karya atau izin-izin lainnya yang ada di atas lahan pantai ini harusnya sudah dicabut,” tutur Julian.
Untuk itulah, PPLP-KP merefleksikan hari lahirnya yang ke-17 dengan tajuk “Terus Tumbuh dan Melawan”. Dalam pandangan Suparno, tajuk tersebut memiliki arti bahwa perjuangan PPLP-KP selalu bertumbuh, dari satu generasi ke generasi berikutnya yang lebih muda, untuk melawan perampasan hak dan perusakan alam yang hendak dilakukan oleh siapapun.
“PPLP memperjuangkan ruang hidup karena itu (menjadi) alat dasar kehidupan petani, karena hidupnya dari tanah,” pungkasnya.
Reporter Mas Ahmad Zamzama | Redaktur Aji Bintang Nusantara