Oleh: Fauzul Abid*
Papua, tanah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), salah satunya adalah emas. Namun, data dari BPS tahun 2022 Provinsi Papua dan Papua Barat adalah dua provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Ke manakah larinya sumber daya emas di tanah Papua?
Keuntungan emas lari ke dalam kantong Freeport. Ya, PT Freeport, salah satu tambang emas terbesar di dunia yang mengeruk emas di tanah Papua. Sayangnya, keuntungan dari Freeport tidak kembali kepada masyarakat Papua. Banyak dari pekerja merupakan orang non-Papua dan PT ini juga merusak lingkungan di sana. Masyarakat lokal di sana acap kali menjadi korban bagi para kapital, termasuk juga negara yang diam dan seakan menganaktirikan Papua.
Suara masyarakat tidak pernah didengar. Salah satu suku yang menolak pertambangan emas itu adalah Suku Amugne. Lembah Tsinga, tempat keramat bagi mereka terjarah menjadi bagian pertambangan. Sedari awal suku ini sudah menolak, tetapi pertambangan itu terus berjalan karena konsesi dari Pemerintah Indonesia kala itu, era kepemerintahan Soeharto pada 1967.
Belum selesai dengan permasalahan tambang, Papua dihadapkan dengan kedaulatan daerah. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sistem yang digunakan saat itu. Sistem Pepera menggunakan prinsip one man one vote (satu orang satu suara). Sayangnya, banyak pelanggaran HAM saat Pepera tahun 1969 berlangsung.
Masyarakat Papua saat itu banyak yang dipaksa dan diintimidasi agar memilih bergabung dengan Indonesia. Christofelt L. Korua, salah seorang saksi mata yang juga merupakan purnawirawan polisi menyampaikan, bahwa orang-orang Papua yang menjadi perwakilan dalam Pepera 1969 ditentukan oleh pejabat Indonesia dan mereka dijaga ketat oleh polisi maupun militer Indonesia di sebuah ruangan. Akibat hal tersebut, pelaksanaan Pepera banyak menuai protes dari masyarakat dunia. Dikutip dari Dr. Socratez S.Yoman dalam bukunya Jejak Kekerasan Negara Dan Militerisme di Tanah Papua, 2021.
Dalam hal ini, Indonesia telah melanggar Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada pasal 1 yang berbunyi “Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.”
Padahal pihak Papua yang diwakili oleh Dewan Gereja Papua (WPCC) dan tokoh pro-referendum yaitu Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) telah memberikan resolusi konflik Papua terhadap pemerintah Indonesia, yaitu dialog damai dan terbuka. Namun, Upaya tersebut tak pernah mendapat respon baik dari pemerintah.
Saat membaca sejarah Papua, ternyata dosaku tidak terlalu parah. Aku hanya membohongi seorang teman bahwa Piala Dunia U-20 akan dilaksanakan di Indonesia, dibanding dengan pemerintah yang membohongi masyarakat tentang tanah Papua. Kita selalu didoktrin dan diajarkan bahwa Papua bergabung ke Indonesia merupakan kesuksesan para tokoh bangsa untuk merebut Papua dari tangan Belanda tanpa mengetahui dari perspektif masyarakat Papua.
Lebih miris lagi, kebohongan-kebohongan ini diajarkan dalam dunia pendidikan sejak Sekolah Dasar (SD). Guru yang semestinya mendidik seseorang untuk keluar dari jerat kebodohan terpaksa gagal karena juga menjadi korban dari kedustaan pemerintah. Nahas, guru harus menjadi agen-agen penyebar kebohongan pemerintah yang dibungkus dengan edukasi sejarah Indonesia.
Pelanggaran HAM
Indonesia merupakan negara hukum yang mengakui Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu bentuk pengakuannya adalah meratifikasi perjanjian internasional tentang HAM, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Sipil dan Politik, dan Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya. Namun, bentuk pengakuan ini tidak selaras dengan bentuk penegakannya. Dalam status quo, pelanggaran HAM masih banyak terjadi di Indonesia, terutama di Papua.
Pemerintah Indonesia selalu merespon dengan cara-cara militer untuk menyelesaikan persoalan di Papua. Penolakan tambang oleh Suku Amugne direspon dengan pengiriman TNI dan pengusiran warga dari daerah tempat tinggalnya. Dalam insiden ini, diduga sekitar 50 orang terbunuh.
Pun saat ini hadir Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang mendesak kemerdekaan terhadap Papua dihadapi dengan cara militer, bukan dengan cara damai atau humanis. Padahal Gus Dur, mantan presiden Indonesia kerap berdialog dengan masyarakat Papua. KKB ini merupakan kelompok yang muncul akibat upaya damai tidak pernah dipenuhi saat penyelesaian konflik. Mereka ini mengatasnamakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).
Pendekatan militer begini tak jarang menyebabkan korban jiwa. Seperti kasus Wasior-Wamena dan kasus pembunuhan terhadap warga sipil Selu Karunggu dan Elias Karunggu yang dituduh sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Sampai saat ini, kasus-kasus tersebut hanya menjadi catatan pelanggaran HAM tanpa ada penegakan hukum bagi pelaku dan keadilan bagi korban. Hal ini menunjukkan Pemerintah Indonesia telah melanggar hak hidup dari masyarakat Papua yang telah dijamin pada pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan pasal 6 Kovenan Sipil dan Politik.
Berbicara masalah pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua tak akan selesai. Rasisme dan diskriminasi terus melekat pada diri masyarakat Papua. Nahas, hal ini kerap terjadi bagi mereka yang merantau ke tanah Jawa. Seperti yang terjadi dalam kasus pengepungan di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya. Mahasiswa di asrama tersebut diduga merusak bendera merah putih yang berada di depan asrama yang direspon oleh aparat dan massa dengan melontarkan kata-kata rasis dan penembakan gas air mata terhadap Mahasiswa Papua.
Selain itu, Asrama Papua Kamasan Yogyakarta juga pernah menjadi saksi bisu aksi rasisme dan diskriminasi akibat pengepungan polisi dan masyarakat. Tak hanya itu, aksi ini juga berujung pada kasus penginjakan kepala Obygus Gobai, salah satu mahasiswa Papua di Asrama Yogyakarta. Stigma akan masyarakat Papua pun hingga kini masih tertanam kuat.
Entahlah, sampai kapan masalah Papua ini akan selesai. Namun, melihat apa yang terjadi di Papua membuat aku terpikir tentang skenario masa depan Papua nantinya. Ibarat punya raganya namun tak dengan hatinya, jika masalah historis pengintegrasian Papua masih tetap berlarut dan pendekatan keamanan tetap dilakukan, maka tak mustahil Papua memilih hengkang atau lepas dari Indonesia karena pemerintah tak dapat mengambil hati masyarakat Papua. Pemerintah mungkin berpikir jika kesejahteraan Papua bisa diwujudkan dengan terpenuhinya infrastruktur. Namun, hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat Papua yang menganggap bahwa sejahtera itu terwujud jika mereka bisa hidup berdampingan dengan alam secara aman dan nyaman. Alhasil, pemerintah tetap tak dapat menyelesaikan masalah Papua dan sikap masyarakat Papua akan sama dengan skenario yang sebelumnya.
* Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hukum yang terperangkap dalam kebohongan sejarah
Ilustrator Surya Puja Kelana | Editor Maria Alzahra