Lpmarena.com–Sudah enam tahun kegiatan pertambangan di Kali Progo berjalan tanpa memikirkan dampak lingkungan sekitar. Sejak 2017 sampai sekarang, para petani yang menanggung akibatnya, debit air menurun sehingga sulit bagi petani untuk melakukan irigasi sawah.
Yadi, kuli tani di Jomboran, khawatir melihat debit air yang semakin menurun membuat saluran irigasi sawahnya kering. Supaya saluran irigasi itu tercukupi air, para petani harus menunggu sampai musim penghujan.
“Bahkan nunggu air di musim hujan pun tidak mampu mencukupi kebutuhan air di saluran irigasi kami,” ujar Yadi.
Selain debit air yang menurun, dampak turunan kegiatan pertambangan ialah terjadinya gagal panen. Sawah yang digarap Yadi pernah gagal panen hingga rugi 2 juta rupiah. Sebagai kuli tani yang tidak memiliki lahan, gagal panen juga merupakan musibah karena berimbas pada penurunan upah. Biasanya 50 ribu, saat gagal panen Yadi hanya menerima 30 ribu.
Sawah yang mengering secra tidak langsung mendatangkan banyak hama, akibatnya gagal panen tidak dapat dihindari. Untuk mengusir hama-hama itu Yadi harus mengelurkan tenaga lebih. Ia dan para petani lain berupaya mengumpulkan air secara manual, supaya sawah teririgasi dengan cukup dan nantinya panen untung.
Pencarian air manual ditempuh para petani dengan rentang jarak 4-5 km dari Jomboran. Mereka mencari dari hilir sungai dan biasanya air ditemukan di daerah pintu masuk Ancol Bligu. Tak semudah yang dikira, mencari air manual seperti ini menyulitkan para petani. Jarak yang jauh, ketersediaan air dan para petani yang saling berebut air merupakan tantangan yang harus dihadapi demi mengaliri air ke sawah-sawah.
“Air yang masuk ke saluran irigasi sekarang dikit apalagi sekarang daerah hulu juga ikut ditambang, selain sulit mendapatkan air, kadar air yang didapat pun tidak mampu mengaliri sawah dengan baik apalagi pas masuk musim kemarau,” ungkap Yadi.
Sejauh ini petani Jomboran masih memakai cara tradisional dalam aktivitas pertaniannya, salah satunya tidak memakai pompa air. Warga memilih untuk mengebor sumur. Namun, kini sumur itu mengalami pendangkalan karena penurunan debit air di Kali Progo. Hal ini membuat warga tidak mendapatkan pasokan air yang cukup untuk mengaliri sawah.
Tandi menjelaskan, petani bukannya tidak mau memakai alat canggih seperti pompa air, tapi pembelian alat tersebut akan menambah beban biaya pada warga. Ia menyayangkan tidak adanya bantuan dari pemerintah setempat untuk membantu meringankan persoalan yang terjadi.
“Alternatif paling efektif memang memakai pompa air, tapi ketika daya yang dipakai menggunakan listrik atau genset warga akan keberatan karena perlu mengeluarkan biaya lagi. Kalau pemerintah memberi bantuan tentu akan lebih mudah, namun terkait pompa air belum ada sosialisasi dari pemerintah,” terang Tandi salah satu koordinator Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) saat ditemui ARENA pada (08/07).
Untuk mengatasi masalah pada tampungan saluran irigasi, warga Jomboran berinisiatif untuk menyemen seluruh saluran irigasi sawah. Harapannya tampungan air pada saluran irigasi dapat bertahan lebih lama. Kendati demikian, upaya ini juga tidak dapat menanggulangi permasalahan irigasi, sebab debit air yang menurun drastis.
Sudah Melanggar, Namun Perusahaan tetap Menambang
Debit air di Kali Progo sudah menurun hingga 50 persen. Tandi menjelaskan, bahwasanya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketersedian air semakin menipis, yakni kerusakan struktur tanah, pendangkalan air sungai, dan pembuangan sampah sembarangan. Dua faktor diantaranya merupakan akibat daari kegiatan pertambangan Kali Progo.
“Sebelum adanya pertambangan, kadar air yang ada dalam tampungan saluran irigasi mampu bertahan hingga tiga hari. Berbeda dengan hari ini, air yang terdapat dalam saluran irigasi hanya mampu bertahan selama satu hari paling lama, belum lagi ketika musim kemarau hanya hitungan beberapa jam saja dari proses pencarian air secara manual,” jelas Tandi.
Terdapat dua perusahaan yang menambang Kali Progo tepatnya di wilayah Jomboran, yaitu PT Citra Mataram Konstruksi dan Pramudya Afgani. Kedua perusahaan ini melanggar beberapa peraturan dalam kegiatan pertambangan.
“Alat yang mereka pakai untuk menambang semakin panjang tidak seperti standar yang telah ditentukan oleh aturan, kalau diaturan hanya 5 meter kalau yang mereka pakai ini perkiraan mencapai 15 meter,” ungkap Tandi.
Tak hanya itu, kedua perusahaan ini juga melewati batas kontrak penambangan. Izin tambang dari PT. Citra Mataram Konstruksi ini sudah berakhir pada 14 Juli 2023. Namun, faktanya sampai pada 16 Juli 2023 kegiatan tambang masih beroperasi di Kali Progo. Sedangkan PT Pramudya Afgani sejak awal tahun lalu izinnya sudah dicabut. Namun, PT ini malah menambah unit eskavator dan menambah volume material yang diangkut oleh truk yang melebihi lima kubik dari ketentuan tambang.
“Kondisi sekarang dari pihak perusahan tambang semakin ngawur, PT. Pramudya Afgani diketahui malah menurunkan dua unit eskavatornya, muatan beban yang diangkut oleh truk juga sudah melebihi batas, hari ini pengangkutan bisa mencapai lima ton lebih, padahal izin mereka sudah dicabut,” Ungkap Tandi saat dihubungi ARENA melalui chat WhatsApp pada (10/08).
Ni Kadek Pujiani, dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga memaparkan bahwa kegiatan pertambangan sejatinya merusak alam. Saat ditemui ARENA pada (28/07) dia menjelaskan proses pertambangan yang didalamnya terdapat kegiatan menggali, mengeruk, dan membabat pohon yang digunakan untuk akses jalan eskavator akan berakibat kepada perubahan pola bumi. Hal ini menjadikan debit air di Kali Progo akan semakin berkurang, sebab pola tanah yang ada di bawah sungai bergeser semakin dalam.
Kadek menyarankan pada perusahaan untuk lebih memperhatikan dampak lingkungan, terutama pada daerah di sekitar sungai. Sebab aktivitas pertambangan yang tidak memperhatikan standard operating procedure (SOP) dengan baik, lambat laun juga berpotensi merusak sungai dan alam sekitarnya.
“Pengerukan pada proses tambang menyebabkan konsentrasi sedimen dalam sungai meningkat sehingga akibatnya air sungai akan keruh, pengaruhnya pada tanah, top soil tanah akan hilang, sifat ph tanah menjadi asam, inilah yang menyebabkan sistem perakaran tanah tidak normal dan sukar diolah,” ujar Kadek.
Sejak 2017 saat pertambangan dimulai, warga sudah melakukan aksi penolakan lantaran tahu bahwa lingkungannya akan rusak. Warga desa Jomboran, Wiyu, Pundak Wetan dan Nanggulan membuat paguyuban bersama bernama PMKP. Selama ini warga sudah mendesak Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLKH), pihak kepolisian, hingga pemerintah kesultanan Yogya. Namun, belum ada keseriusan dari pihak-pihak tersebut untuk memberhentikan tambang.
Hingga kini semangat perjuangan warga PMKP tetap menyala. Bahkan sampai hari ini warga berupaya memperjuangkan kelestarian Kali Progo, dengan mengirimkan surat kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM), terkait izin dari kedua perusahaan tersebut.
“Pertambangan ini sudah termasuk ilegal, mereka gak ada izin kok sama warga, kami sudah berapa kali menolak secara terang-terangan namun tidak pernah didengarkan. Mereka mungkin ada dukungan dari pihak-pihak yang memegang kuasa di daerah sini,” pungkas Tugiman salah satu warga padukuhan Wiyu.
Liputan ini adalah liputan kolaborasi untuk mengangkat isu pertambangan yang ada di Kulonprogo. Kolaborasi ini diikuti oleh LPM Natas, LPM Arena, BPPM Balairung, LPM Philosofis, BPMF Pijar, LPM Ekspresi, LPM Himmah dan LPM Rethor.
Reporter Nada | Redaktur Maria Al-Zahra | Ilustrator Bisma Aly Hakim