Lpmarena.com – Yogyakarta menjadi provinsi dengan biaya kuliah termahal se-Indonesia. Mahalnya biaya kuliah tersebut cukup ironis mengingat pemerintah Indonesia seharusnya bisa menggratiskan biaya kuliah. Untuk menyoroti hal itu, Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) menyelenggarakan Simposium Pendidikan bertajuk “Darurat Biaya Pendidikan di Yogyakarta”, Kamis (31/04) di aula ISDB Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik (Fishipol), UNY.
Bima Yudhistira, direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebutkan bahwa menggratiskan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa seluruh Indonesia adalah hal yang sangat mungkin. Menurut perhitungan Bima bersama timnya pada 2020, biaya yang dibutuhkan untuk 2 semester sebesar 96 triliun rupiah, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta.
“(Biaya) Ini gak ada apa-apanya dibandingkan dengan bangun ibu kota negara yang gak ada kaitannya dengan sumber daya manusia. Kita harus bilang begitu. Buat apa 460 triliun untuk memindahkan ibu kota, kalau gak naik IQ orang Indonesia?” tutur Bima.
Alih-alih gratis, biaya kuliah semakin ke sini malah semakin mahal. Karenanya, bukan hanya mahasiswa yang kesusahan dengan persoalan mahalnya biaya kuliah, tetapi juga orang-orang tuanya yang selama ini membiayainya.
Ironisnya, menurut Bima, narasi soal susahnya membiayai kuliah itu pun tengah dibajak oleh bank dan perusahaan asuransi, yang datang dengan solusi program pinjaman pendidikan dan asuransi pendidikan. Dan itu bukan solusi yang tepat.
“Kita butuh solusi-solusi yang lebih kreatif,” kata Bima.
Makin mahalnya biaya pendidikan ini disebut oleh Eko Prasetyo, founder Social Movement Institute (SMI), sebagai komersialisasi pendidikan. Hal itulah yang menurut Eko menjadikan kampus-kampus hari ini mengalami kemerosotan dan kehilangan suasana belajar dan aroma intelektualnya.
Menurut Eko, hal itu tampak dari kampus-kampus yang banyak memberikan gelar kehormatan pada para pejabat yang padahal tidak jelas capaiannya. Dengan mahalnya biaya pendidikan, kampus alih-alih memberikan layanan kepada mahasiswanya, justru melayani patron-patronnya seperti pejabat yang memberikan dukungan kepada kampus.
“Sialnya mahasiswa senang sekali kan kalau ada pejabat ke kampus, foto bareng,” ujar Eko dalam simposium yang sama.
Selain itu, sambung Eko, komersialisasi pendidikan sekarang menjadikan mahasiswa makin lama kian tidak normal kehidupannya. Belum lagi, di Yogyakarta, selain biaya kuliah yang mahal, biaya hidup dan tempat tinggal pun juga mahal. Akhirnya, kebutuhan mendasar mahasiswa jadi kurang tercukupi, sehingga bisa jadi gampang sakit.
“Kampus itu gak mau tau mahasiswa makan bergizi apa enggak, yang penting bayar UKT lancar terus,” katanya.
Gerakan Mahasiswa Makin Loyo
Komersialisasi pendidikan tersebut, menurut Eko, secara tidak langsung juga punya implikasi pada melemahnya gerakan mahasiswa saat ini. Selain menyulitkan hidupnya, komersialisasi juga membuat kemampuan hidup sebagai anak muda normal makin menurun. Lama-lama mahasiswa kian tidak kuat untuk melakukan aksi-aksi yang berani.
“(Kalau ada aksi) itu aja paling setengah hari sudah capek kita semua. Yang koar-koar cuma orator. Keyakinan-keyakinan politiknya gak bisa ekspresif dan radikal,” kata Eko.
Joko Susilo, Manager NALAR Institute, juga menyebutkan hambatan internal melemahnya gerakan mahasiswa. Yaitu kondisi massa aksi hari ini. Salah satu contohnya adalah kondisi slacktivism dan collective joy.
“Orang aksi hanya untuk viral,” kata Josu, panggilan akrabnya dalam simposium tersebut.
Selain itu, ada pula hambatan eksternal yang banyak merintangi aksi-aksi mahasiswa. Salah satunya adalah adanya moral bapakisme. Josu menjelaskan moralitas ini biasanya ditunjukkan dengan sikap pemegang kekuasaan yang meletakkan relasi kuasa orang tua–anak saat menanggapi aksi mahasiswa.
“Habis itu rektor akan bilang, ‘anak-anak mahasiswa, saya itu orang tua kalian. Kalian itu gak sopan’. Padahal mereka itu pejabat publik, kalian warga negara,” jelasnya.
Hambatan eksternal lain adalah politik isolasi. Hal itu dilakukan untuk memecah belah kekuatan dan saling melempar tanggung jawab. Josu menyontohkan, semisal dalam masalah UKT, mahasiswa yang menuntut ke universitas dilempar ke departemen. Saat datang ke departemen, dikatakan bahwa uang UKT dikelola oleh universitas atau ke dekanat.
“Dipingpong sampai kiamat,” ujarnya.
Reporter Aji Bintang Nusantara | Editor Ahmad Zamzama NH.