Home BERITA GELAR PENTAS TIGA BAYANGAN, TEATER ESKA ANGKAT MASALAH REALITAS SEMU DI DUNIA MAYA

GELAR PENTAS TIGA BAYANGAN, TEATER ESKA ANGKAT MASALAH REALITAS SEMU DI DUNIA MAYA

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com—Teater Eska menggelar Pentas Tiga Bayangan 5.0 di Gelanggang Teater Eska UIN Sunan Kalijaga pada Sabtu (09/09). Dalam semalam, Teater Eska mementaskan tiga naskah sekaligus kepada para penonton, dengan membawa tema besar soal realitas semu, digitalisasi dan dunia maya.

Ahmad David, selaku Pimpinan Produksi, menjelaskan tema tersebut berupaya memotret kehidupan manusia dengan dunia digital, terutama dengan perkembangan teknologi yang hadir dan silih berganti begitu cepat. David mencontohkan transisi alat komunikasi yang pada awalnya menggunakan kabel atau harus ke wartel terlebih dahulu, kini sudah terjangkau dengan hadirnya telepon cerdas.

“Tuntunan dari pementasan kali ini, kita membawakan tema terkait ketergantungan atas kehidupan virtual yang mungkin bisa dikatakan melalaikan bagi teman-teman muda sekarang,” papar David. 

Ketergantungan ini adalah apa yang disebut F. Budi Hardiman dalam bukunya, Aku Klik Maka Aku Ada, sebagai homo digitalis. Homo digitalis memiliki arti bahwa meskipun memiliki kuasa atas dirinya sendiri di ruang digital, manusia hanyalah sekrup kecil “mesin digital gigantis” yang dikendalikan oleh artificial intelligence (AI) dan tidak menguntungkan siapapun kecuali perusahaan media terkait.

Naskah pertama “Hel: Os Des” bercerita mengenai Hel, seorang ilmuwan yang menciptakan Os dan Des sebagai perwujudan AI yang dapat menjawab segala bentuk pertanyaan, dan menjadi ejawantah dari dunia virtual.

Os dan Des memang diciptakan untuk menemani dan menghibur Hel setiap harinya. Tapi ironisnya, dua teknologi tersebut pula yang menyebabkan Hel merasakan kekosongan alih-alih kepuasan. Hingga akhirnya dua ciptaan tersebut berusaha saling bunuh, bahkan mencoba membunuh penciptanya sendiri. Menyadari betapa berbahaya teknologi buatannya, Hel kemudian memusnahkan keduanya dan kembali ke zaman di mana tidak ada teknologi.

Pentas lalu beralih dari bawah panggung yang sejajar dengan penonton menuju ke panggung atas. Tirai putih yang membentang perlahan dibuka, lalu naskah kedua yang berjudul “Panta Rhei” tampil. Naskah ini memperlihatkan kompleksitas diri manusia yang dihadapkan dengan dunia digital lewat ketiga tokohnya: Sir yang merupakan wujud dari nafsu, Ala yang adalah Akal, dan Atman menjadi hati nurani. Selain tiga tokoh tersebut, ada Zhi yang hadir sebagai AI dan bertugas menuntun ketiganya.

Naskah terakhir adalah “Wajah Diri Terbelah”, menampilkan Empu dan Yangli yang diperankan satu tokoh yang sama, kemudian ada Anak 1 serta Anak 2, dan Sangdi. Berbeda dengan dua naskah sebelumnya, naskah ini memiliki fokus pada kehadiran Tuhan pada dunia digital.

Muhammad Khuluqul Karim, selaku penulis naskah “Wajah Diri Terbelah”, menjelaskan naskahnya berpayung pada satu pertanyaan mengenai eksistensi manusia sekaligus hamba di dunia digital.

“Di dunia digital itu kita sebagai seorang manusia memiliki wajah yang beragam. Kita bisa jadi apa saja, kita bisa jadi siapa saja, kita bisa hadir di mana saja tanpa orang lain tahu kita itu sebenarnya siapa dan kita itu sebenarnya sedang di mana,” jelasnya.

Di titik ini, manusia kehilangan makna atas dirinya sendiri. Menurutnya, solusi atas hal tersebut tak lain adalah spiritualitas.

“Makanya ya dengan memupuk hasrat dan cinta yang mantep kepada Tuhan itu harapannya kita bisa terhindar dari ketergantungan itu, terhindar dari pergolakan diri yang semakin rancu dan liar itu,” tegas Khuluq.

Pementasan dilakukan sekitar satu setengah jam dan dihadiri 500 orang. Salah satunya Nawal, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga. Nawal menerangkan kesannya terhadap pentas tiga bayangan sebagai tontonan yang tak hanya memukau tapi juga bernas.

“Apalagi bagian akhir itu kan kayak agak nyindir gitu. Bagian akhir kan dia [red: aktor] mau nyari hp kan. Itu kayak implementasi kita semua di era sekarang, kan kayak sebelum tidur main hp, bangun tidur nyari hp,” kata mahasiswi program studi Bahasa dan Sastra Arab tersebut.

Reporter Selo Rasyd Suyudi | Redaktur Ahmad Zamzama NH | Fotografer Tim Dokumentasi Teater Eska