Oleh: Aliefian Damarizky*
Tibalah kita di bulan Oktober di tahun Masehi ini. Bendera merah putih setengah tiang siap berkibar, mereka yang mood juga siap untuk upacara. Sudah lebih dari setengah abad peristiwa G30S berlalu, namun demikian, perbincangan mengenai tragedi tersebut rasanya tidak pernah basi. Yah, seperti yang kita tahu, G30S memang penuh dengan kontroversi−lebih tepatnya konspirasi−mengenai siapa dalang di baliknya. Banyak yang kemudian bersemangat menjadi sejarawan. Dari hasil penerawangan, penulis memetakan argumen-argumen mengenai aktornya: PKI, Suharto, CIA, bahkan Sukarno. Jika dilihat dari sudut pandang sejarah sebagai ilmu, data-data tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Itulah yang disebut dengan fakta lunak, sejarah yang belum pasti benar. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha untuk mencari alternatif bagaimana kita memandang tragedi G30S sebagai sebuah bom waktu dan efek kupu-kupu dari persaingan kekuatan di Indonesia saat itu.
Demokrasi Terpimpin dan Gagasan Nasakom
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan sebuah dekret yang membubarkan Badan Konstituante (dewan perwakilan) hasil Pemilu 1955 serta mengembalikan konstitusi dari UUD Sementara 1950 ke UUD 1945, atau dikenal dengan Dekret Presiden 1959. Hal tersebut karena Badan Konstituante gagal menetapkan UUD baru pengganti UUDS 1950. Selain itu, pada Masa Demokrasi Liberal, sering terjadi perombakan kabinet yang menyebabkan program kabinet tidak dapat terlaksana yang turut berdampak terhadap perekonomian negara. Dekret tersebut menjadi titik peralihan Masa Demokrasi Liberal menuju Demokrasi Terpimpin.
Ketika itu, bahkan sejak sebelum kemerdekaan, kekuatan politik Indonesia terbagi menjadi tiga faksi besar: nasionalis, agama, dan komunis. Sukarno sejak 1920-an sebenarnya telah memiliki gagasan untuk menyatukan tiga kekuatan besar yang saling bertentangan tersebut. Tapi gagasannya baru bisa ia upayakan ketika Demokrasi Terpimpin. Pada saat itu faksi nasionalis diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan militer, faksi agama diwakili oleh Masyumi dan Nahdlatul Ulama, serta faksi komunis diwakili oleh PKI. Dalam perkembangannya, Sukarno lebih condong kepada faksi komunis yang bisa dicontohkan dengan keputusannya untuk membubarkan Masyumi atas usulan PKI. Hal tersebut bisa jadi menyebabkan kubu militer, khususnya Angkatan Darat, bandel terhadap Sukarno.
Proyek Mercusuar dan Hiperinflasi
Sebelum Pesta Olahraga Asia 1958 diselenggarakan, Jakarta ditunjuk melalui pemungutan suara sebagai tuan rumah dalam penyelenggaraan selanjutnya pada 1962. Demi mendukung hajat tersebut, Sukarno menginisiasi Proyek Mercusuar pada 1960-an. Proyek Mercusuar berupaya menghias ibu kota Jakarta dengan tujuan menaikkan prestise negara Indonesia di mata dunia. Adapun proyek-proyek yang dijalankan antara lain: Stadion Senayan atau Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Patung Selamat Datang, dan Monumen Nasional.
Ketika Pesta Olahraga Asia 1962, Indonesia menolak perwakilan dari Israel dan Taiwan masuk ke wilayah Indonesia sebagai bentuk solidaritasnya terhadap Palestina serta dukungannya terhadap Tiongkok. Komite Olimpiade Internasional kemudian menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia karena dianggap mencampuri urusan politik ke dalam olahraga. Sukarno pun juga menganggap komite juga politis, karena tidak mengundang Tiongkok dan Vietnam Utara. Alhasil, ia menginisiasi sebuah kompetisi untuk menandingi Olimpiade, yaitu Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang (Games of the New Emerging Forces-GANEFO) yang pertama diadakan di Jakarta pada 1963.
Sukarno kembali bermanuver ketika Inggris menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Federasi Malaya menjadi Federasi Malaysia. Kebijakan tersebut ditentang oleh Sukarno dengan berpendapat bahwa Malaysia hanya dijadikan boneka Inggris dan justru upaya tersebut merupakan bentuk neo-kolonialisme Inggris. Saat itu, muncul demonstrasi anti-Indonesia yang menganggap Sukarno menghalangi pembentukan Malaysia. Sukarno membalasnya dengan pidato “ganyang Malaysia”, dengan PKI menjadi pendukung terbesarnya sehingga hubungannya dengan Sukarno semakin erat. Pasukan tidak resmi atau sukarelawan sebelumnya telah melakukan insurgensi dan sabotase di Sarawak dan Sabah. Pada 3 Mei 1964, Sukarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk menggagalkan pembentukan Malaysia. Indonesia kemudian mengerahkan pasukan tidak resminya untuk menyerang Semenanjung Malaya. Pasukan resmi baru diterjunkan pada pertengahan 1965.
Ketika Konfrontasi Indonesia-Malaysia sedang berlangsung, Malaysia ditunjuk menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 1965. Sukarno lantas menolak mentah-mentah keputusan DK PBB tersebut. Ia menarik keanggotaan Indonesia dari PBB untuk kemudian membentuk organisasi tandingannya yang disebut dengan Konferensi Negara-Negara Berkembang (Conference of the New Emerging Forces atau CONEFO) pada 7 Januari 1965. Pemerintah juga membangun kompleks gedung baru sebagai markas CONEFO, sebagai lanjutan dari Proyek Mercusuar. Namun, gedung tersebut akhirnya dialihkan sebagai Gedung MPR/DPR/DPD menyusul pembubaran CONEFO pada 1966.
Proyek Mercusuar dapat dikatakan berhasil untuk meraih prestise Indonesia di mata dunia. Akan tetapi, proyek tersebut mengorbankan perekonomian. Pemerintah jor-joran mencetak uang untuk membayar hutang dan mendanai proyek-proyek megahnya. Sukarno memang pernah merancang Rencana Delapan Tahun pada 1960 untuk membuat swasembada kebutuhan primer. Namun, rencana tersebut dibatalkan pada 1964 karena target yang ditentukan tidak tercapai. Inflasi tahunan yang semakin bertambah akhirnya mencapai akumulasi 600% pada 1963-1966.
Dewan Jenderal dan Angkatan Kelima
Pada 1960-an, perlombaan kekuasaan di Indonesia menyisakan kubu nasionalis dan komunis. Konfrontasi (Operasi Dwikora) menyebabkan terbaginya faksi militer. Misalnya loyalis Sukarno merasa kecewa dengan perwira yang setengah hati dan dianggap tidak menjalankan amanat Dwikora. Beberapa dari mereka bisa jadi bersimpati dan condong kepada PKI.
Seruan revolusioner dari Sukarno (Dwikora-Malaysia dan Trikora-Irian Barat) membutuhkan banyak sumber daya manusia. Sebagian menganggap jika AD tidak serius dalam menjalankan dua operasi tersebut apabila dibandingkan dengan AL dan AU. Karena itu, PKI memunculkan gagasan pembentukan Angkatan Kelima (empat lainnya adalah AD, AL, AU, dan Angkatan Kepolisian), yang kemungkinan muncul pada awal 1965. Buruh dan tani menjadi kekuatan di dalam matra tersebut. Kubu sayap kanan menganggap jika Angkatan Kelima sewaktu-waktu akan digunakan untuk melakukan suatu revolusi seperti di Rusia dan Tiongkok. Karena itu, banyak perwira AD menolak usulan tersebut.
Memasuki masa-masa genting pada September 1965, muncul kabar burung bahwa sejumlah perwira Angkatan Darat dicurigai hendak melakukan kudeta terhadap Sukarno. Kubu sayap kiri mengelompokkan mereka dengan sebutan Dewan Jenderal. Isu yang muncul ialah Dewan Jenderal akan melaksanakan kudeta pada 5 Oktober 1965. Atas dasar tersebut Resimen Cakrabirawa, satuan khusus pengawal Presiden Sukarno, merencanakan penculikan terhadap beberapa anggota Dewan Jenderal untuk mencegah kudeta. Oleh karena itu, tak jarang Sukarno dianggap melakukan kudeta terhadap dirinya sendiri untuk menyingkirkan perwira yang menurutnya membangkang. Entah melalui perintah presiden atau inisiatif Resimen Cakrabirawa untuk menjaga keselamatan presiden, Letkol Untung memimpin sekelompok prajurit dari Cakrabirawa dan beberapa personel dari divisi lain untuk melakukan tindakan pencegahan.
Rencana tersebut akhirnya dieksekusi pada dini hari 1 Oktober 1965. Enam jenderal AD ditambah satu perwira diculik dan dibunuh. Pada pagi harinya, satuan Untung yang menyebut dirinya sebagai Gerakan 30 September (G30S) mengambil alih Radio Republik Indonesia (RRI). Melalui siaran RRI, G30S mengumumkan penindakan terhadap Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Selain Jakarta, Yogyakarta juga menjadi saksi peristiwa ini. Sore harinya, Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono dari Korem 072 dibunuh karena menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Dari sini, rasanya penyebutan G1O atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) lebih akurat dibandingkan G30S.
Singkat cerita, muncul rentetan peristiwa lain setelah Gestok: kenaikan pangkat Suharto, pembersihan PKI dan simpatisannya, Tri Tuntutan Rakyat, Supersemar, pemakzulan Sukarno, dan pelarangan komunisme oleh MPR saat diketuai A.H. Nasution yang selamat dari Gestok. Namun, meskipun genting, kejahatan-kejahatan tersebut bukan menjadi tujuan pembahasan. Jadi, dari pembacaan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa G30S merupakan imbas dari faksionalisme serta perebutan pengaruh di dalam tubuh TNI yang juga diakibatkan oleh manuver politik Sukarno dan PKI. Di samping itu, hiperinflasi yang berlangsung di tahun 1960-an memperparah situasi sosial-politik Indonesia. Meskipun pihak asing (khususnya intelijen Amerika Serikat dan Inggris) dituduh ikut campur, tetapi dokumen yang dianggap sebagai bukti keterlibatannya belum dapat dipastikan kebenarannya. Oleh karena itu, cara memahami sejarah yang baik dan benar ialah dengan memetik pelajaran darinya dan bukan menjadikannya sebagai penghakiman semata. Yah, semoga paling tidak tulisan ini bisa membantu pembaca untuk menghindari perdebatan tahunan yang sepertinya tak pernah basi ini.
*Penulis merupakan mahasiswa sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga yang hanya bisa mengorek sampah masa lalu
Editor Ahmad Zamzama N | Foto makassar.tribunnews.com