Home BERITA MENH dan Upaya Menjadi Bijak Memperlakukan Sampah

MENH dan Upaya Menjadi Bijak Memperlakukan Sampah

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Aksi Nuril dengan MENH-nya dalam upaya memanfaatkan sampah patut diapresiasi, khususnya dengan kondisi darurat sampah yang sekarang terjadi di Yogyakarta.

Lpmarena.com-Siang itu Nuril sedang menjelaskan sesuatu di balik meja dengan dikerubungi banyak orang. Kain putih, gunting, setrika, spidol, dan berlembar-lembar plastik tertata rapi di atas meja. Dari kejauhan lelaki itu semacam guru yang sedang mendemonstrasikan mata pelajaran seni rupa kepada murid-muridnya. Nuril memang bukan guru, tapi tak salah jika disebut demikian. Sebab ia memang mengajarkan seni rupa yang, meski kelewat sederhana: membuat kerajinan tangan dengan sampah plastik sebagai bahan utamanya.

Nyetrika-nya satu arah saja. Sambil ditekan-tekan ya,” pandu Nuril berulang-ulang, nyaris kepada setiap orang yang datang sambil menenteng selembar plastik yang sudah dicoreti beragam keresahan tentang isu lingkungan.

“Jajan? Bawa wadah sendiri!” tulis seorang perempuan pada lembar plastiknya dengan spidol merah.

Plastik itu disetrikanya sedemikian rupa sampai menjadi lebih liat, sehingga tinta spidol terserap dan selembar plastik itu tersambung secara horizontal dengan lembaran sebelumnya, membentuk sebuah karya seni rupa semacam umbul-umbul. Sementara orang-orang berbaris menunggu giliran menyetrika, Nuril hanya mengawasi dengan panduan-panduan yang sama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penasaran mereka, sambil sesekali mengelap keringat dan mengisap rokoknya.

Pemilik nama lengkap Muhammad Eva Nuril Huda tersebut adalah Owner MENH, studio dan merek di Yogyakarta yang fokus mengolah plastik bekas menjadi barang berguna untuk mendukung kehidupan yang seimbang serta berkelanjutan. Siang itu, Nuril diminta mengisi workshop mengenai daur ulang plastik dalam rangka Festival Lingkungan Hidup (FLH) yang digagas Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta di Sarang Building, Kasihan, Bantul pada Ahad (25/06).

Nuril pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia memperkenalkan metode fusing, salah satu metode yang kerap dipakainya untuk mendaur ulang sampah plastik. Lebih dari dua jam Nuril sendirian membimbing orang-orang mempraktikkan fusing.

“Fusing secara teknis itu sederhana. Untuk ukuranku yang bermodal kecil, itu cukup membantu, dan aku bisa memulainya dari kamar saja,” kata Nuril kepada ARENA.

Fusing merupakan teknik menggabungkan dua atau lebih lembaran plastik dengan menggunakan energi panas. Nuril sendiri menggunakan setrika untuk menerapkan fusing guna membikin barang-barang yang bernilai guna seperti tas, dompet, notebook, dan lain sebagainya. Barang-barang tersebut kemudian dijualnya dengan jenama MENH, yang siang itu produk-produknya juga dipamerkan di FLH.

Teknik fusing untuk daur ulang plastik. (Foto: Mas Ahmad Zamzama)

Sepenuturan Nuril, benih-benih MENH mulai muncul pada 2019 ketika ia terlibat dalam suatu kerja sama dengan desa wisata. Saat itu salah satu proyeknya adalah mengelola sampah di desa tersebut. Di situlah lulusan Sekolah Vokasi Pariwisata Universitas Gadjah Mada itu, mulai mengenali isu-isu lingkungan lalu menjadi gelisah pada persoalan sampah. Di akhir proyek tersebut, ia bertindak sebagai produser untuk pameran di salah satu greenhouse, di mana mayoritas karya yang dipamerkan memanfaatkan sampah plastik.

Pasca pameran, sekitar permulaan 2020, pandemi datang dan Nuril kehilangan pekerjaan dan proyeknya. Ia pun menekuni permasalahan yang terakhir kali digeluti, yaitu sampah yang menurutnya sangat kompleks. Ia bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang untuk belajar. Mulai dari pegiat lingkungan, seniman, akademisi, sampai orang-orang di pemerintahan. Pendeknya, ia mulai membuka diri bahwa ia ingin mengetahui seluk-beluk sampah berikut konsep daur ulangnya, serta seberapa besar peluang karirnya. Sejak itu kamar kosnya menjelma laboratorium tempat ia bebas bereksplorasi.

Pada 2021 Nuril mulai menemukan bentuk dari apa yang selama ini tekuninya. Ia bisa memproduksi barang-barang bernilai guna. Dan sampai sekarang produksi MENH masih terus berlanjut dengan eksplorasi yang terus berkembang baik dari segi bahan, motif, maupun cara pembuatan.

“[red: Tujuan adanya MENH] setidaknya merawat keresahanku atas isu lingkungan, ada peluang bisnis juga, dan berpeluang untuk lebih sustain dari segi karir. Setidaknya di MENH masih bisa berkesenian,” ungkap Nuril yang mengaku gemar dan aktif berteater sejak berkuliah di UGM.

Dampak Konsumsi Plastik

Persoalan sampah yang membuat Nuril resah bukanlah isapan jempol belaka. Pada 2022, volume timbulan sampah di Indonesia mencapai 19,45 juta ton, dengan sampah plastik menjadi yang terbanyak kedua dengan persentase 18,55 persen. Data tersebut menunjukkan Indonesia masih mengonsumsi plastik secara berlebihan. Padahal konsumsi plastik berlebihan dapat merusak lingkungan hidup dan membahayakan kesehatan makhluk hidup itu sendiri.

Siti Aisah, dosen Biologi UIN Sunan Kalijaga, mengatakan bahwa plastik merupakan komponen yang susah terurai. Saat tertimbun di tanah, plastik bisa menutupi pori-pori tanah dan menyebabkan proses dekomposisi tidak berjalan dengan baik. Tanah yang mengandung plastik pun menjadi tidak subur dan kurang bagus untuk ditanami. Tekstur tanah menjadi rusak.

“Tanah itu kan tempat bermukimnya banyak mikroba: [red: yaitu] organisme tanah yang berperan untuk kesuburan tanah, berperan dalam proses pembusukan daun, serasah, batang…. Tapi ketika ada plastik, plastik itu menghambat banyak sekali parameter lingkungan [red: sehat] yang harusnya bisa masuk ke tanah,” jelas Aisah kepada ARENA, pada Senin (03/07).

Tidak boleh dibiarkan di tanah, plastik pun tak bisa sembarangan dibakar. Menurut Aisah, pembakaran plastik akan mengubah komponen penyusun plastik menjadi partikel yang kurang baik buat lingkungan. Pembakaran plastik juga bisa menghasilkan gas yang berbahaya seperti karbon monoksida.

Bukan hanya di daratan, plastik juga menyebabkan pencemaran air di lautan. Setiap tahun Indonesia menghasilkan 1,4 juta ton plastik ke laut, dan itu menjadikan Indonesia salah satu dari lima negara produsen utama polusi plastik laut dunia, selain India, AS, Brasil dan Thailand. Padahal sampah plastik bisa mendevaluasi ekosistem laut, menghambat produktivitas nelayan, sampai mengancam kehidupan satwa-satwa di lautan.

Namun, meskipun dampak penggunaan plastik sedemikian riskan, nyatanya manusia tidak dapat lepas dari plastik. Keberadaan plastik sulit ditolak di tengah aktivitas sehari-hari. Penggunaan plastik seolah-olah menjadi hal yang wajar saja. Karena itu, dibutuhkan penanganan yang serius untuk mengurangi penggunaan plastik.

Dalam amatan Aisah, secara umum ada dua cara untuk menangani masalah plastik: pertama, tidak memproduksinya. Poin ini sulit diwujudkan, terlihat plastik cukup mudah didapatkan, bahkan banyak plastik yang lepas dari tanggung jawab produsennya. Kedua: memperpanjang usia plastik. Nyaris semua alternatif pengolahan sampah, seperti reuse, recycle, repair, bermuara pada spirit ini. Dan cara kedua inilah yang dilakukan Nuril dengan MENH dan ia menyebut konsepnya dengan upcycle.

Medium Kampanye dan Upaya Bersama

Nuril memahami upcycle yang dilakukannya sebagai upaya untuk meningkatkan nilai sampah plastik. Dari yang sekadar sampah menjadi barang yang bernilai guna. Nuril biasanya membeli sampah plastik dari tiga tempat: bank sampah, kios laundry, dan pet shop. Kadang-kadang ada juga kawannya yang memberi plastik secara cuma-cuma.

Meski demikian Nuril tidak dapat sepenuhnya menggunakan plastik yang menurutnya memiliki kelemahan secara material. Karena itu plastik perlu dikombinasikan dengan bahan-bahan lain agar produknya tetap nyaman digunakan. Teknik daur ulangnya pun mesti dilengkapi dengan teknik produksi yang lain seperti dijahit, dirajut, atau dianyam. Dan ia melakukan semua itu dengan pendekatan seni rupa.

Nuril tidak bisa menyebut berapa hari sekali ia memborong plastik-plastik itu. Sebab untuk membuat satu produk saja, kadang ia membutuhkan waktu cukup lama. Setiap produk MENH memiliki karakter unik dan berbeda, baik itu dari motif, visualisasi, maupun warnanya. Selain memang sendirian dalam mengerjakan teknisnya, Nuril berterus terang tidak mau terjebak dengan target-target tertentu, terutama soal pemasaran. Tak heran jika ia cukup fleksibel dalam menggarap produk MENH.

Karena itu, Nuril mengaku tidak cukup optimis saat memandang isu sampah plastik. Ia tidak terlalu memikirkan apakah apa yang dilakukannya dapat menyelesaikan masalah sampah plastik. Toh kecepatannya dalam mendaur ulang tentu tidak akan sebanding dengan begitu gencarnya pabrik-pabrik memproduksi plastik.

“Kenapa narasi pesimis itu aku pelihara? Setidaknya aku tak punya beban saat mengerjakan plastik, aku bisa menabrakkannya dengan kesenian, workshop, atau apapun. Sampah plastik di pemanasan global itu berapa persen sih? MENH itu seberapa sih efeknya? Paling gak sampai 1 persen. Tapi kupikir bukan itu persoalannya,” jelas Nuril saat sesi diskusi di tengah rangkaian FLH.

Dalam pandangannya, MENH adalah mediumnya untuk mengajak orang untuk melihat isu lingkungan lebih luas. Tidak mungkin Nuril berjalan sendirian dalam menuntaskan persoalan plastik. MENH menjadi semacam cara Nuril untuk mengampanyekan perlunya menjadi bijak terhadap plastik. Bukan hal yang tidak mungkin, misalnya, spirit yang terkandung di balik produk MENH bisa menjadikan orang tidak lagi menggunakan plastik dalam berbelanja, makan, dan aktivitas-aktivitas lainnya.

“[red: Sampai sejauh ini] belum ada agenda bersama, kesadaran bersama, terutama kegiatan harian. [red: Bisa dimulai dari] Bagaimana pemerintah menyediakan pengelolaan sampah yang bagus,” tutur lelaki asal Magelang tersebut kepada ARENA.

Secara terpisah, Siti Aisah pun senada dengan Nuril tentang perlunya upaya bersama dalam menuntaskan masalah plastik. Menurutnya upaya itu tidak cukup dengan menggencarkan daur ulang sebagaimana yang dilakukan Nuril. Karena, bagaimanapun konsepnya, prinsip daur ulang sebatas mengubah fungsi plastik dan tidak sampai mengurangi plastik.

“Karena sampah plastik yang lain masih banyak. Yang tidak terpakai [red: tidak terdaur ulang] gimana?” tanya Aisah, retoris. “Misalnya jadi ecobrick juga masih utuh plastiknya, cuma dia berubah fungsi, hidupnya diperpanjang, tetapi dia gak hilang. Jadi di bumi volumenya tetap. Sebaiknya ya dikurangi [red: penggunaan plastiknya] yang paling cocok”.

Tetapi di luar itu Aisah mengapresiasi upaya yang ditekuni Nuril dengan MENH. Ia pun melihat upaya MENH itu cukup membantu untuk mengurai masalah plastik; membuat usianya lebih lama dan tidak sekadar menjadi sampah yang tidak terpakai.

Meskipun banyak diapresiasi, Nuril berterus terang untuk tak berhenti mempelajari plastik. Ibaratnya, ia belum menemukan ujungnya meski ia sudah tahu harus berjalan ke mana. Ia perlu terus bereksperimen, memikirkan kira-kira apa lagi yang bisa dilakukannya dengan plastik. Ia juga mengaku perlu berjejaring, bertemu orang-orang baru. Karena dari pertemuan-pertemuan itu ia mendapat banyak pelajaran dan energi untuk kembali berekplorasi.

Nuril berharap usahanya ini dapat berumur panjang. Ke depan, ia tidak membatasi diri dengan plastik. Bisa jadi setelah ini ia mengadopsi sampah organik. Ia juga membayangkan bahwa suatu hari elemen yang membentuk produknya terolah dari limbah secara keseluruhan. Kain, misalnya, bisa ia ambil dari perca. Tapi itu bukan hal yang mudah. Selain sebab tenaganya masih terbatas, ia juga perlu mempertimbangkan kenyamanan produk dan perhitungan ekonominya. Meski demikian, ia mengaku harus selesai dulu dengan persoalan plastik.

“Tipikalku itu, jika belum selesai, belum bisa melepaskannya. Dan ini gak selesai-selesai. Apalagi ini sampah, tiap hari selalu ada,” ungkap Nuril.   

Reporter Mas Ahmad Zamzama | Redaktur Selo Rasyd Suyudi