Home BERITA Lampu Merah Kekerasan Seksual di Kampus: Relasi Kuasa dan Dampak Panjang

Lampu Merah Kekerasan Seksual di Kampus: Relasi Kuasa dan Dampak Panjang

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com-Kasus kekerasan seksual di kampus semakin banyak, tetapi masih seperti gunung es. Hal itu karena adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban, seperti dosen dan mahasiswa, dosen senior dan junior, atau dosen dan tenaga kependidikan. Akibatnya, korban yang berada di posisi inferior enggan untuk melaporkan pelaku.

Saifuddin, Tim Pusat Layanan Terpadu (PLT) UIN Sunan Kalijaga memaparkan bahwa pelaku kekerasan seksual di kampus (UIN SUKA) 63,4% adalah dosen, 41,1% mahasiswa, dan 9,8% tenaga kependidikan. Selain itu, hasil survei yang dilakukan PLT juga menunjukkan lokasi kekerasan terjadi paling banyak di dalam kampus.

“Tempatnya yang paling tinggi adalah di dalam kampus, seperti di kantin, taman, dan di kelas. Satu kasus dari tiga dosen itu terjadi di kelas, di fakultas. Dosennya luar biasa, sampai PLT diancam,” ungkap Saifuddin dalam kuliah umum bertema “Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Seksual”, di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Jumat (27/10).

Kekerasan seksual (KS) yang melibatkan dosen pun terjadi di luar kampus. Saifuddin mengatakan ada dosen yang meminta bimbingan skripsi di hotel atau di rumahnya. Saat bimbingan tersebut, dosen mengancam korban dengan pemberian nilai rendah, yang membuat korban tidak dapat berkutik. Bentuk kekerasan lain yang dilakukan dosen di antaranya mengirim gambar atau video mesum.

Yusnita Ike Christanti, Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UNU Yogyakarta, mengibaratkan kondisi ini seperti lampu merah, artinya darurat. Ia mengatakan angka kekerasan seksual di kampus mencapai 87% (2015-2021) menurut catatan Komnas Perempuan.

Upaya perlindungan bersama diperlukan, dimulai dari kampanye tentang kekerasan berbasis gender hingga kekerasan seksual. Pasalnya, bentuk kekerasan bukan hanya pemerkosaan atau kontak fisik lainnya, melainkan juga secara verbal, tatapan, dan gurauan, serta kekerasan berbasis online.

“Istilah KS mengacu pada kontak atau perilaku seksual yang terjadi tanpa persetujuan dari korban. Dengan meliputi kontak tidak langsung secara fisik seperti catcalling, pandangan dan ucapan, kirim gambar atau video yang menimbulkan ketidaknyamanan,” terang Ike.

Tak cukup kampanye menyebarkan pengetahuan dan kesadaran, kampus perlu membuat kebijakan dan strategi untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Hal itu harus dilakukan karena banyak korban yang terintimidasi dan tidak punya tempat pengaduan. Akhirnya, korban memilih curhat kepada teman dekatnya saja.

Ike juga menyampaikan bahwa pembahasan isu kekerasan seksual tidak hanya tentang jumlah korban dan kejadian, tapi juga dampak jangka panjang bagi korban. Korban kekerasan seksual mengalami trauma fisik dan psikis. Korban juga rentan terkena penyakit berbahaya seperti sifilis dan gonore.

“Dampak kekerasan seksual bagi korban membuat kita tercengang, mulai hilangnya percaya diri, malu, dia merasa dirinya tidak berharga, gelisah, dan sulit tidur. Efeknya bisa sampai bunuh diri,” papar Ike.

Kekerasan seksual merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan karena secara langsung merendahkan orang lain. Maka dari itu, PLT UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berupaya untuk menjaga hak masyarakat kampus agar mendapat perlindungan dari perlakuan kekerasan.

Saifuddin mengatakan,”PLT ini upaya memenuhi, melaksanakan, dan mewujudkan hak-hak civitas academica UIN Suka, mencakup pencegahan, pelayanan, penanganan, pemulihan, dan penindakan.”

Reporter Chilya Aghnis Shalicha (Magang) | Redaktur Musyarrafah