Lpmarena.com–Pada pemilihan umum 2024, suara anak muda menjadi faktor krusial. Hampir sepertiga pemilih di seluruh Indonesia merupakan anak muda di bawah usia 30. Namun, melimpahnya suara anak muda itu juga menjadi tantangan tersendiri karena tidak semua anak muda mau berpartisipasi secara aktif dalam politik. Menurut Agus Mulyadi, minimnya partisipasi itu dikarenakan pandangan anak muda yang masih menganggap bahwa politik itu kotor dan menjijikkan.
“Hanya 20 persen dari generasi Z yang mau mengikuti berita politik…. Ini masih sangat kecil sekali,” tutur Agus saat seminar dalam rangka Forum Remaja Nasional II yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) di Cakra Kembang Hotel Yogyakarta, Sabtu (28/10).
Padahal, dalam pandangan Agus, anak muda mempunyai potensi dan kemampuan analitis dalam membuat keputusan politik yang lebih berkualitas daripada orang tua. Anak muda memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk menganalisis kebijakan kandidat, dan memungkinkan mereka untuk memilih dengan bijak. Agus juga menegaskan bahwa suara anak muda lebih independen dalam menentukan pilihan politik mereka ketimbang orang tua.
“Orang tua kalau tidak punya pilihan, kadang ikut anaknya. Jadi orang tua cenderung mengganti suaranya, sedangkan anak muda tidak,” tegas konten kreator asal Magelang tersebut.
Karenanya, menurut Agus, perlu ada upaya lebih besar dalam memberikan pendidikan politik, membuka ruang diskusi, dan memotivasi anak muda untuk merasa memiliki andil aktif dalam pemilu. Agus juga mendorong agar partai-partai politik memiliki media yang dekat dengan anak muda. Caranya dengan menampilkan konten-konten yang disukai anak muda, seperti gimik-gimik media sosial atau konten yang menggembirakan. Sehingga politik tampak lebih santai.
Senada dengan Agus, di forum yang sama Leonard Epafras mengatakan bahwa generasi muda memiliki mempunyai potensi besar untuk membuat keputusan politik yang lebih berkualitas. Menurutnya generasi muda memiliki kemampuan cepat beradaptasi dan sangat efektif dalam menggunakan media sosial untuk menyampaikan pesan dan opini. Leonard menyebutnya dengan kemampuan effective hacking.
Dalam menjelaskan istilah effective hacking, Leonard mencontohkan Pandawara Group, kelompok pemuda asal Bandung yang bergerak pada permasalahan sampah dan kebersihan lingkungan. Dalam pandangan Leonard, Pandawara Group adalah gambaran anak muda yang berhasil menerapkan kelebihannya secara efektif. Seperti yang tampak di media sosial, Pandawara Group menyelenggarakan sendiri acaranya, lalu mereka unggah langsung, dan mereka mendapatkan efek yang luar biasa.
“Ini yang dimaksud saya tadi, efektif. Anda mungkin tidak punya kuasa, tapi anda punya kekuatan untuk mengubah lewat kemampuan itu. Jadilah effective hacker untuk memanfaatkan teknologi digital,” tutur dosen Indonesian Consortium for Religious Studies Universitas Gadjah Mada tersebut.
Reporter Amrauzi (Magang) | Redaktur Mas Ahmad Zamzama N. | Fotografer Tim Media Forum Remaja Nasional II LKiS