Lpmarena.com –Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa menjadi faktor terbesar penyebab kekerasan seksual sebagaimana yang disampaikan oleh Saifuddin, pengurus Pusat Layanan Terpadu (PLT). Pada seminar “Menelisik Keamanan Kampus Putih Sebagai Ruang Aman Bebas Kekerasan Seksual” yang diadakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Kamis (26/10), Saifuddin memaparkan sebanyak 63,4% kasus dilakukan dosen kepada mahasiswa.
Persentase korban yang berani melapor 22,5%, lanjut Saifuddin, sedangkan 50% korban tidak berani melapor. Sejauh ini ada 15 kasus yang masuk ke PLT, 3 diantaranya berkaitan dengan dosen. Ketimpangan antara data pelaku dan laporan kekerasan seksual yang masuk ke PLT menunjukkan ada relasi kuasa antara korban dengan pelaku hingga menyebabkan korban takut melapor.
“Tempat paling potensial terjadinya kekerasan seksual oleh dosen yaitu saat bimbingan skripsi. Nah, itu ada hubungannya dengan relasi kuasa. Lalu di tempat lain, seperti saat KKN, ruang kelas, Student Center, rumah dosen, hotel atau di dalam mobil. Pernah ada dosen menghubungi mahasiswa di atas jam 11.00 malam dia mengirim gambar pisang,” terang Saifuddin.
Budi Wahyuni selaku pembina LBH APIK Yogyakarta menuturkan korban kekerasan seksual sering kali tak berdaya. Relasi kuasa antara pelaku dengan korban menyebabkan korban tak mampu untuk menolak.
“Relasi kuasa muncul karena adanya hirarki struktural maupun sosial yang tidak sama. Akibat ketidaksetaraan itu yang menyebabkan seseorang tidak bisa mengambil keputusan secara independen,” ujar Wahyuni.
Wahyuni memaparkan relasi kuasa itu muncul karena konstruksi gender yang timpang serta stereotip pada kelompok tertentu. Seperti perempuan yang baik akan dilekatkan dengan sifat sabar, rajin, lemah lembut. Sama halnya laki-laki yang dituntut untuk menjadi kuat dan perkasa. Relasi kuasa dan stereotip itu menjadi penyebab tingginya kasus-kasus kekerasan seksual, baik di lingkungan kampus maupun masyarakat.
Yunita Nur selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan DEMA-U berpandangan bahwa pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan melalui satgas kekerasan seksual, seperti PLT dan seminar yang menumbuhkan kesadaran terkait kekerasan seksual.
Sayangnya dukungan kampus pada kerja-kerja PLT masih minim. Dari penuturan Saifuddin bantuan seperti dana operasional belum juga turun.
“Kami memang belum punya dana dan kami tidak dikasih dana. Jadi sejak di SK kami belum diberi dana dari UIN. Bahkan kantor yang kami punya itu baru dikasih kurang dari 1 bulan,” keluh Saifuddin.
Walaupun minimnya bantuan dari kampus PLT tetap melakukan tugasnya sebagai satgas kekerasan seksual. Seperti yang diceritakan Saifuddin, PLT melakukan screening untuk para dosen yang ditetapkan menjadi Dosen Pembina Lapangan (DPL) KKN. Ada tiga kategori, merah, kuning dan hijau. Hijau artinya aman. Jika merah maka dosen tersebut tidak boleh menjadi DPL. Sedangkan kuning diperbolehkan karena minimnya dosen berkategori hijau.
“PLT itu to protect yaitu untuk melindungi, mengayomi, hak civitas akademika di UIN. Kemudian to respect yaitu untuk menerima dan menghargai keberadaan korban. Terakhir to fulfill yaitu supaya memenuhi dan melaksanakan hak-hak aktivitas akademi,” ujar Saifuddin.
Yunita menambahkan pencegahan kekerasan seksual menjadi ikhtiar bersama. Dari pihak kampus, dosen, dan mahasiswa juga berperan menciptakan ruang aman.
“Pencegahan kekerasan seksual dengan adanya PLT dan seminar pada mahasiswa. Lalu menghindari komunikasi dengan civitas akademik kampus di luar jam operasional. Kemudian, berani dan tegas menyatakan tidak, dan selalu waspada,” pungkas Yunita.
Reporter Hanik Maria (magang) | Redaktur Maria Al-Zahra