Home BERITA SIMPOSIUM PEMUDA: MELIHAT DEMOKRASI INDONESIA YANG CACAT DAN GERAKAN ANAK MUDA YANG LOYO

SIMPOSIUM PEMUDA: MELIHAT DEMOKRASI INDONESIA YANG CACAT DAN GERAKAN ANAK MUDA YANG LOYO

by lpm_arena

Lpmarena.com—Memiliki indeks 6,71 pada 2022 menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara dengan kategori demokrasi cacat di dunia, kata Muhammad Rizal Qosim, Kaprodi Hukum Tata Negara (HTN), mengutip Economic Intelligence Unit (EIU). Data tersebut ia sampaikan pada diskusi publik yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) HTN berjudul “Simposium Pemuda: Membangun Paradigma Demokrasi Gen Z di Era Disrupsi,” di lantai 1 Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Selasa (31/10).

“Kita berada pada posisi di era sekarang 2022-2023, itu di angka skor demokrasi kita di bawah tujuh. Sedangkan enam koma tujuh sampai delapan itu skor demokrasi yang cacat, kegagalan demokrasi”, tuturnya.

Perhitungan skors tersebut dihitung berdasarkan pada lima indikator, salah satunya budaya politik yang Indonesia sendiri di angka 4,38. Dengan begitu, Qosim menuturkan rendahnya skor tersebut berkelindan dengan kasus-kasus yang belakang santer di tanah air. Misalkan, ia mencontohkan dengan banyaknya hakim yang masuk penjara, politisasi keputusan hakim yang sarat akan kepentingan politik, dan tindakan represif pada para aktivis.

Melanjutkan itu, Muhammad Rakha Ramadhan dari LBH Yogyakarta melihat kondisi Indonesia saat ini terjebak dalam legalisme otokrasi, di mana suatu hukum digunakan demi memenuhi berahi kekuasaan. Misalkan dalam pembangunan, ia memberi contoh dengan kasus yang terjadi di Rempang, negara memberikan hak istimewa pada korporasi dalam pengelolaannya. Kemudian Hak Guna Usaha (HGU) serta  Hak Guna Bangunan (HGB) di Ibu Kota Negara (IKN) sampai 190 tahun. Pembangunan tersebut yang juga diiringi perampasan lahan dilihatnya, dijalankan bukan demi kepentingan rakyat, melainkan pemerintah dan elite politik.

“Pada akhirnya, pembangunan yang diarahkan oleh eksekutif, dalam hal ini sebagai representasi dari negara, yang harusnya kebijakan publik diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat malah hilang sama sekali. Dan pada akhirnya kita, rakyat, dieksklusi, disingkirkan, hak-haknya dirampas,” terang anggota Divisi Advokasi tersebut.

Pun dengan tuntutan hukum yang dilayangkan kepada para aktivis serta banyaknya kriminalisasi seperti pada kasus Rempang dan Wadas, menurutnya, menambah deretan panjang yang menjadikan negara sebagai suatu momok bagi demokrasi.

“Nah ini wajah demokrasi kita hari ini, yang di mana negara tidak hadir untuk rakyatnya,” imbuhnya.

Di sisi lain, disampaikan Eko Prasetyo, pendiri Social Movement Institute (SMI), masalah yang terjadi adalah gerakan anak muda yang mengalami stagnasi dan bahkan kemerosotan. Menurutnya, anak muda sekarang dihancurkan dengan sistem pendidikan yang tidak humanis, dan jauh dari persoalan sosial yang ada, menyebabkan anak muda menjadi pragmatis.

“Kemapanan itu menjadi impian anak muda hari ini. Kemapanan apalagi dengan kurikulum merdeka, bebas merdeka, merdeka belajar kira-kira, anak-anak disuruh magang semua ‘kan. Pragmatis anak-anak muda menjadi muncul, heroisme kemudian menjadi hilang, keinginan untuk memberontak nyaris tidak ada,” tegas penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah! itu.

Berbeda dengan tahun 1945 sampai 1950, yang menurutnya pada saat itu anak-anak muda memiliki independesinya sendiri, yang dibuktikan dengan hadirnya desakan golongan muda pada golongan tua.

“Maka pada saat Soekarno-Hatta diculik pertama kali oleh anak-anak muda di Rengasdengklok itu, itu adalah satu tindakan politik revolusioner pertama kali… Dengan melakukan penculikan-penculikan itu, politik kemudian menjadi hidup. Karena bagi anak muda, orang tua tu gak bisa enggak kalo enggak ditekan, dan satu tindakan penekanan yang paling penting  adalah menculik mereka. Menekan mereka,” ungkapnya.

Reporter Rizki Muhammad Fauzan (Magang) | Redaktur Selo Rasyd Suyudi