Lpmarena.com – Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) bersama Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) dan Solidaritas Untuk Orang Pinggiran dan Perjuangan Kampus (SOPINK) melakukan aksi damai di titik nol KM Yogyakarta pada Senin (7/11). Aksi yang mengangkat gugatan ‘Cabut UU Ciptaker, Tetapkan Upah Minimum Sesuai KHL’ dilaksanakan sebelum penetapan upah minimum pada 15 November mendatang.
Yusril Mulyadi, selaku koordinator umum aksi sekaligus Koordinator Biro Buruh FPPI Yogyakarta menjelaskan penetapan upah sebaiknya menggunakan formula Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Komponen di dalam KHL mencakup kebutuhan pokok seperti kebutuhan makanan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, hingga kebutuhan rekreasi.
“Menurut kami formula perhitungan atau nominal KHL adalah nominal yang paling ideal untuk merujuk dalam penentuan upah. Jadi, upah buruh atau upah minimum provinsi DIY baru bisa dikatakan layak ketika sudah sesuasi angkanya dengan angka KHL,” ungkapnya saat diwawancarai ARENA.
Aksi ini bertujuan, lanjut Yusril, untuk mengingatkan pemerintah selaku pemangku kebijakan supaya tidak menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) no. 36 tahun 2021. Peraturan tersebut merupakan turunan dari UU Ciptaker yang di dalamnya menghilangkan fungsional Dewan Pengupahan. Padahal Dewan Pengupahan berperan untuk mewadahi aspirasi, kebutuhan dan keresahan para buruh karena di dalamnya terbagi dalam beberapa lembaga seperti serikat pekerja, sub pekerja, unsur pengusaha dan unsur pemerintah.
“Serikat pekerja sebelum PP 36 itu masih bisa menyampaikan aspirasinya, lalu kemudian hasil dari Dewan Pengupahan itu yang disodorkan ke Gubernur, lalu gubernur yang menentukan upah nominalnya. Tapi, di PP 36 Dewan Pengupahan sama sekali tidak mempunyai kekuatan lagi karena PP 36 tidak memfungsikan Dewan Pengupahan,” papar Yusril.
Selain tuntutan upah minimum, FPPI juga menuntut Pemerintah Pusat dan Daerah harus mengambil kebijakan yang lebih berpihak pada upah buruh. Di antaranya mengurangi angka ketimpangan pendapatan Yogyakarta yang selama ini menjadi masalah utama dalam pemerataan kesejahteraan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik angka kemiskinan di Yogyakarta mencapai angka 11,04% dan menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa. Angka tersebut juga melampaui angka kemiskinan nasional yang hanya berada di 9,54%.
Menurut Yusril, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan disebabkan karena kebijakan upah murah yang diterapkan Gubernur DIY. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar pasal 27 ayat 2 1945 mengatur upah layak bagi para buruh.
“Ada tiga hal yang paling penting juga dalam berbicara soal upah yang layak. Pertama, upah yang layak adalah amanat konstitusi. Kedua, yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dijamin oleh konstitusi. Jadi kenapa kita menuntut agar pemangku kebijakan itu menentukan upah yang layak karena tahun-tahun sebelumnya upah yang ditetapkan oleh Gubernur tidak pernah sesuai dengan KHL,” ungkap Yusril.
Rio Andika selaku ketua KMPD berpandangan bahwa isu upah layak merupakan hajat bersama. Untuk mencapai target final dibutuhkan kesadaran dari semua elemen masyarakat. Tidak bisa jika hanya satu atau dua golongan yang perhatian pada isu ini.
“Aksi ini tujuannya adalah sebagai penyadaran terhadap masyarakat umum dan juga mahasiswanya khususnya, agar kemudian mengetahui tentang isu-isu yang terjadi pada perburuhan dan isu sektoral seperti ini,” pungkas Rio.
Catatan Redaksi: Berita ini dikoreksi pada 9 November 2023 pukul 18.44 WIB. Sebelumnya kepanjangan FPPI adalah Front Pergerakan Pemuda Indonesia dan kepanjangan SOPINK adalah Solidaritas Untuk Orang Pinggiran. Seharusnya kepanjangan FPPI adalah Front Perjuangan Pemuda Indonesia dan SOPINK adalah Solidaritas Untuk Orang Pinggiran dan Perjuangan Kampus.
Reporter Wildan Humaidyi (Magang) | Redaktur: Maria Al-Zahra