Home BUKU Hiburan, Aturan, atau Dagangan: di Mana Letak Universalisme Sepak Bola?

Hiburan, Aturan, atau Dagangan: di Mana Letak Universalisme Sepak Bola?

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Suatu negara telah mencapai peradabannya secara maksimal jika pertandingan sepak bola dapat terlaksana tanpa wasit” (hlm. 29).

José Luis Coll (1931-2007 M), aktor kenamaan asal Spanyol, seperti sedang berkhayal saat mengucapkan kalimat tersebut. Ketika aturan sepak bola semakin seragam di bawah satu sistem kuasa, ketiadaan wasit nyaris menjadi hal yang mustahil; semua negara maju mengadopsi aturannya. Pendek kata: universalisme aturan main sepak bola membuat ucapan Coll berakhir sebagai obsesi belaka.

Tetapi, di sisi lain, Coll juga seperti menyadarkan bahwa ada universalisme lain yang berlaku lebih purba sebelum aturan main itu yaitu, keberadaan sepak bola sebagai hiburan.

Dalam studi kebudayaan, universalisme, sederhananya, merupakan pandangan yang menganggap adanya prinsip-prinsip yang berlaku secara menyeluruh, tanpa memandang konteks di mana, siapa atau kapan.  Dan dalam sepak bola, jauh sebelum universalisme ada dalam bentuk aturan, universalisme lebih dulu berwujud pada fungsi sepak bola sebagai hiburan. Dan dinamika sepak bola ini fragmen-fragmennya dapat kita temukan pada buku Mengapa Sebelas Lawan Sebelas? karya Luciano Wernicke.

Buku ini merupakan buku sejarah sepak bola yang mendedah berbagai asal-usul dan evolusi sepak bola. Di situ, Wernickemenyuguhkan 100 teka-teki sepak bola dalam berbagai dimensinya, mulai dari soal latar sosio-historis berbagai aturan sepak bola, asal-mula berbagai turnamen, sampai berbagai intermezzo tentang fakta unik sepak bola. Dari sehimpun sejarah yang ditemukan Wernicke ini, bisa dipahami bahwa pondasi nilai sepak bola sebenarnya adalah hiburan semata.

Dari awal kemunculannya, sepak bola tak bisa dilepaskan dari kebutuhan manusia akan hiburan. Permainan bola dengan kaki pertama disebut dengan Ts’uh Kủh, dimainkan pada masa Dinasti Han di Cina pada abad ke-2 dan ke-3 SM, dengan cara memasukkan bola kulit penuh bulu dan rambut ke jaring kecil yang dipasang di atas batang bambu. Selain itu, “nenek moyang” sepak bola modern juga dapat ditemukan di Jepang dengan nama Kemari; masyarakat Yunani memainkan Epislocyros; orang Romawi mempunyai Harpastum; di suku Aztec ada Tlachtli. Kesemuanya ini merupakan sebentuk hiburan yang memainkan bola menggunakan bagian-bagian tubuh, termasuk tangan (hlm. 3).

Dalam perjalanannya, sepak bola sempat tersisihkan dari peradaban. Ia tidak mendapat pengakuan dari pihak berwenang. Ketika negara-negara berperang demi kekuasaan, dan segala upaya penguasa dikerahkan untuk supremasi takhta, sepak bola dibenci penguasa karena dianggap pelanggaran yang mengganggu kedisiplinan rakyat, bahkan disinggung sebagai permainan yang menghina bangsawan. Ketimbang sepak bola, para penguasa lebih memilih permainan yang berguna untuk perang seperti memanah. Konsep olahraga juga hanya dikaitkan dengan pelatihan perang, seperti tinju, bela diri, balap kereta, atau adu lari (hlm. 5-6).

Meski demikian, sepak bola aktif dimainkan di lingkungan sekolah dan universitas, selain juga permainan bola lain seperti rugbi dan tenis. Pada abad ke-16, sebuah sekolah di London, St. Paul’s School, menemukan “nilai edukatif positif” dan dampak sepak bola pada “kesehatan dan kekuatan” (hlm. 6). Di London dan Cambridge, tempat berdirinya berbagai lembaga pendidikan, sepak bola cukup aktif dimainkan di taman dan halaman. Sepak bola menjadi sarana terbinanya disiplin yang sama sekali tak bertujuan membunuh lawan, sekaligus sebentuk hiburan pengisi waktu luang di tengah padatnya mereka bersekolah dan berkegiatan di asrama.

Karena sifatnya sebagai “pengisi waktu luang” ini, Wernicke kesusahan menentukan klub sepak bola mana yang paling tua. Lantaran sepak bola hanya menjadi kegiatan hiburan di tengah aktivitas sebenarnya, seperti tim sepak bola yang dimiliki perhimpunan senam, tim atletik dan angkat beban, atau institusi gimnastik dan anggar (hlm. 30). Tapi pada akhirnya, Wernicke menyatakan bahwa klub yang layak dinobatkan sebagai badan pertama khusus untuk sepak bola adalah Edinburgh Football Club, sebuah klub yang didirikan mahasiswa Univeritas Edinburgh pada paruh pertama abad ke-19.

Dalam temuan Wernicke, sekolah dan universitas berperan penting dalam perkembangan evolusi sepak bola. Sejak belum ada aturan yang universal, siswa-siswa telah menyepakati aturan bermain mereka sendiri, yang berlaku sebatas pada satu sampai beberapa pertandingan saja, sehingga masing-masing lembaga pendidikan bisa bervariasi peraturannya. Karenanya sekolah dan universitas jelas menjadi ruang dialektika yang terus mengembangkan norma permainan. Pembentukan Football Assosiation (FA) pada 1863 sebagai badan sepak bola pertama pun tak lepas dari delegasi tim-tim sekolah/universitas (hlm. 12-13). Banyak ide dasar yang sekarang menjadi standar permainan lahir di sekolah/universitas. Seperti komposisi 11 pemain dalam satu tim, durasi pertandingan 90 menit, sampai tempat munculnya istilah “keeper” untuk penjaga gawang.

Zaman semakin berkembang, begitu pula sepak bola. Pertengahan abad ke-19, Sheffield, kota besar Inggris yang mengalami pertumbuhan penduduk sangat cepat seabad sebelumnya akibat revolusi industri, memiliki tim sepakbola yang dimainkan oleh kelas pekerja, bernama Sheffield Wednesday FC. Tim inilah yang pertama kali berinisiatif memberi gaji seorang pemain bola bernama Scot James Lang, pemain hebat asal Skotlandia yang diminta bekerja di Sheffield hanya agar dapat bermain bola (hlm. 59-69). Dari kejadian di akhir abad ke-19 ini, tumbuhlah apa yang kemudian disebut dengan pemain sepak bola profesional.

Begitu pula kemunculan wasit. Dalam temuan Wernicke, wasit diduga pertama kali muncul pada 1841 dalam suatu pertandingan di kota Rochdale, Inggris. Sebelum laga berlangsung, dua tim yang bermain, klub Body-Guards dan Fear-Noughts, memutuskan untuk mempertaruhkan satu gentong jenewer dan sejumlah uang. Karena yang dipertaruhkan dirasa cukup berharga, masing-masing tim menunjuk seorang wasit ditambah satu orang ketiga yang “netral” (hlm. 27).

Singkatnya, keberadaan wasit maupun profesionalisme dalam sepak bola menunjukkan bahwa sepak bola telah berkembang. Alih-alih semata menjadi hiburan, sepak bola menjelma medium mujarab untuk mendapatkan hal-hal di luar sepak bola: ekonomi, prestise, politik, sosial, dan seterusnya.

Sepak bola, ketika sudah memiliki standar dan rumusan yang repetitif, jelas merupakan budaya massa yang cara pandang utamanya adalah keuntungan produksi dan pemasaran, sebagaimana pandangan Dominic Strinati. Dengan mengamati peristiwa-peristiwa belakangan, seperti permainan kotor di balik Piala Dunia Qatar 2022, atau pada Tragedi Kanjuruhan lalu saat federasi sepak bola lebih mementingkan prime time media televisi, kita bakal susah untuk tak mengatakan bahwa sepak bola tak lebih dari komoditas komersial. Mungkin tak disangka-sangka, tapi itulah kenyataan universalnya: dilahirkan dari rahim hiburan, sepak bola kini diasuh-besarkan oleh kapitalisme.

Ucapan Coll di atas jelas susah untuk diwujudkan pembenarannya. Tapi Coll mungkin memang sedang melempar satire, bahwa sepak bola pada dasarnya datang sebagai aktivitas untuk merenggangkan urat nadi seseorang setelah penat bersekolah, capek sehabis bekerja, dan mungkin sesudah payah bermain sandiwara sebagaimana Coll. Dan wasit tak lain adalah simbol dari kuasa pengetahuan yang mencoba mengendalikan permainan dan kerap justru menjauhkan sepak bola dari landasan dasarnya sebagai hiburan yang menyenangkan.

Ironisnya, di Indonesia, jenis sepak bola semacam ini justru mudah kita temukan justru di pelosok-pelosok pedesaan—tempat-tempat yang disebut kolot, kumuh, dan sama sekali tidak “mencapai peradabannya secara maksimal”. Itulah pertandingan bocah-bocah sepulang sekolah, berlangsung di beranda-beranda rumah yang tak jelas batas lapangannya, dengan tiang gawang cukup berupa sandal, dengan aturan dan durasi yang mereka sepakati sendiri, juga terlaksana tanpa wasit.

Meskipun fragmen-fragmen dalam buku ini terpisah dan Wernicke tampak tidak mencoba menyatukannya, meski juga Wernicke cukup kerap mengutip sumber penulisannya dengan “sejarawan” dan “surat kabar” tanpa menyebut namanya, itu tak mengurangi signifikansi buku ini agar dibaca, untuk merefleksikan perkembangan sepak bola mutakhir, sekaligus merefleksikan universalisme mana yang lebih dahulu berlaku dalam sepak bola: hiburan, aturan, atau dagangan?

Judul Mengapa Sebelas Lawan Sebelas? Dan Serba-Serbi Sejarah Sepak Bola Lainnya | Penulis Luciano Wernicke | Penerjemah Mahir Pradana | Penerbit Marjin Kiri | Cetakan September 2019 | Tebal ix + 175 hlm | Peresensi Mas Ahmad Zamzama N.

Editor Selo Rasyd Suyudi | Ilustrator Aleksandr Deyneka, “Football Soccer” (1924)