Home BERITA Perlunya Kebijakan yang Berperspektif Korban untuk Cegah Kekerasan Seksual

Perlunya Kebijakan yang Berperspektif Korban untuk Cegah Kekerasan Seksual

by lpm_arena
Perlunya Kebijakan yang Berperspektif Korban untuk Cegah Kekerasan Seksual
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com — Upaya untuk menciptakan lingkungan kampus yang bersih dari kekerasan seksual perlu terus dilakukan. Tidak cukup hanya dengan pencegahan terjadinya kekerasan, tapi juga penanganan yang baik atas kasus yang terjadi. Mengingat menurut catatan Komnas Perempuan, angka kekerasan seksual di kampus sudah cukup tinggi, mencapai 87 % (2015-2021).

Arnita Ernauli Marbun mengatakan salah satu upaya yang perlu menjadi fokus dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah bagaimana agar kebijakan kampus berperspektif korban. Artinya, segala penindakan terhadap pelaku pun harus mengacu pada kepentingan terbaik bagi korban, terutama untuk pemulihan korban.

“Hukuman seberat apapun terhadap pelaku, kalau dalam pidana itu hukuman beratnya adalah mati, tidak menjadi jaminan korban itu terpulihkan,” tutur Arnita dalam seminar “Menciptakan Budaya nir-Kekerasan Seksual di Kampus” yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, pada Rabu (25/10).

Di Indonesia sendiri, dalam pandangan Arnita, bentuk-bentuk penanganan umumnya terfokus pada hukuman terhadap pelaku. Saat terjadi kasus kekerasan seksual, konsentrasi masih berkutat pada bagaimana agar si pelaku mendapatkan hukuman setimpal. Tentu saja langkah ini cukup baik. Sayangnya, langkah itu terkadang tidak diimbangi dengan pemenuhan hak-hak korban.

Padahal, seperti tercantum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), korban juga memiliki hak yang perlu dipenuhi, seperti hak perlindungan, restitusi, pendampingan, sampai layanan pendampingan. Maka dari itu, menurut Arnita, hak-hak korban ini juga perlu ditekankan saat mengadvokasi dan menangani kasus kekerasan seksual.

Selain itu, Anindya Nastiti Restuviani, direktur program Jakarta Feminist, menambahkan bahwa pendampingan kepada korban juga disesuaikan dengan kebutuhan korban itu sendiri.

“Kalau misalkan korban masih belum bisa menganalisa kebutuhan-kebutuhan mereka, kita biasanya juga memberikan guidance (panduan, Red.) itu,” tutur Anindya dalam forum yang sama.

Lebih jauh, dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, Arnita menekankan perlunya kehati-hatian dalam menangani kasus kekerasan seksual. Karena, belajar dari kasus-kasus yang sudah terjadi, ada undang-undang yang justru rawan mengkriminalisasi korban, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Jadi undang-undang di Indonesia ada yang bisa membantu korban, tapi juga ternyata ada kebijakan-kebijakan di mana ini malah menambah kerentanan korban itu sendiri,” tutur Arnita yang juga menjadi konselor hukum di Rifka Annisa Women Crisis Center.

Di sisi lain, Anindya juga menegaskan betapa bahaya kekerasan seksual bagi korban. Menurutnya, pelecehan seksual dapat menurunkan kualitas hidup korban. Sayangnya, pelecehan seksual masih kerap dinormalisasi oleh masyarakat, terutama yang terjadi di ruang publik, seperti catcalling berupa siulan yang menurut Anindya menjadi bentuk kekerasan seksual paling tinggi jumlahnya.

“Masyarakat Indonesia secara umum masih banyak yang mengamini nilai-nilai patriarki. Maka dari itu perempuan dan kelompok yang memang mungkin memiliki ekspresi yang sedikit berbeda dari harapan masyarakat memiliki kerentanan yang jauh lebih tinggi untuk mengalami kekerasan seksual di ruang publik,” tutur perempuan yang sejak 2016 menginisiasi gerakan bernama Hollaback! Jakarta untuk menangani pelaporan pelecehan seksual tersebut.

Reporter Rizqina Aida (Magang) | Redaktur Mas Ahmad Zamzama N. | Ilustrasi The Guardian