Lpmarena.com—Aparat masih memiliki pekerjaan rumah untuk menciptakan keadilan dalam menyelesaikan kasus kriminal. Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS tahun 2020-2023, mengatakan bahwa dalam masalah kriminal aparat kerap bertindak tidak adil, seperti ketika salah dalam menangkap pelaku.
Dalam kasus salah tangkap, bahkan aparat kadang sampai menyiksa korban salah tangkap hingga babak belur dan meninggal dunia. Setelahnya aparat tidak memberikan pertanggungjawaban, dan justru memberi uang damai kepada keluarga korban supaya tidak melanjutkan proses hukum.
“Pada akhirnya, yang sebelumnya dia bukan pelaku tindakan kriminal harus terpaksa mengaku, walaupun dia bukan pelaku sebenarnya,” tuturnya pada acara bedah buku “Memburu Keadilan: Anakku Korban Rekayasa Kasus Aparat” yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga, Kamis (9/11).
Tapi sebaliknya, ketika kepolisian didapati melakukan kekerasan atau penganiayaan, terkadang hanya diberi hukuman mutasi atau dipecat secara tidak hormat, dan tidak ada hukuman pidana oleh pihak kepolisian. Sehingga tidak ada rasa jera atau sebuah pembelajaran bagi aparat untuk kasus kriminal selanjutnya.
Menurut Fatia, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sendiri sebagai lembaga pengawas kepolisian justru malah sangat tidak berdaya. Kompolnas tidak pernah melakukan peringatan yang cukup keras terhadap kepolisian. Seolah-olah Kompolnas sekadar menjadi juru bicara kepolisian saja.
Andayani, penulis buku Memburu Keadilan sekaligus ibu korban salah tangkap kasus klitih Gedongkuning, menceritakan ketika anaknya hendak ditangkap aparat kepolisian, ada tiga surat sekaligus yang berisikan surat penahanan, surat penangkapan dan surat terdakwa. Andayani merasa janggal dan melihat ada rekayasa aparat di balik penangkapan itu.
Buku Memburu Keadilan sendiri ditulis Andayani sebagai pengingat tentang sistem peradilan sesat yang dialami anaknya. Buku itu menceritakan perjuangan orang tua korban peradilan sesat kasus klitih Gedongkuning. Mereka dijadikan tersangka dan divonis hukuman pidana meski tidak terlibat kasus.
“Ketidakadilan itu memang ada, saya sendiri sudah mengalami hal itu,” tegas Andayani. “Sebelumnya kita percaya dan kita yakini bahwa aparat kepolisian sangat menjunjung tinggi keadilan. Akan tetapi malahan mereka sendiri melanggarnya, demi mewujudkan kepentingan-kepentingan pribadi mereka”.
Sementara itu, Herlambang P. Wiratman bercerita bahwa ia sering menangani kasus-kasus salah tangkap yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
“Mengapa itu bisa terjadi? Karena dilatarbelakangi oleh politik, motif ekonomi, dan lain-lain,” tutur Dosen Fakultas Hukum UGM tersebut di forum yang sama.
Karenanya, Herlambang khawatir tuntas atau tidaknya suatu hukuman kriminal tidak lagi dilandasi keadilan aparat, tapi justru dipengaruhi budaya kekerasan aparat untuk memaksa korban salah tangkap agar mengaku bahwa ia pelaku kriminal.
Reporter Hidayat Pasaribu (Magang) | Redaktur Mas Ahmad Zamzama N. | Foto Instagram @fishum_uinsk