Lpmarena.com–Indonesia, dalam rilisan The Economist Intelligent Unit (EUI) pada 2022, termasuk negara yang memiliki demokrasi yang cacat (flawed democracy). Indonesia berada di peringkat 52 dari 167 negara dengan skor 6,71.
Menurut Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) dalam kerangka acuan kerja diskusinya, salah satu sebab cacatnya demokrasi ini adalah kurangnya partisipasi politik dari berbagai kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Berdasarkan hasil survei Research Center, disebutkan hanya sekitar 20% generasi Z yang mau berpartisipasi dalam politik. Padahal generasi muda memiliki peran besar dalam merawat demokrasi di Indonesia, apalagi generasi muda akrab dengan teknologi dan media sosial.
Ayik Teteki, dari Siskamling Digital, menuturkan bahwa situasi sekarang adalah situasi di mana para pemuda akrab dengan teknologi digital. Karenanya, untuk merawat demokrasi, tidak perlu langsung melakukan gerakan besar, tapi bisa dengan hal-hal kecil dalam media sosial.
“Walaupun mager ternyata kita juga bisa membangun demokrasi, di dalam tangan pun kita juga bisa turun ikut menjaga demokrasi, yakni melalui konten sosial media tentang demokrasi,” tuturnya dalam diskusi publik “Partisipasi Politik Generasi Muda” yang diselenggarakan Yayasan LKiS bersama Program studi Pengembangan Masyarakat Islam di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, pada Rabu (6/12).
Menurut Ayik, masyarakat sekarang bisa memberikan suaranya, menyampaikan apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, apa yang mereka inginkan itu melalui media sosial. Sehingga aspirasi masyarakat mudah tersampaikan kepada pemerintah dan mudah diakses oleh semua orang. Ayik menyebut kondisi ini dengan gerakan merawat demokrasi dengan ujung jari.
“Dengan media, ekspresi kita bisa lebih leluasa. Kita bisa mengemas segala informasi yang penting untuk publik, kampus, dan masyarakat luas dan lain sebagainya. Kemudian diupload di media sosial dan bisa diakses oleh banyak orang. Ini sederhana,” ungkap Ayik.
Hal itu menyebabkan pemerintah mau tidak mau mengikuti situasi yang sekarang ini berkembang. “Ternyata dengan ruang media sosial, kita bisa merawat budaya demokrasi dengan hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan,” tambahnya.
Hanya saja, Ayik mengingatkan, bahwa untuk menciptakan konten media sosial, generasi muda memerlukan apa yang disebutnya sebagai kecakapan digital. Kecakapan itu meliputi riset, keterampilan menggunakan peranti komputer dan seluler, ketepatan akses informasi, dan yang tak kalah penting adalah sikap kehati-hatian.
“Dan saya yakin untuk kecakapan digital ini teman-teman semua yang ada di sini tuh sudah mumpuni,” tuturnya.
Fikri, salah satu panitia dari LKiS yang juga mahasiswa PMI, mengungkapkan bahwa diskusi publik tersebut ditujukan untuk memahami konsep demokrasi sebagai acuan untuk merawat iklim demokrasi di Indonesia, sekaligus membangun jiwa demokrasi generasi muda, khususnya di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga.
“Dengan adanya kegiatan ini, harapannya semoga mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam ataupun Fakultas Dakwah dan Komunikasi itu bisa lebih melek, lebih peduli, lebih memantau demokrasi untuk masa depan Indonesia,” tutur Fikr.
Reporter Susy Amanah Intan P. (Magang) | Redaktur Mas Ahmad Zamzama N. | Fotografer Elang Dwipa Mahardika