Home BERITA Mengurai Krisis Demokrasi di Indonesia

Mengurai Krisis Demokrasi di Indonesia

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Penurunan kualitas demokrasi di Indonesia bukan hal yang baru terjadi, tapi sudah terjadi selama 10 tahun terakhir. Begitu jelas Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS 2020-2023 dalam diskusi publik yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM bersama Serikat Merdeka Sejahtera di Bundaran UGM, Jumat (8/12).

“Kalau kita bicara soal (penurunan) demokrasi di Indonesia, sebetulnya menurut saya cukup telat. Kita sadarnya ketika Mahkamah Konstitusi pada akhirnya dibajak oleh kepentingan tertentu,” katanya.

Fatia menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan demokrasi terus mengalami penurunan. Pertama, banyak kecurangan dalam pemilu. Kedua, kebebasan berekspresi yang terus merosot. Ketiga, banyak represifitas dan pembungkaman yang dilakukan oleh aparat yang berpengaruh terhadap merosotnya kebebasan sipil.

“Kebebasan fundamental ataupun kebebasan sipil hari ini juga semakin merosot karena tidak ada yang namanya meaningful participation,” jelasnya.

Selain itu, Fatia mengungkapkan bahwa upaya protes lewat demonstrasi juga kebanyakan tidak didengar, meskipun sampai memunculkan korban. Ia mencontohkan kasus omnibus law tahun 2020. Saat itu, muncul demonstrasi besar di mana-mana dan ribuan orang menjadi korban, tapi akhirnya omnibus law tidak dibatalkan.

“Jadi suara tersebut tidak hanya dibungkam secara struktural, tapi pada akhirnya secara kultural kita juga merasa takut,” imbuhnya.

Menurut Fatia, semenjak aksi #ReformasiDikorupsi pada 2019, sebanyak 62,5% masyarakat takut untuk mengungkapkan pendapatnya. Ini merupakan indikator menurunnya indeks demokrasi di Indonesia. Karenanya ia berpendapat bahwa masyarakat jangan sampai ikut berkontribusi dalam indeks penurunan demokrasi yang terjadi. “Makanya kita harus berani untuk bersuara dan melawan”.

Upaya perlawanan yang bisa dilakukan adalah ikut terlibat di dalamnya. “Keterlibatan secara inklusif dari teman-teman muda, perempuan, dan lain sebagainya, itu tidak hanya sebagai pelengkap; itu harus bisa kita nilai, itu sudah meaningful, sudah berarti,” katanya.

Menanggapi penjelasan Fatia, Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara UGM, mengatakan bahwa represi, pembungkaman, dan lain sebagainya itu bisa terjadi karena adanya pembiaran dan pengawasan dalam demokrasi. Tidak adanya pengawasan itulah yang menyebabkan kesewenang-wenangan bisa terjadi. Hal ini menyebabkan suburnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

“Salah satu catatan yang harus kita ingat dari sekitar beberapa tahun belakangan, atau paling tidak 10 tahun belakangan, itu adalah makin hilangnya yang namanya konflik non kepentingan,” jelasnya.

Ia mengungkapkan bahwa banyak pejabat yang menetapkan kebijakan, tapi pada saat yang sama pejabat itu sendiri yang mendapat keuntungan dari kebijakan tersebut. Keuntungan ini adalah apa yang dalam buku berjudul “Mengapa Negara Gagal” disebut dengan rente. Di situ dijelaskan bahwa negara bisa gagal jika negara berubah menjadi pemburu rente.

Kaitannya dengan pemilihan pemimpin, Zainal mengatakan bahwa demokrasi tidak menawarkan sosok malaikat yang sempurna. Tapi demokrasi menawarkan lesser evil, yaitu orang yang paling sedikit sisi setannya. Dan dalam konsep demokrasi, pilihan didasarkan pada preferensi masing-masing yang paling mungkin.

“Kalau anda aktivis perempuan, jangan pilih partai yang menyakiti perempuan, misalnya. Kalau anda aktivis anti korupsi, jangan pilih partai yang paling banyak kasus korupsinya. Kalau anda aktivis lingkungan, jangan pilih partai-partai yang selalu main dengan perusakan lingkungan,” terangnya.

Sementara itu, di akhir diskusi, Haris Azhar, pendiri Lokataru Foundation, mengatakan bahwa anak muda punya ruang dan waktu untuk memajukan Indonesia, sehingga bisa membawa negara ini ke negara yang menjunjung nilai-nilai demokrasi.

“Indonesia akan seperti apa, Indonesia-nya kalian, yang mana kalian anak muda yang punya ruang dan waktu lebih banyak untuk menempati Indonesia,” pungkasnya.

Reporter Yusuf (Magang) | Redaktur Mas Ahmad Zamzama N.