Lpmarena.com – Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi masih marak terjadi. Menurut laporan Komnas Perempuan pada 2022, kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi, dan 87% di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual.
Padahal, sepengamatan Siti Darmawanti, konselor Rifka Annisa Women Crisis Center, diskusi-diskusi dan sosialisasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) sudah kerap dilakukan, hukuman untuk pelaku juga tidak ringan. Tapi tetap saja kekerasan seksual kerap terjadi.
Salah satu penyebabnya yang disinggung Darmawanti adalah apa yang disebut Rape Culture atau budaya pemerkosaan. Menurutnya, budaya tersebut merupakan pemahaman masyarakat sosial yang cenderung menormalisasi tindakan kekerasan. Ini berangkat dari pandangan bahwa suatu kekerasan tidak akan terjadi secara tiba-tiba, ada tahap-tahap yang membuatnya menjadi wajar.
Darmawanti mengatakan bahwa Rape Culture berawal dari tindakan yang sederhana, seperti menganggap normal candaan-candaan yang menjurus ke seksualitas. Jika hal itu dianggap wajar, lalu meningkat lagi pada “serangan-serangan” secara verbal. Dan jika masih tidak ada efek jera, kekerasan bisa sampai pada terjadinya penetrasi seksual.
“Jadi semuanya itu secara bertahap. Tugas kita adalah mencoba mengikis normalisasi-normalisasi tadi,” tutur Darmawanti dalam talk show “Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2023” di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Rabu (6/12).
“Jadi menurut saya, dari sekian kunci pencegahan itu, yang paling penting (adalah pencegahan) terkait dengan perilaku kita sehari-hari,” tambah alumni Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta tersebut.
Namun, di sisi lain, Darmawanti menyatakan bahwa meskipun perempuan yang menjadi objek sasaran kekerasan sering menimbulkan rasa ketidaknyamanan, tidak banyak perempuan yang memiliki keberanian untuk melakukan penolakan maupun mengungkapkan ketidaknyamannya terhadap candaan tersebut.
Karenanya, upaya untuk tidak melanggengkan Rape Culture juga membutuhkan orang lain, tidak hanya korban. Upaya itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti menyediakan diri untuk menjadi saksi, atau mengalihkan perhatian pelaku, atau secara teknis bisa melawan secara langsung.
“(Upaya itu bisa juga dengan) memenuhi apa yang dibutuhkan korban, misal ketenangan, minum sampai dia rasa aman, sebelum akhirnya dilakukan tindakan lebih lanjut dengan menghubungi pihak-pihak terkait yang bisa membantu menyelesaikan peristiwa tersebut,” ungkap tutur wanita yang juga memproduseri film-film tentang kampanye pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
Sementara itu, menurut Ariani Hasanah Soejoeti, alumni kriminologi Universitas Indonesia, upaya pencegahan kekerasan seksual di kampus harus dilakukan sejak awal ketika mahasiswa baru masuk. Saat orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek), mahasiswa dikenalkan pada satgas PPKS dan perangkat-perangkat kampus yang bisa membantu penanganan, pelaporan, sampai pencegahan.
“Salah satu yang harus diberikan adalah orientasi terkait apa saja sih fasilitas kampus yang bisa memerangi, andaikata terjadi, kekerasan seksual di kampus,” ucap Ariani mengaku juga penyintas kekerasan.
Selain itu, menurut Ariani, upaya pencegahan juga bisa dilakukan dengan pemberian materi-materi tentang kekerasan seksual pada kuliah umum atau mata kuliah dasar. Dan materi ini bukan hanya untuk mahasiswa, tetapi juga untuk tenaga pendidik maupun tenaga yang bekerja di kampus.
Pencegahan juga bisa dilakukan dengan kampanye lewat konten-konten, poster-poster yang dipasang di kampus.
“Kalau misalnya (ada juga kampanye) kampus bebas rokok, nah itu kampus bebas kekerasan seksual. Jadi menurut saya itu juga salah satu upaya pencegahan yang baik,” pungkas Ariani yang hadir via daring.
Reporter M. Zilman Nadhif (Magang) | Redaktur Mas Ahmad Zamzama N. | Ilustrasi Manisha Yadav/Scroll.in