Home BERITA Politik Dinasti Cederai Demokrasi Di Indonesia

Politik Dinasti Cederai Demokrasi Di Indonesia

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com Social Movement Institute adakan Festival Keadilan sebagai bentuk mendobrak kebuntuan atas peristiwa yang terjadi belakangan ini. Haris Azhar, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menyayangkan degradasi sistem demokrasi dengan adanya politik dinasti, disampaikan pada Minggu (10/12) di Bento Kopi Godean.

Haris mengungkapkan adanya putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 mencederai demokrasi. Putusan tersebut sangat membatasi warga negara yang ingin mengajukan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden haruslah berpengalaman menjadi pemimpin daerah terlebih dahulu. Putusan itu membuat Gibran Rakabuming Raka lolos menjadi calon wakil presiden (cawapres).

Anwar Usman, Ketua Hakim MK pada saat itu yang juga paman dari Gibran, lanjut Haris,  kemudian diberhentikan sebagai Ketua Hakim MK dengan putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 karena pelanggaran kode etik dan perilaku, makin menguatkan adanya politik dinasti yang sedang dibangun di Indonesia. Padahal seharusnya negara membuka peluang sebesar-besarnya bagi semua warga negara untuk berpartisipasi, bukan untuk satu keluarga tertentu.

“Masa depan Indonesia tidak tergantung pada orang-orang yang mempunyai hubungan dengan kekuasaan, tapi masa depan Indonesia ditentukan oleh kita yang berjiwa muda, oleh kita yang mau mengoreksi,” papar Haris.

Sama halnya dengan Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS 2020-2023, yang mengkritisi lolosnya Gibran sebagai cawapres. Baginya Gibran lolos bukan karena hasil dari demokrasi rakyat, melainkan karena kepentingan satu golongan, bahkan keluarga.

“Gibran bisa dipilih bukan secara demokratis, tapi karena warisan,” papar Fatia.

Fatia mempertanyakan kembali orang-orang yang membangun narasi bahwa Gibran adalah representasi dari Sutan Sjahrir. Hanya karena alasan Sjahrir menjadi perdana menteri di usia 36, usia yang sama dengan Gibran. Padahal antara Sjahrir dengan Gibran tidak bisa disamakan.

“Bahkan kalau bisa disamakan dengan Sjahrir, Sjahrir mungkin bisa bangkit dari kuburnya,” kata Fatia.

Selain politik dinasti yang mencederai demokrasi, Fatia juga melihat adanya otoritarianisme pada masa pemerintahan presiden Jokowi. Penggunaan alat-alat negara yang kemudian memasuki ranah demokrasi mengakibatkan hancurnya kepercayaan publik pada MK. Selama 9 tahun masa pemerintahan Jokowi pun diwarnai dengan pembungkaman, penindasan, perebutan lahan dan lahirnya UU ITE serta pasal karetnya.

“Itu adalah puncak dari semua yang terjadi selama 9 tahun ke belakang. Perlu adanya pembangkangan karena kita telah menghadapi namanya oligarki,” terang Fatia.

Bagi Fatia, Jokowi seperti Soeharto. Keduanya sama-sama kapital di negeri ini yang mengeruk banyak keuntungan selama menjadi presiden.

“Ternyata Presiden Joko Widodo adalah Soeharto yang bertopeng, yang mukanya tidak ada dosa dan berpura-pura ndeso padahal dia kapital yang paling besar di negara ini,” ujar Fatia.

Di akhir orasi, Fatia mengingatkan anak-anak muda agar tidak menjadi pengikut orang yang mementingkan satu kelompok tertentu.  

“Kita sekarang harus menentukan sikap, harus melawan, dan jangan pernah mau ditindas, jangan pernah mau dibungkam,”  pungkas Fatia.

Reporter Mukhammad Aldi (magang) | Redaktur Maria Al-Zahra | Fotografer Khirza Zubadil (magang)