Home BERITA Gejayan Kembali Memanggil: Jokowi Sebagai Pengkhianat Reformasi

Gejayan Kembali Memanggil: Jokowi Sebagai Pengkhianat Reformasi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com-Masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) melakukan aksi dengan tajuk ‘Gejayan Kembali Memanggil’ di Jalan Colombo, Sleman, pada Sabtu (16/12). Aksi ini merupakan respons atas kondisi carut-marut yang terjadi pada pemerintahan Jokowi yang dituangkan ke dalam sembilan tuntutan, satu di antaranya menyoal krisis demokrasi yang mengalami penurunan.

Mengutip rilis pers ‘Gejayan Kembali Memanggil’ diketahui indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan yang signifikan di bawah kepemimpinan Jokowi. Bahkan dalam aspek budaya dan politik merupakan yang terendah dalam 15 tahun terakhir. Data tersebut dikutip dari Economic Intelligence Unit (EIU) yang menyebutkan Indonesia masuk ke dalam kategori flawed democracy alias demokrasi cacat.

“Soal demokrasi di Indonesia ini yang dipertontonkan oleh elite-elite politik dan pejabat publik kita adalah kegagalan yang konyol sekali, dan itu membodohkan masyarakat,” ungkap Restu Baskara selaku Humas aksi.

Restu menyayangkan akan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023 tentang batas minimum capres dan cawapres sarat akan kepentingan. Mengingat putusan tersebut diteken Anwar Usman yang mempunyai hubungan keluarga dengan Presiden Jokowi, yang selanjutnya menurut akademisi, demi Gibran melanggeng sebagai cawapres. Ia menilai keputusan tersebut adalah nepotisme dengan menerobos konstitusi demi kekuasaan, juga merupakan penghianatan bagi amanat reformasi. 

“Kami tahu bahwa MK adalah produk dari reformasi. Tetapi elit-elit politik sekarang justru mengkhianati amanat reformasi yang sudah diperjuangkan dari tahun 98 sampai sekarang,” paparnya.

Senada dengan itu. Dewa Adi Wibawa yang juga sebagai Humas ARB menjelaskan pengkhianatan Jokowi terlihat dalam dua manuver, yaitu pelemahan KPK sebagai lembaga independen lewat UU KPK Nomor 19 tahun 2019. Kemudian diskriminasi dan pembungkaman terhadap aktivis yang santer bersuara.

“Presiden memang tidak merespon [orang yang bersuara]. Pendukungnya yang merespon, [dengan] melakukan doksing, pendukungnya melakukan serangan terhadap aktivis dan siapapun yang menggunakan hak kebebasan berbicaranya,” jelas Dewa.

Melihat hal tersebut, Bima Yudistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), khawatir akan bonus demografi akan menjadi bencana yang diakibatkan oleh kondisi krisis demokrasi. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh elit-elit politik yang tidak demokratis tersebut, menurutnya akan dicontoh dan berdampak negatif pada kualitas SDM Indonesia, khususnya dapat membentuk pemikiran anak muda bahwa yang kecakapan dan prestasi tidak lagi penting.

Ia menegaskan jika hal ini terus berlanjut maka yang akan memimpin Indonesia di masa mendatang sewaktu demografi terjadi, bukanlah orang-orang pintar, melainkan orang-orang kaya dan yang memiliki hak istimewa akan menjadi bencana demografi nantinya, alih-alih bonus.

“Mimpi Indonesia emas itu jadi pertanyaan, siapa yang akan disebut emas itu? Yang akan bersinar nanti 2045, yaitu mereka yang mempunyai privilege. Itulah karena rusaknya demokrasi berpengaruh terhadap SDM kita di 2045,” pungkasnya. 

Reporter Nuril Atieq (Magang) | Redaktur Selo Rasyd Suyudi | Fotografer Selo Rasyd Suyudi