Lpmarena.com – UIN Sunan Kalijaga hari ini tidak lagi berorientasi pada pendidikan, justru melanggengkan komersialisasi pendidikan melalui sistem UKT. Hal ini disampaikan oleh Eko Prasetyo, selaku Founder Social Movement Institute (SMI) pada diskusi publik “Mahasiswa Dalam Pusaran Pendidikan Mahal” yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Kalijaga (Formal) pada Rabu (13/12) di Gedung Kuliah Terpadu.
Eko menceritakan bahwa UIN dulunya kampus yang ramah terhadap mahasiswa miskin, sehingga kampus ini identik dengan nama kampus rakyat. UIN menjadikan dirinya sebagai eskalator bagi santri yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, tapi kemampuan modalnya terbatas.
“Bahkan seorang Al-Makin yang sekarang menjadi rektor UIN Sunan Kalijaga juga dulunya kuliah disini ya karena murah. Sekarang dia jadi pejabat kok malah dimahalkan. Mestinya dia belajar dari Sejarah. Apalagi kampus islam tidak bisa disamakan dengan kampus lainnya,” ungkap Eko.
Eko mengkritisi UIN hari ini bukanlah kampus rakyat. Prinsip UIN yang ingin membantu mahasiswanya melanjutkan perguruan tinggi dengan keterbatasan ekonomi, sudah hilang. Terlihat dari nominal UKT yang tinggi dan penggolongan yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswanya. Baginya ini merupakan ketidakadilan dan melenceng dari prinsip UIN saat didirikan.
“Jadi sejak awal, memang kampus ini didirikan untuk mereka-mereka dari kelas menengah ke bawah dan ditolong oleh pendidikan yang waktu itu namanya IAIN. Sejarah yang ideal seperti itu hancur karena meletakkan seseorang itu bukan dari kemampuan pengetahuan maupun akalnya, tetapi berdasarkan modal pendapatan orang tuanya,” papar Eko.
Keterangan Eko selaras dengan hasil survei yang disampaikan oleh Tim Formal. Survei ini mendapatkan 582 responden yang sebagian besar adalah mahasiswa baru 2023. Hasil survei menunjukkan sebanyak 88,7% mahasiswa mengeluhkan UKT yang tidak sesuai dengan kondisi ekonominya.
Pada pemaparan hasil survei ditemukan dari 8 fakultas di UIN masih ditemukan tiga fakultas yang mahasiswanya mendapat golongan UKT 7 padahal penghasilan orang tuanya hanya Rp0 – Rp500.000. Tiga fakultas tersebut adalah Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, serta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Nominal UKT di tiga fakultas tersebut kisaran Rp5.000.000 – Rp7.000.000.
Joko Susilo selaku Knowledge Manager Nalar Institute menambahkan mahalnya pembayaran UKT di UIN Sunan Kalijaga ternyata juga terjadi di banyak kampus di Indonesia, terutama di Yogyakarta. Yogyakarta menjadi provinsi mendapat dana pendidikan yang tertinggi se-Indonesia. namun, mirisnya biaya kuliah yang diberikan pada mahasiswa juga tetap tinggi, bahkan terjadi kenaikan biaya UKT.
“Yogyakarta selain terkenal dengan kota pelajar, di tahun 2023 ini menjadi provinsi dengan kenaikan dana pendidikan yang tertinggi se-Indonesia,” papar Joko.
Dampak dari mahalnya biaya pendidikan, lanjut Joko, melemahkan gerakan mahasiswa. Mahasiswa yang seharusnya menjadi agent of change, malah disibukkan dengan mencari uang untuk membayar biaya kuliah. Baginya kampus hari ini mengalami kemerosotan, kehilangan suasana belajar dan aroma intelektualnya.
“Banyak yang lebih memilih untuk bekerja saja, dibandingkan dengan mengikuti kegiatan aksi atau Gerakan mahasiswa. Karena semakin cepat untuk lulus kuliah maka semakin sedikit untuk membayar uang UKT,” pungkas Joko.
Reporter Chilya Aghnis (magang) | Redaktur Maria Al-Zahra | Fotografer Tim Media Forum Mahasiswa Kalijaga