Home BERITA Peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan: Pelanggaran HAM bukan Isu Lima Tahunan

Peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan: Pelanggaran HAM bukan Isu Lima Tahunan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com–Pelanggaran HAM bukan isu yang hadir di tiap lima tahun sekali. Demikian ungkap Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara  pada saat acara peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan dengan tajuk “Orang silih berganti, Aksi Kamisan tetap berdiri” di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/01).

Menurut salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) tersebut,  konsistensi Aksi Kamisan menjadi bukti bahwa aksi diam yang dilakukan setiap Kamis ini tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk politik yang terjadi.

“Mungkin orang-orang bicara HAM itu cuman lima tahun sekali menjelang pemilu, tapi sebenarnya dengan Aksi Kamisan ini kita mau bilang bahwa soal ketidakadilan itu harus dibicarakan kapan saja, sampai 802 kali, sampai 17 tahun,” jelasnya. 

Bivitri menjelaskan Pemerintah Indonesia belum keluar seutuhnya dari keadaan otoritarianisme, juga tidak tegas pada aktor-aktor pelanggar HAM menyebabkan fenomena impunitas. Walaupun pelanggaran HAM banyak terjadi di masa peralihan suatu negara dari otoriter ke demokratis, hingga kini impunitas masih ada di Indonesia yang mengakibatkan ketidakadilan pada korban. 

“Jadi impunitas sudah kayak kultur karena aktor politiknya masih sama. Kenapa 17 tahun gak selesai-selesai? Karena ini memang akan terus ada selama ketidakadilan itu masih terus berlangsung. Dan nyatanya kalau yang lama saja tidak diselesaikan, maka akan terus berulang,” katanya sewaktu diwawancarai ARENA

Risiko yang terjadi kemudian hari, lanjut Bivitri, adalah hadirnya rentetan pelanggaran HAM baru di tiap tahun dengan pemecahan masalah yang sama nihilnya. Ia memberi contoh dengan masalah yang hadir di Kanjuruhan, Pakel, Wadas, dan Rempang.

“Itu semua menurut saya bisa terjadi karena yang lama juga gak pernah diselesaikan. Jadi kita gak pernah belajar sebagai bangsa, gak pernah belajar bahwa pelanggaran HAM berat itu nyata dan dilakukan oleh negara dan harus diselesaikan,” tegasnya.

Senada dengan itu, Maria Catarina Sumarsih, Ibu dari korban Tragedi Semanggi I yakni Benardinus Realino Norma Irawan alias Wawan, mengharapkan ada pemuda yang peduli dan mau menuntaskan isu pelanggaran HAM menjadi sosok yang penting dalam tampuk kekuasaan di kemudian hari.

“Saya berharap ada yang menjadi Presiden, ada yang menjadi Menkopolhukam, ada yang menjadi Jaksa Agung, ada yang menjadi anggota DPR-RI yang berani mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM berat di meja pengadilan sesuai Undang-Undang yang berlaku,” terangnya.

Ia juga berharap Presiden Jokowi di masa akhir kepemimpinannya dapat menepati janji untuk menuntaskan  peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu. Sebagaimana yang Jokowi janjikan lewat Nawacita.

Sumarsih, panggilan akrabnya, adalah satu nama dari sederet banyak aktivis di Indonesia yang hingga saat ini getol menyuarakan isu pelanggaran HAM di masa lalu, salah satunya melalui Aksi Kamisan yang ia gagas bersama Suciwati dan Bedjo Untung.

Aksi Kamisan sendiri pertama kali dimulai pada 18 Januari 2007 sebagai respon dari  pelanggaran HAM di masa lalu, yaitu Tragedi 1965-1966, Penghilangan Paksa di tahun 1997-1998, Semanggi I dan II, Tragedi Trisakti hingga kasus pembunuhan Munir yang diracun dalam perjalanan Jakarta menuju Amsterdam.

Pada peringatan 17 tahun ini, masyarakat dari berbagai elemen berkumpul dengan membawa poster protesnya masing-masing, tak luput juga dari Usman and The Black Stones hingga Abdur Arsyad, komedian, turut meramaikan acara berkostum hitam itu.   

Reporter Selo Rasyd Suyudi | Redaktur Maria Al-Zahra