Lpmarena.com –Tantangan bagi Generasi Z atau Gen Z hari ini adalah menyeleksi informasi politik dari beragam media, akun atau platform yang ada. Bagi Laurensia Laura, salah satu Gen Z yang aktif menjadi penggiat literasi, pengetahuan politik penting karena banyaknya informasi hingga hoax di media sosial soal pemilu. Hal ini ia sampaikan saat webinar ‘Pemilu dan Demokrasi di Mata Gen Z’ yang diadakan oleh Jaringan Gusdurian pada Senin (29/10).
“Kayak misal yang lagi heboh-hebohnya konten gemoy, banyak Gen Z yang langsung percaya tanpa mereka cek and ricek kredibilitasnya,” ujar Laura.
Laura memaparkan sangat penting bagi Gen Z untuk banyak mempelajari isu-isu politik menjelang pemilu 2024. Apalagi Gen Z adalah pemilih mayoritas pada pemilu 2024 kali ini.
“Saya mulai sadar ternyata anak pemuda penting banget ya setidaknya tahu basic-basic informasi tentang politik agar ketika kita memilih nanti tidak gampang terbawa arus,” kata Laura.
Pendidikan literasi yang tinggi, lanjut Laura, di kalangan Gen Z juga turut berkontribusi pada pemahaman mereka terhadap berbagai aspek pemilu dan politik. Ia melihat Gen Z sebenarnya adalah generasi potensial karena lahir di era teknologi digital sedang berkembang, hingga seharusnya mereka dapat memepelajari sesuatu dengan mudah dan cepat.
“Gen Z itu canggih-canggih karena dari lahir aja sudah mendapatkan akses dunia digital, jadi wawasan dan pandangan Gen Z memiliki akses lebih luas,” ujar Laura.
Walaupun Gen Z dekat dengan teknologi, menurut Trisna Dwi salah satu penggiat di Jaga Pemilu, hal itu sekaligus menjadi tantangan. Hari ini banyak Gen Z yang kemudian lebih meluangkan waktunya untuk bermain gadget daripada membaca buku. Padahal buku adalah wadah berbagai informasi dan lebih sedikit hoax dibandingkan infromasi di media sosial.
“Platform digital ini telah men-create bahan bacaan atau bahan tontonan kita, misal di tiktok atau di instgram reels panjang durasinya 15 detik sampai 1 menit, itu akan mempengaruhi kondisi psikologis seseorang sehingga tidak dapat fokus membaca lebih lama,” ujarnya.
Trisna juga menuturkan slogan seperti politik gemoy, politik santun atau politik sebagai jalan ninja hanyalah strategi yang digunakan untuk meraup suara. Pemilihan diksi yang dipilih menunjukkan unsur kesengajaan, hanya untuk memikat hati mayoritas pemilih di pemilu 2024. Hal ini kemudian mereduksi isu-isu politik yang seharusnya diangkat oleh para kandidat, seperti pelanggaran HAM, demokrasi, kesetaraan gender, ekonomi kerakyatan dan lainnya.
“Slogan-slogan ini melunakkan sekali, karena ternyata dibelakangnya terjadi konsolidasi oligarki. Itu kan yang sebenarnya harus kita perhatikan,” ujar Trisna.
Rafi Shihabudin, salah satu aktivis Gusdurian Ciputat menuturkan hal senada, bahwa informasi di media sosial terkait slogan, gaya berkampanye, hingga gimmick, tidak dapat menjadi acuan utama dalam menentukan pilihan baik-buruknya kandidat pemilu. Sebagai Gen Z seharusnya paham akan dunia digital yang dapat berlainan dengan karakter asli seseorang.
“Misalnya salah satu paslon digambarkan bahwa dia adalah seseorang yang tegas kemudian di medsos dia joget-joget apakah itu percaya, apakah dia betul-betul sukanya joget-joget?”
Rafi juga sepakat dengan Laura bahwa untuk menentukan pilihan di pemilu 2024 baiknya melihat dari rekam jejak. “Sebelum kita percaya kepada salah satu paslon, kita harus melihat lebih dalam lagi rekam jejaknya, sehingga kita tidak mudah terbuai dengan gimmick–gimmick yang bertebaran,” pungkasnya.
Reporter M. Zilman Nadhif (magang) | Redaktur Maria Al-Zahra | Ilustrasi theatlantic.com