lpmarena.com–Oposisi yang hilang konsistensi menyebabkan rusaknya demokrasi yang bermartabat. Peristiwa politik beberapa tahun terakhir dirancang sedemikian rupa agar pemilu 2024 berjalan dengan mulus. Begitu yang disampaikan oleh Benediktus Hestu Cipto, Parwi Foundation, dalam diskusi Forum Cik Di Tiro yang berjudul “Merti Demokrasi dari Rezim Pageblug” pada Rabu (28/09).
“Yang dulunya ngata-ngatain begitu digabungkan menjadi yang terdepan. Yang dulunya lantang tidak memilih pelanggar HAM nyatanya malah ikut mendukung,” ujar Hasto.
Ia menerangkan sejak sebelum hingga pasca pemilu 2024, demokrasi yang telah diperjuangkan mati-matian menjadi terbuang dan tidak bermartabat. Terlihat dari pembuatan hingga pengesahan UU Cipta Kerja, digantinya 270 kepala desa dengan pejabat desa karena pemilu serentak, nepotisme dari pengangkatan Kaesang Pangarep yang baru dua hari menjadi anggota partai politik kemudian naik menjadi ketua partai, hingga pengacakan tatanan Mahkamah Konstitusi.
“PSI (Partai Solidaritas Indonesia) mengangkat Kaesang dan mengatakan bahwa ia partai Jokowi, ini namanya kampanye. Padahal belum masanya kampanye. Ini saja sudah melanggar,” ujar Hasto.
Upaya memperjuangkan demokrasi di Indonesia, lanjut Hasto, bukan sesuatu yang instan. Bahkan perjuangan itu diwarnai dengan darah dan melihat peristiwa yang merendahkan demokrasi tersebut membuat miris.
“Saya tidak lihat dari menang-kalahnya, tapi dari proses kampanye sampai pemungutan suara. Kalau sudah diputuskan, mau gak mau, senang gak senang, dan tiap hari saya harus lihat dua foto yang terpampang. Pertanyaannya, apakah saya masih kuat menahan unek-unek saya?”
Budi Santoso, Penasihat KPK, menggambarkan pemilu 2024 tidak berbeda dengan pemilu 2019. Sejak awal kemenangan Jokowi, partai yang kalah dirangkul agar tidak menjadi oposisi. Hal ini secara langsung akan mempengaruhi konsolidasi yang ada di DPR yang mayoritas diisi oleh partai politik. Singkatnya Jokowi mengontrol dari atas hingga bawah dari semua partai politik, tak terkecuali partai yang kalah.
“Tidak ada yang mengontrol pemerintahan, karena semuanya disetir oleh satu orang,” terangnya.
Tidak sampai di situ, Budi menuturkan bahwa KPK sebagai satu-satunya yang saat itu menjadi lembaga di luar kontrol Jokowi mulai disetir. UU Revisi KPK yang hanya selesai dalam beberapa hari bahkan tidak ia ketahui.
Hal tersebut tentu saja menimbulkan kecurigaan, karena jika pun ada perubahan dalam UU KPK para petinggi dan penasehat akan ikut terlibat. “Kami yang ada di KPK malah gak tau kalau ada draf revisi yang masuk. Kami malah tau dari para teman-teman jurnalis yang ada di Jakarta,” jelas penasehat KPK tahun 2017-2019 tersebut.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh beberapa anggota Forum Cik Di Tiro juga menyampaikan harapan akan hadirnya oposisi yang kuat. Oposisi ini dapat berasal dari mana saja, tidak hanya partai politik melainkan juga datang dari masyarakat.
Budi menyampaikan bahwa jika hanya bergantung pada partai politik saja tidak cukup. Konsolidasi masyarakat yang kemudian menciptakan people power sebenarnya bisa sangat kuat jika masyarakat merasa memiliki satu musuh bersama. Seperti yang terjadi pada tahun 1998 saat semua elemen masyarakat menjadi satu melawan rezim Soeharto.
“Politik itu dinamis dan bisa berubah-ubah. Belum tentu juga ada partai yang bersedia ‘puasa’ selama 5 tahun nanti,” terang Budi.
Pentingnya Pendidikan Politik
Dalam acara tersebut juga, Wasingatu Zakiyah dari Caksana menyinggung terkait masih banyaknya masyarakat berpikir bahwa bansos adalah pemberian dari presiden atau pemerintah, dan seringkali pelaksanaannya sarat dipolitisasi guna memenangkan salah satu pasangan calon (paslon). Demikian, Zakiyah melihat sebagai imbas dari nihilnya pendidikan politik yang dilakukan pada masyarakat.
“Saat saya bersama Fatayat NU turun ke kecamatan, mereka sama sekali tidak tahu pajak itu dibayarkan ke siapa, kemudian pajak itu diberikan ke siapa. Bansos, pemberian uang seratus ribu, serangan fajar dan lain sebagainya hanya untuk membajak suara rakyat,” ungkapnya.
Pendidikan politik tidak pernah dilakukan dan ini adalah situasi yang miris menurut Zakiyah. Bahkan saat dirinya menjadi inisiator dari gerakan anti politik uang di desa yang bekerja sama dengan lurah yang ada di sana, nyatanya tidak berjalan baik. Lurah yang diharapkan dapat menjadi tokoh masyarakat desa itu agar menolak politik uang, justru ikut terlibat di dalamnya
“Ketika saya tanya lurah yang lain, memang betul bahwa mereka sudah dikumpulkan bersama dan diharapkan memenangkan salah satu paslon. Memang tidak tertulis tapi terkondisikan, salah satunya lewat bansos,” tuturnya.
Zakiyah mengharapkan lembaga masyarakat, ormas dan masyarakat sipil bergerak lebih giat dalam pendidikan politik, meski bukan hal yang mudah dan instan. Namun, jika budaya politisasi bansos dan politik uang terus terpelihara akan menjadi ancaman serius demi masa depan Indonesia. Ia menilai pendidikan politik membuat kesadaran di tengah masyarakat yang kemudian akan mudah untuk dikonsolidasi.
“Pendidikan politik yang jauh-jauh hari dilakukan, bahkan bertahun-tahun dapat tertutup hanya dalam waktu seminggu karena ada bantuan sosial, politik uang dan sembako di depan mata,” imbuhnya
Reporter Maria Al-Zahra | Redaktur Selo Rasyd Suyudi | Fotografer SP Kinasih