Home BERITA Kampus Hari Ini dan Budaya Akademik yang Kian Hancur

Kampus Hari Ini dan Budaya Akademik yang Kian Hancur

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Social Movement Institute (SMI) menggelar diskusi sekaligus bedah buku berjudul “Kampus Hari Ini: Mahal, Menindas, dan Kehilangan Integritas”, yang ditulis oleh Eko Prasetyo, pendiri SMI. Diskusi yang digelar pada Rabu (20/03) di Green House UIN Sunan Kalijaga ini menyoroti bagaimana kondisi budaya akademik di kampus yang kian hancur. 

Eko Prasetyo menyebutkan bahwa situasi kampus hari ini sama sekali berbeda dengan apa yang terjadi pada tahun 90-an waktu dirinya masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta.

“Satu situasi yang berbeda ketika saya hidup di Yogya tahun 90-an, di mana kampus menjadi ruang atau panggung intelektual, di mana ide-ide tumbuh, di mana ide-ide itu bisa didiskusikan, di mana dosen dan mahasiswa punya hubungan yang egaliter,” tuturnya. 

Alih-alih demokratis, bagi Eko, hari ini kampus justru membatasi ruang mahasiswa untuk berdiskusi dan membungkam nalar kritis mahasiswa dengan cara mengajar yang cenderung indoktrinasi. Eko juga menyayangkan, kampus menghilangkan kepercayaan bahwa ia akan mengantarkan mahasiswa terhadap suatu perubahan.

“Kampus mendesain mahasiswa menjadi orang-orang yang khawatir akan pekerjaan; khawatir akan situasi yang terjadi di masa depan,” ucapnya.

Sementara itu, Okky Madasari menyoroti lima kondisi kampus hari ini. Pertama, mahasiswa yang dibentuk menjadi pragmatis. Indikasi itu terlihat dari ujaran-ujaran semacam “lebih cepat lulus lebih baik”, atau “ngapain harus berorganisasi kalau organisasi nggak ada nilainya, mending magang bisa menambah poin, dan semacamnya.

“Itu adalah bentuk pragmatisme sebenarnya dalam dunia pendidikan kita. Dan pragmatisme itu juga terlihat ketika mereka sudah menjabat memilih untuk diam (dari melihat realitas sekitar),” tutur pendiri Omong-Omong Media tersebut.

Kedua, tentang berubahnya relasi dalam produksi pengetahuan, dalam hal ini hubungan antara mahasiswa dengan dosen yang tidak lagi egaliter. Ketiga sampai kelima, adalah hilangnya daya kritis, sikap independensi, dan keberanian mahasiswa yang perlahan mulai hilang. Dan menurutnya, hal itu disebabkan salah satunya oleh biaya pendidikan yang mahal.

“Ketika kampus dibentuk biayanya mahal, sementara kesejahteraan rendah, mereka (mahasiswa, Red.) semua dibentuk kehilangan keberanian: keberanian untuk bicara, keberanian untuk bertanya, keberanian untuk menggugat. Itu betul-betul dihilangkan dari kampus,” ungkapnya.

Okky juga menganggap pinjaman online (pinjol) memberangus independensi mahasiswa. Ketika mahasiswa punya utang dengan pinjol, sesungguhnya kemerdekaan mahasiswa sudah hilang. Contohnya, misal karena UKT mahal, mahasiswa seolah-olah mendapat pinjaman atau bahkan bantuan. Padahal di balik pemberian itu, sebenarnya ada ikatan-ikatan tertentu yang membuat mahasiswa kehilangan independensinya. 

Menurut Okky, kondisi-kondisi ini menyebabkan makin hancurnya budaya akademik di kampus. Senada dengan itu, Eko Prasetyo menambahkan bahwa ketika budaya akademik di kampus hancur, maka kampus akan lebih mirip dengan korporasi yang penuh transaksional.

“Kalau tradisi intelektual itu hancur, maka kampus akan mirip dengan korporasi,” ungkap Eko.

Reporter Wildan Humaidyi | Redaktur: Mas Ahmad Zamzama N. | Ilustrasi Academic-Life