Home BERITA “The Burning Season” dan Inspirasinya bagi Gerakan Mahasiswa

“The Burning Season” dan Inspirasinya bagi Gerakan Mahasiswa

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Komunitas Gusdurian Yogyakarta bekerjasama dengan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Yogyakarta  dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) mengadakan diskusi sekaligus nonton bareng film “The Burning Season”, dengan tema “Arah Gerakan Mahasiswa Pasca-Pemilu”, Minggu (24/03) di Pendopo LKiS, Yogyakarta.

Dirilis pada tahun 1994, film “The Burning Season” menceritakan perjalanan hidup seorang tokoh aktivis lingkungan hidup bernama Chico Mendes. Ia memperjuangkan hak tanah ulayat masyarakat di daerahnya yang diambil dan akan dikuasai para pengusaha untuk membuka lahan.

Menurut Himawan Pambudi, film tersebut merupakan tontonan wajib bagi gerakan sosial di tahun 1998, termasuk gerakan mahasiswa. Karena, film yang disutradarai oleh John Frankenheimer itu mempertontonkan bagaimana seorang Chico mengorganisir rakyat, berjuang melawan perampasan tanah dan ketidakadilan.

Selain itu, kata Himawan, film tersebut juga menjadi bagian dari metode analisis sosial menggunakan teologi pembebasan dari perspektif gerakan katolik.

“Karena film itu berlatar belakang di Amerika Latin yang memang mayoritas penduduknya itu katolik,” tutur Kepala Departemen Demokrasi, Politik, Pemerintahan, dan Inklusi Sosial dari Yayasan Satu Nama tersebut.

Lebih lanjut, menurut Yohanes Tala, film ini harusnya bisa menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa sekarang. Karena konteks ketidakadilan yang terjadi dalam film tersebut juga banyak terjadi di Indonesia masa sekarang.

“Jadi persis seperti yang hari ini terjadi di Wadas, di daerah-daerah lain, yang mana masyarakat adatnya memperjuangkan tanah ulayat mereka karena akan digunakan investor, atau dalam hal ini negara, untuk membangun proyek-proyek strategis besar,” ujar ketua PMKRI Yogyakarta itu.

Apalagi, dengan kondisi gerakan mahasiswa sekarang yang semakin banyak tantangan. Menurut Yohanes, globalisasi dan disrupsi informasi saat ini menyebabkan gerakan mahasiswa kehilangan titik fokus terhadap permasalahan yang diperjuangkan. Berbanding terbalik jika melihat peran mahasiswa pada tahun 1998 yang masih memiliki arah dan tujuan yang jelas, yaitu menjatuhkan Orde Baru yang otoriter.

“Mahasiswa-mahasiswa zaman dulu, mereka dekat sekali dengan situasi-situasi diskursus masyarakat, karena memang situasi pada saat itu ketidakadilan terlihat nyata,” ungkapnya. 

Lebih jauh, Yonas mengatakan bahwa para aktivis mahasiswa tahun 1998 lebih dekat dengan masyarakat akar rumput, seperti para petani, buruh, nelayan, dan elemen-elemen masyarakat yang tertindas. Sedangkan mahasiswa saat ini mulai kehilangan advokasi pada kelompok-kelompok tertindas dan lebih fokus pada diri mereka masing-masing. Tapi keadaan itu pun bukan melulu sebab mahasiswa.

Karena situasi sekarang menunjukkan mahasiswa yang berjuang untuk hak-hak rakyat seringkali mendapat stigma negatif, seperti dituduh sebagai simpatisan partai politik atau mendapat bayaran dari pihak tertentu saat menggelar aksi, misalnya pada masa pemilu yang baru berlangsung. Hal tersebut menurut Yonas cukup disayangkan.

“Jadi seakan-akan suara mahasiswa tidak merepresentasikan perjuangan dari masyarakat kecil hari ini gitu,” ungkap Yonas.

Farida Ainun Ula menambahkan bahwa gerakan mahasiswa saat ini seringkali terfragmentasi dan terpaku dengan wacana-wacananya sendiri. Tapi yang tidak kalah penting, kondisi gerakan mahasiswa saat ini juga dilatarbelakangi oleh tidak adanya pendidikan politik yang terstruktur, yang menyentuh lapisan bawah sampai atas. 

“Kita tidak bisa mengidentifikasi musuh kita bersama dan tidak merasakan rasa ketertindasan yang sama,” ucap aktivis penggerak di komunitas Gusdurian Yogyakarta itu.

Farida juga menyoroti keberpihakan mahasiswa saat ini yang masih tidak jelas. Pada pemilu yang lalu, misalnya, sebagian dari mahasiswa yang seharusnya menjadi penggerak di kampusnya justru ikut andil sebagai tim sukses dari calon yang berkontestasi.

Meski demikian, kondisi tersebut tidak bisa dijadikan untuk putus asa, dan film “The Burning Season” adalah contohnya. Menurut Yohanes, film ini menjadi gambaran bahwa sesuatu yang dianggap tidak mungkin, seperti menggugat ketidakadilan negara, bisa diraih meskipun tidak mudah.

“Film ini memberi inspirasi bahwa memang (perjuangan) ini bukan pekerjaan yang singkat dan bukan tanggung jawab generasi ini saja, tetapi ini (juga) tanggung jawab generasi yang terus berlanjut,” tuturnya.

Reporter M. Zilman Nadzif | Redaktur Mas Ahmad Zamzama N.