Lpmarena.com–Dema-U menggelar Dialog Terbuka di selasar gedung Multi Purpose pada Selasa (27/05), dengan tajuk “Mendobrak Kebuntuan Demi UIN SUKA yang Unggul”. Dialog ini menjadi ajang terbuka bagi ke-13 para calon rektor untuk membeberkan gagasannya untuk kampus dalam empat tahun yang akan datang. Namun, hingga saat acara usai, tidak seorang pun calon rektor hadir dalam dialog ini, mahasiswa hanya bisa melihat potret calon Rektor pada kursi yang sudah disediakan.
Thoriqotur Romadhani, Ketua Dema-U, menjelaskan kehadiran dialog ini diharapkan agar mahasiswa sebagai salah satu stakeholder di kampus, dapat mengetahui upaya yang akan dilakukan rektor terpilih untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada di dalam universitas.
Menurutnya, imbas Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 8 tahun 2015 yang menjadi landasan pemilihan rektor ini sarat akan kepentingan dan jauh dari kata demokratis. Peraturan ini, jelasnya, menjadi awal dari absennya mahasiswa dalam keterlibatan menentukan siapa yang akan memimpin kampus.
“Secara aturan di Peraturan Menteri Agama itu pemilihan rektor ini dipilih langsung oleh Menteri Agama, jadi nggak ada keterlibatan dari stakeholder yang ada di kampus. Artinya ini tergantung menteri, hati dan pikiran dari menteri mau milih siapa,” ungkap Thoriq saat konferensi pers.
Kekecewaan senada dirasakan Hifzha Aulia Azka, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, tidak transparannya pemilihan rektor ini telah menimbulkan kecurigaan dalam benaknya. Ia memaparkan mekanisme ini terkesan sedang ada sesuatu yang ingin ditutupi. Demikian, kata Hifzha, dilihat dari pemilihan rektor yang tidak melibatkan mahasiswa, meski mau tidak mau, mahasiswa juga akan terkena imbas dari kebijakan yang dikeluarkan kampus nantinya.
“Sebenarnya rektor kan bukan khusus untuk beberapa pihak doang ‘kan, kami para mahasiswa juga terpengaruh dengan kebijakan-kebijakan nanti,” ungkapnya saat diwawancarai ARENA.
Alasan itu pula lah yang membuat Hifzha menyinggung beberapa persoalan yang masih menjadi pekerjaan rumah (pr), tersebut Uang Kuliah Tunggal (UKT), fasilitas, dan aksesibilitas difabel.
“Kemudian masalah di UIN, khususnya UIN Sunan Kalijaga itu fasilitas. UKT yang tinggi tidak dibarengi dengan fasilitas yang bermutu dan memadai. Aksesibilitas difabel masih kurang banget disini, yang katanya pernah mengaku sebagai kampus paling ramah difabel. Nah itu kan harus ditantang terus,” imbuhnya.
Dalam pelaksanaan Dialog Terbuka ini mengalami kendala, Thoriq mengungkapkan jika bahkan ada intervensi dari rektor sendiri. Ia menceritakan instruksi langsung yang diberikan oleh Al Makin sebagai rektor untuk para calon rektor yang sudah diundang agar tidak hadir dalam acara Dialog Terbuka.
“Beliau itu menginterupsikan untuk ‘udah nggak usah datang, dan sebagainya. Kegiatan itu tidak usah dilayani dan sebagainya,’ itu interupsi langsung dari rektor,” ungkap Thoriq.
Selain itu, dalam proses pelaksanaannya, ia menceritakan jika Dema-U dihadapkan juga pada sulitnya meminta fasilitas untuk menggelar acara. Ia mengaku sempat dibuat bingung dengan arahan yang diberikan, dimulai dari Senat Universitas, yang dalam pemaparannya tidak bisa memfasilitasi, kemudian diarahkan untuk difasilitasi Wakil Rektor III dan Rektor, dengan hasil yang sama yaitu, nihil.
“Udah lah, apa yang menjadi problem di UIN kalian tutupin, nggak usah diekspos, nggak usah pressure kemana-mana,” ucap Thoriq menirukan apa yang Al Makin katakan.
Dalam pernyataan sikap, Dema-U mengungkapkan kekecewaannya terhadap 13 calon Rektor UIN Sunan Kalijaga yang absen dalam dialog bersama mahasiswa, dan menganggap bahwa pergantian kepemimpinan tanpa gagasan adalah ruang politik paling kotor bagi kaum cendekia.
Reporter Wildan Humaidyi | Redaktur Selo Rasyd Suyudi