Mengapa orang cenderung patuh dan manut terhadap sesuatu, namun begitu sulit untuk melawan? Jawabannya cukup sederhana, karena ketidakpatuhan acap kali mendapatkan stigma sebagai penentang. Maka tidak heran jika sebagian orang akan selalu terlihat patuh terhadap otoritas seperti negara, agama, dan norma sosial. Meski hal tersebut bertentangan dengan hasrat juga keinginannya.
Perasaan aman dan terlindungi adalah alasannya, sebab ketika menentang ia hanya akan mendapat hukuman, entah secara materil ataupun moril, mungkin juga keduanya. Hal lain yang menyebabkan seseorang sukar untuk tidak patuh adalah anggapan bahwa kepatuhan adalah suatu yang baik, sementara ketidakpatuhan dianggap suatu yang nista atau buruk.
Sampai hari ini, masyarakat dipaksa untuk selalu patuh atas setiap kebijakan yang dibuat dan jika terdapat masyarakat yang lantang menyuarakan ketidaksetujuan, cap sebagai antipemerintah lah yang ia dapat. Padahal memberikan pendapat terhadap sesuatu merupakan bagian dari proses berdemokrasi.
Dalam Perihal Ketidakpatuhan ini Erich Fromm mendedah soal kepatuhan. Ia menjelaskan bahwa ada dua jenis kepatuhan, kepatuhan otonom dan kepatuhan heteronom. Jenis yang pertama, baginya adalah kepatuhan yang berlandaskan terhadap akal budi serta kesadaran. Seseorang akan patuh terhadap sesuatu bukan karena rasa takut ketika tidak patuh, melainkan atas kesadaran akal budi, diri sendiri dan nalar. Seseorang akan patuh terhadap sesuatu ketika dianggap baik dan akan menentang pada apa yang dianggap buruk olehnya.
Sedangkan kepatuhan heteronom, adalah jenis patuh terhadap institusi, kekuasaan atau terhadap seseorang. Kepatuhan ini merupakan bentuk penyerahan diri atau penerimaan atas penilaian dari pihak lain dalam diri seseorang. Kepatuhan yang bukan sebab itu baik, tapi bisa juga sebab khawatir akan risiko ke depannya jika hal tersebut tidak dipatuhi.
Tentu yang menjadi masalah di sini adalah ketika seseorang bersikap patuh pada sesuatu yang dianggapnya baik, hanya akan melahirkan jenis manusia yang angkuh dan cenderung ingin menang sendiri. Jika hal ini terjadi, ketidakteraturan dan kekacauan yang terjadi.
Erich Fromm yakin jika hal tersebut tidak akan terjadi. Ia menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat suatu kesadaran alamiah, atau biasa disebut dengan kesadaran humanistik. “Kesadaran yang berdasarkan fakta sebagai manusia yang memiliki pengetahuan intuitif tentang apa yang manusiawi dan tidak manusiawi. Dan mengetahui apa yang kondusif dan destruktif bagi kehidupan. Kesadaran inilah yang membuat kita sebagai manusia. Ia suara kesadaran yang selalu menghimbau kita untuk kembali ke diri kita sendiri, kemanusiaan kita.” (hlm 13)
Fromm juga yakin jika sejarah kita, sejarah umat manusia adalah sejarah ketidakpatuhan, dengan kisah Adam dan Hawa adalah mulanya, dan keberanian adalah awalanya. Dalam cerita pasangan tersebut, ia menganalogikan bahwa surga layaknya rahim ibu dan pasangan tersebut adalah bayi dalam kandungan, yang menurut Fromm keduanya adalah manusia sekaligus bukan manusia. Disebut manusia sebab keduanya memang secara harfiah manusia, tapi juga disebut bukan manusia karena ketidakbebasan dan aturan yang mereka dapati dalam surga.
Dan semuanya berubah ketika mereka melanggar perintah titah tuhan dilanggar. Mereka bak memotong tali pusarnya sendiri, keluar dari kehidupan surgawi yang harmonis atau singkatnya keluar dari kenyamanan mereka, lalu mendapat kemerdekaan juga kebebasan kemudian.
“Tindakan ketidakpatuhan itulah yang membebaskan Adam dan Hawa dan membuka cakrawala pandangan mereka.” (hlm. 8)
Menjadi Manusia, Menjadi Bebas
Tentu jika ketidakpatuhan selalu disamakan dengan tindakan subversif macam antipemerintah, kita telah keliru memahaminya selama ini, dan kadung mengamininya sebagai konsensus. Kekeliruan ini memang sengaja dipelihara oleh para penguasa otoriter yang secara sengaja membiarkan gaya berpikir masyarakatnya adalah penurut, yang jika tidak begitu, setiap kebijakan yang sarat kepentingan pribadi dan kelompoknya pastilah terganggu.
Maka lewat berbagai regulasi dan kebijakan, pemerintah terus berupaya menyeragamkan masyarakat baik dalam lembaga formal maupun nonformal. Dalam lembaga pendidikan misalnya, para siswa mesti mengenakan seragam, potongan rambut yang tidak boleh melebihi alis hingga sebarang sepatu harus disamakan warnanya, dengan dalih agar para siswa terbiasa untuk rapi, meski itu harus mengorbankan daya pikir kritis anak didik sekalipun.
“Mestinya tujuan utama yang harus diperjuangkan adalah membantu pengembangan daya kritis individu dan menyediakan basis ekspresi kreativitas kepribadian.” (hlm. 90)
Agar tidak mendapatkan hukuman, kira-kira itulah yang mendasari bahwa kita kerap menolak ketidakpatuhan dan tetap berada di zona aman. Karena ketika mengikuti suatu aturan yang telah ditentukan, kita merasa terlindungi meskipun itu merugikan dan menghilangkan kebahagiaan. Bahkan Erich Fromm menyebut kita, manusia modern itu, hanyalah serupa robot yang tidak memiliki apapun selain keseragaman.
“Inilah persisnya kelemahan masyarakat kontemporer yang mengaku sebagai manusia modern, mereka hidup tanpa harapan, tanpa idealisme, tanpa keyakinan, dan tanpa visi kecuali apa pun yang lebih mendorong keseragaman”, (hal 103).
Begitulah mentalitas yang dimiliki manusia modern. Tidak lagi berani melawan terhadap pakem dan otoritas yang bermasalah, atau sekurang-kurangnya pura-pura tidak tahu seakan semuanya terlihat baik-baik saja. Patuh dan membebek. Meski entah pada kekuasaan macam apa atau kebijakan macam apa yang ia patuhi.
Karena sejatinya, menurut Fromm manusia bebas adalah manusia yang berani mengatakan tidak kepada kekuasaan. Dan kebebasan hanya dapat diraih lewat ketidakpatuhannya. Kiranya, kita memang perlu merenungi kembali kepada siapa dan kapan kepatuhan tersebut selayaknya diberikan.
“Sistem sosial, politik, dan agama apapun yang mengklaim kebebasan, tetapi mencegah ketidakpatuhan, tidak berhak berbicara tentang kebenaran.” (hlm. 8)
Judul Perihal Ketidakpatuhan, Mengapa Kebebasan Cenderung Berkata “Tidak” Kepada Kekuasaan | Penulis Erich Fromm | Penerjemah M. Isran | Penerbit IRCiSoD | Cetakan Juli 2020 | Tebal 115 halaman | Peresensi Ridwan Maulana
Editor Selo Rasyd Suyudi