Kota adalah tempat yang banyak orang tuju untuk mencari suaka ataupun gemerlap duniawi, dan Jakarta adalah satu tujuan di antaranya. Di sana buat mencari kesenangan maupun kebutuhan ada lebih banyak variasi, begitu pula pembangunan, kemacetan, ketimpangan, dan hal-hal sebangsa berengsek lainnya mudah dijumpai, seolah memang sudah ciri khas. Mantan ibu kota Indonesia tersebut banyak dipotret oleh khalayak, Bardjan adalah salah satunya.
Dalam antologi puisi Ibu Kota/Air Mata, Bardjan memulai repertoar dengan pekik sebal terhadap Jakarta. Lewat “surga di bawah telapak kaki ibu kota” (hlm. 1) ia bayangkan Jakarta adalah sesosok ibu yang patut dikasihi dan diberi bakti guna meraih keberkahan. “kami akan selalu berbakti kepadamu/ ibu kotaku sayang//”
Namun, ibu kota bukanlah ibu. Justru yang hadir adalah “ibu” dengan tanda petik yang berarti bukan ibu karena tak ada kebaikan yang didapat darinya, selain “sajak-sajak kelaparan/ sajak-sajak kebinatangan/ sajak-sajak pembunuhan/ sajak-sajak kelelahan/ sajak-sajak kecemasan/”
Di lain puisi diksi kelelahan dan kecemasan tersebut menemukan rinciannya. Dalam “enam sore di bundaran hi” misal, Bardjan memandang Jakarta sebagai kota yang demikian sibuk. Sepuluh juta orang berimpit di provinsi seluas 662,33 km ini. Hilir-mudik tak habis-habis dari pagi hingga pagi, kembali mencari dana segar dan menerobos kemacetan guna, setidaknya, sekadar bertahan hidup serta membuat dapur tetap ngebul.
menara-menara perkantoran yang angkuh
menghakimi kita. kita tak balas mendongak
atau mengajaknya berkelahi
karena terlalu sibuk.
klakson mobil-mobil merongrong digit-digit rupiah
di bill kartu kreditmu.
hantu-hantu mulai bernyanyi
di kubikel kantor yang berangsur kosong.
kurir pesan antar makanan menghitung
sisa masa kanak-kanak di dalam dompetnya.
mbak-mbak dengan kulot dan ankle boots,
takdirnya berkejaran dengan desing mrt.
cintanya baru saja kandas seiring gincu dan
bedaknya pudar oleh keringat.
tiga orang kuli kelelahan dan ingin
bercengkerama dengan kunang-kunang.
kamu terlalu anteng menata furnitur kayu
di setiap sudut benakmu yang lowong: rumah impian
dengan dua kamar tidur dan halaman belakang
harus dilunasi oleh separuh kewarasan.
tangan badut-badut menjulur
dari tenggorokan yang kering kerontang,
berharap menggapai duit recehan
dari balik kaca mobilmu yang kinclong.
langit senja menyeruak blus hitamku
dan mendekap payudaraku yang lunglai.
(hlm. 37)
Dan apa yang disebut Bardjan soal “menghitung masa kanak-kanak di dalam dompetnya” di atas, itulah manusia kiwari: yang bekerja dan tak mengenal waktu, yang selalu ketakutan memikirkan hari esok, yang selalu gelisah sewaktu menatap angan-angan “rumah impian dengan dua kamar tidur dan halaman belakang” yang “harus dilunasi oleh separuh kewarasan.”
Tak ada yang bisa dilakukan, selain pasrah untuk dihisap dan dieksploitasi. Begitulah kiranya sebagaimana yang ia ungkap pada bait pembuka, “menara-menara perkantoran yang angkuh/ menghakimi kita. kita tak balas mendongak/ atau mengajaknya berkelahi karena terlalu sibuk.”
Ditambah kenyataan bahwa Jakarta sendiri merupakan kota dengan tingkat stres tertinggi kesembilan di dunia. Data ini dikeluarkan VAAY yang bertajuk The Least and Most Stressful Cities Index 2021, di mana dengan 15 indikator yang ada, seperti keselamatan, kesetaraan gender, cuaca, akses kesahatan dan lain sebagainya, Jakarta mendapat skor akhir 41,8 dari skor sempurna yakni 100.
Maka tak ayal di Jakarta kelelahan selalu lebih akrab alih-alih istirahat. Kesibukan kerja ditambah harus berhadapan kemacetan sewaktu pulang, polusi yang membumbung, desing knalpot juga klakson, serta kabar buruk yang berseliweran. Situasi begitu yang selalu menikam hari ini juga esok dan selalu berimbas dengan hangusnya ruang-ruang buat menepi. Ruang untuk menyendiri.
Tak ada kontemplasi, yang ada hanyalah harus cepat-cepat tertidur, jika pun bisa. Harus tidur untuk kerja di keesokan hari, bukan demi diri sendiri. Bahkan untuk sekadar menulis puisi sukar untuk dilakoni kata Bardjan dalam “tak ada lagi puisi” (hlm. 15):
bukannya aku kapok menulis puisi rindu untukmu.
peristiwa-peristiwa besar menghajar kotamu
tanpa kesudahan semenjak mangkat.
monumen-monumen kenangan
dipancang berjemaah di pemakaman,
seribu setiap hari: angka-angka tanpa nama
yang berserakan di kolom koran.
sama sepertimu, mereka akhirnya hanya akan ditangisi
segelintir orang (jika beruntung).
bukannya aku kapok menulis puisi rindu untukmu.
tapi mesin-mesin yang manualnya harus kuhafal
begitu menyeruput kewarasan.
aku harus mengawini mesin-mesin itu
untuk memberi makan lima ekor kucingku.
aku menunggak tagihan
seperti merapal ajian bertahan hidup.
buku-buku yang belum kubaca berceceran di lantai kamar
seperti perpustakaan kota yang meleleh
dan membuatmu tergelincir.
zaman makin sulit. orang-orang menukar biji kelamin buriknya
demi uang sewa indekos. bertaruh jam tidur
dengan segelas coffee latte.
berjudi dengan wabah penyakit yang mematikan.
aku memang jarang mimpiin kamu lagi, pak. toh tidak ada
yang punya cukup waktu di arlojinya masing-masing.
kecuali untuk berduka, tak ada lagi
orang yang tidur untuk bermimpi
apalagi berpuisi.
Menonton film adalah jalan pelampiasan buat Bardjan keluar atau mungkin tepatnya mengobati kejenuhan ini. Kiranya meski tak dapat lagi menulis puisi, tetapi dia masih dapat menonton sinema, hobinya. Saya curiga, Bardjan di laman bio narasinya ketika dibilang ia lebih menyukai menonton ketimbang menulis, adalah karena pekerjaannya berkait erat dengan menulis. Oleh karena itu sewaktu pulang ke kamar, ia ingin segala hal tentang pekerjaannya dapat dihindari, sekalipun itu menulis.
Sebagai seorang sinefil, Bardjan banyak mengutip mulai dari judul, tokoh, pendapatnya mengenai film, bahkan adegan, sekaligus tak kelewatan ia banyak mengutip tokoh juga seniman sampai cerita ke dalam puisinya. Seperti yang terlihat pada “fyodor” (hlm. 43), “asian film whore” (hlm. 57), dan “rendezvous in senayan” (hlm. 53).
Bardjan juga banyak menyinggung soal keluarganya, seperti beberapa di antaranya dalam puisi “ibu melipat ayah” (hlm. 3), “ibu melayat ayah” (hlm. 4), “lebam di wajah ibu” (hlm. 29), “ibu” (hlm. 50 ) dan “selamat hari ayah” (hlm. 55).
Dalam konteks mengenai keluarga juga ia tuliskan mengenai kampung halaman, yaitu lewat “apa yang bisa dibawa dari kampung halaman ketika meja makan sudah tidak menghidangkan apa-apa?” (hlm. 18):
kereta argo parahyangan yang kunaiki dari gambir
berjalan mundur
pohon-pohon toko-toko sawah-sawah
juga jalannya mundur
aku juga mau berjalan mundur
agar tidak sampai ke kampung halaman
yang di meja makannya
tidak pernah lagi menghidangkan apa-apa
opor ayam semur lidah sapi dan sambal goreng kentang
satu-satu berpamitan
nenek kakek bibi paman bapak ibu
juga ikutan
Dari sana sebuah kesan muncul bahwa Bardjan di satu sisi, di kota tempatnya bekerja yaitu Jakarta, ia hanya mendapat kelelahan. Pun di tempat kelahirannya tak lebih baik pula, ia kebingungan ada siapa di sana. Singkat kata, kesedihan bertempat di mana pun ia berpijak. Selalu mengikutinya. Dan pada akhirnya yang niscaya hanyalah kesendirian, dirinya sendiri dengan kesunyian, sebab kesunyian: mata uang manusia abad ini, kata Bardjan dalam puisinya yang lain.
Lewat buku setebal 70 halaman ini, saya seolah sedang diajak ke pameran kepahitan, dituntun menengok tiap instalasinya, dan Bardjan adalah kurator dari pameran tersebut. Ia menggunakan bahasa sederhana, urakan, dan cenderung nakal, tetapi itu bukan kekurangan malah menjadikan puisinya terasa jujur dan dalam, juga jelas saya tidak perlu mengerutkan dahi.
Judul Ibu Kota/Air Mata | Penulis Bardjan | Penerbit Langgam Pustaka | Cetakan Juli 2022 | Tebal vi + 70 hlm | Peresensi Selo Rasyd Suyudi
Editor Maria Al-Zahra