Lpmarena.com–Dalam rangka mengenang 20 tahun kasus pembunuhan Munir Said Thalib, Social Movement Institute (SMI) menggelar pameran bertajuk “Cak Munir Adalah Kita”. Pameran digelar di aula perpustakaan kampus II Universitas Sanata Dharma mulai tanggal 1 hingga 7 September.
Zain, salah seorang inisiator yang tergabung dalam SMI, menjelaskan bahwa pameran ini berisi latar belakang Cak Munir, panggilan akrab Munir. Perjalanan ia hidup dan bertumbuh untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan, sampai ia terbunuh pada tahun 2004 sebagai sosok advokator pembela HAM yang pemberani.
“Di pameran ini kita bukan hanya melihat Cak Munir sebagai sebagai pembela HAM, kita ingin mengenalkan bahwa ia punya beberapa fase kehidupan,” jelas Zain saat diwawancarai ARENA, Kamis (05/09).
Kisah perjuangan Munir tergambarkan dalam seluruh karya di setiap sisi ruangan. Mulai dari perjalanan mengenal dunia pergerakan sosial, pendampingannya pada kasus Marsinah di tahun 1992 yang membuat dirinya dipenjara untuk pertama kali, hingga pembuatan organisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dan beberapa organisasi lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa poster kode respons cepat atau QR Code yang berisi audio, diantaranya state protection killing, garuda deadly cabin, after 20 year’s call, dan your daughter voice. Hal tersebut dibuat sebagai upaya menyuarakan pembunuhan Munir yang tak kunjung diselesaikan dan mendapat keadilan dari negara.
Peristiwa lainnya juga divisualisasikan lewat komik karya Eko Prasetyo dan Terra Bajraghosa. Pada komik tersebut digambarkan situasi terbunuhnya Munir di pesawat dalam penerbangannya dari Jakarta menuju Amsterdam.
Zain beranggapan bahwa Munir merupakan salah satu tokoh yang tidak pernah menggunakan kekerasan dalam setiap demonstrasinya. Ia memiliki jiwa yang berani untuk melawan ketidakadilan. Menurutnya sampai saat ini belum ada sosok baru yang bisa menggantikan keberanian Munir.
“Pameran ini dikhususkan untuk anak muda yang sudah menjadi apatis. Mungkin dari pameran ini bisa menginspirasi. Terus jadilah seperti Munir, berani melawan, konsisten, dan juga bermoral,” ujarnya.
Abdul Wahab Hasbullah, pengunjung pameran, mengapresiasi digelarnya pameran Munir ini. Ia menyoroti sebagai seorang mahasiswa seharusnya ikut mulai membuka diskursus isu-isu baru masyarakat kontemporer tentang hak kemanusian yang belum tersentuh.
“Meskipun pendidikan dilanda neoliberalisme, pemikiran kritis dan memperjuangkan kelompok yang rentan harus tetap ada. Adanya pameran munir, membuka dan menyebarkan pemikiran perjuangan munir ke era saat ini,” katanya.
Terdapat beberapa institusi yang tergabung dalam pelaksanaan pameran ini, seperti Pusat Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (PUSDEMA) Sanata Dharma, Mahasiswa Pascasarjana Sanata Dharma, Marjin Kiri, Tifa Foundation, dan Aksi Kamisan Jogja.
Pameran ini merupakan agenda besar yang digelar serempak pada awal bulan September di beberapa kota seperti; Yogyakarta, Kediri, Malang, Purwokerto, dan Magelang. Aksi ini diinisiasi oleh kawan pemerhati HAM setempat yang berbeda-beda, namun dengan tema yang sama.
Reporter Ghulam Ribath | Redaktur Niswatin Hilma