Yayasan Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya) menggelar diskusi dan bedah buku “Sejarah Waria Yogyakarta” di Teatrikal Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Pada Kamis (05/09) Masthuriyah Sa’dan, penulis buku tersebut menerangkan latar belakang dari buku ini yakni sebagai dukungan terhadap kelompok marginal.
“Bukti bahwa kepedulian itu saya tuangkan dalam bentuk dokumentasi pengetahuan, ini pembelaan saya terhadap kelompok minoritas,” kata Masthuriyah.
Menurutnya teman-teman waria perlu dibela dan diakui keberadaannya. Dikarenakan banyak sekali intimidasi dan diskriminasi yang mereka rasakan. Entah dari keluarga, teman sebaya, atau lingkungan sosial. “Teman-teman waria adalah bagian dari saya. Saudara saya,” tegasnya.
Senada dengan pendapat Masthuriyah, Dosen Psikologi Universitas Kristen Soegijapranata Semarang, Lita Widiya, memaparkan selama ini masyarakat sulit menerima waria. Alasannya karena dianggap menyimpang dari ajaran agama yakni menyalahi kodrat dari Tuhan.
Akibat dari stigma negatif, lanjut Lita, teman-teman waria kesulitan untuk menjalani aktivitas hariannya. Bahkan untuk beribadah seperti di masjid atau gereja saja mereka ketakutan akan penolakan dari masyarakat sekitar.
“Saya ingat ketika ngobrol dengan teman transpuan yang sudah senior, beliau mengatakan, ‘orang lain itu mau berbuat baik itu gampang untuk diterima, tapi kami untuk berbuat baik itu masyarakat sek..sek nanti dulu’ Mereka itu survivenya harus lebih dari kita,” ujar Lita.
Vinolia Wakijo atau yang kerap disapa Mami Vin, pelaku sejarah berdirinya Yayasan Kebaya, menceritakan sedari kecil ia sudah mengalami penolakan dari masyarakat. Tidak hanya penolakan terhadap masyarakat lingkungan sekitar, tetapi juga dari lingkungan terdekat.
“Saya sering dipukul kakak saya jika ada kesempatan, saya dipukul karena dolanan karo cah wedok (mainan sama anak perempuan), dipukul pake pring,” ungkap Mami Vin.
Sedari kecil Mami Vin terbiasa mengurus diri sendiri, bahkan sampai mendaftar ke sekolah. Tanpa diantar orang tua atau saudara. “Memang tidak dekat. Kalau dekat ya dibuat-buat. Sesama saudara itu ya sendiri-sendiri, gak dimomong,” ujarnya.
Maka dari itu Mami Vin justru merasa dekat dengan teman-teman di Kebaya. “Saya aktif organisasi. Bantu-bantu anak jalanan, waria, sampe mbak-mbak Sarkem. Tiap hari nemenin mereka jadi dekat,” katanya.
Lita menjelaskan bagi teman-teman waria peran keluarga bisa menjadi beragam. Tak heran jika kemudian muncul istilah keluarga non-biologis yaitu mereka yang tidak sedarah, tapi kedekatannya sama dengan keluarga biologis.
“Mereka di sana dapat kekuatan, bisa berkeluh kesah, curhat, ngembangin diri, dan yang lainnya,” tutur Lita.
Lita juga sangat mendukung dengan adanya komunitas-komunitas waria di Yogya. dikarenakan para waria dapat bebas mengekspresikan gendernya tanpa dihakimi. Pun dalam buku ini Masthuriyah membahas tuntas komunitas tersebut seperti Yayasan Kebaya, Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), Waria Crisis Center (WCC) dan Pondok Pesantren Waria Al-Fattah.
“Ada hal-hal yang menyenangkan ketika mereka bergabung dengan organisasi. Mereka ikut kegiatan dan membuat ruang aman jadi itu kan sesuatu yang positif,” Pungkas Lita.
Reporter Syifa Nurhidayah | Redaktur Maria Al-Zahra