Lpmarena.com – PKL Malioboro bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan mahasiswa menggelar diskusi dengan tajuk “PKL Bergerak, Mahasiswa Bersatu, Malioboro untuk Semua” di halaman Gedung Kuliah Terpadu (GKT) UIN Sunan Kalijaga. Diskusi ini menyoal dampak relokasi PKL yang serampangan pada Jum’at (06/09).
Supriyati, perwakilan PKL Malioboro menerangkan bahwa pihaknya merasa kecewa kepada pemerintah karena tidak dilibatkan selama proses relokasi dari selasar ke Teras Malioboro 2. Pasalnya, relokasi tersebut malah merampas kesejahteraan PKL karena pendapatan mereka yang menurun secara drastis pasca relokasi tersebut.
Alih-alih sejahtera, lanjut Supriyati, PKL justru mendapat problem lain pasca relokasi itu. Ia merinci problem itu mulai dari ukuran lapak tidak sesuai dengan yang dijanjikan, infrastruktur yang tidak memadai, serta penerangan yang sering padam. Namun, hal semacam itu tidak segera mendapat perhatian dari pemerintah.
“Kita awalnya lapaknya 150 cm ternyata kita mendapat 120 cm. Tempatnya panas, toilet sering mampet, bocor, banjir. Paling sering itu adalah listrik mati padahal pemerintah sudah menyediakan genset yang katanya sekelas mall tapi tidak pernah digunakan,” tegas Supriyati.
Ia juga merasa khawatir mengenai rencana relokasi tahap selanjutnya. Hal itu lantaran PKL akan kembali direlokasi dari Teras Malioboro 2, ke Ketandan atau belakang Ramayana Mall. Namun, PKL kembali tidak dilibatkan dalam pembuatan rancangan detail atau DED (Detail Engineering Design), serta tidak ada transparansi mengenai data PKL yang akan menempati relokasi tersebut.
Lebih jauh, ia menceritakan bahwa pemerintah telah abai terhadap hak PKL. Mereka hanya dijadikan objek bukan subjek, lantaran direlokasi secara sepihak tanpa ada transparansi dan partisipasi dari PKL itu sendiri. Menurutnya, kebijakan yang diambil pemerintah secara tidak langsung telah menghilangkan hak asasi bagi para PKL.
“Bukan hanya merampas mata pencaharian saya, tapi lebih ke seperti mengambil rumah saya. Karena waktu dulu pulang sekolah itu ke Malioboro. Jadi pulang hanya untuk tidur, karena separuh hidup saya di Malioboro,” ucapnya.
Senada dengan itu, Ach Nurul Luthfi perwakilan LBH Yogyakarta menerangkan, PKL diibaratkan semacam barang yang dipindahkan sesukanya oleh pemerintah tanpa adanya obrolan tatap muka. PKL dipaksa pindah dari selasar ke Teras Malioboro 2 tanpa jaminan kesejahteraan.
Ia juga menerangkan bahwa problem yang dihadapi PKL adalah di mana sekitar tahun 2014 ada pengakuan dari UNESCO bahwa sepanjang jalan Malioboro yang dimulai Tugu Pal Putih sampai Panggung Krapyak menjadi warisan budaya tak benda. Padahal menurutnya, PKL mendapat kesejahteraan setelah icon Yogya itu diresmikan menjadi sumbu filosofis, bukan malah di kesampingkan.
“Mereka (PKL, Red,) tidak pernah tahu mau dipindah kemana, karena tidak pernah dilibatkan mereka diusir. Dipindah kesana-kesini bukan memakai surat putusan, tapi hanya surat edaran pengumuman,” ujarnya.
Luthfi juga menyatakan narasi Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan hari ini dirasa sudah tidak relevan. Ruang-ruang publik yang ada di Malioboro, representasi dari narasi tersebut sudah hilang. Malioboro saat ini cenderung eksklusif. Kegiatan seperti berdagang, berkesenian, berdiskusi sudah jarang ditemukan.
“Hari ini Jogja sudah terbuat dari penggusuran, penindasan, dan ketidakadilan,” pungkasnya.
Repoter: Rizqina Aida | Redaktur: Ridwan Maulana