Home BERITA Direlokasi Tanpa Dialog dan Transparansi, Kesejahteraan PKL Malioboro Digantung

Direlokasi Tanpa Dialog dan Transparansi, Kesejahteraan PKL Malioboro Digantung

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com–Pedagang Kaki Lima (PKL)  Malioboro kembali menggelar aksi di depan Kantor Gubernur DIY, pada Rabu (11/09). Aksi dilakukan untuk menuntut pemerintah agar membuka ruang dialog dan menolak relokasi demi kesejahteraan PKL.

Dewi, Anggota Paguyuban Kartini, dalam orasinya menyayangkan kebijakan relokasi dari pemerintah yang sangat merugikan. Terlebih, pemerintah tidak pernah melakukan komunikasi secara langsung dan terbuka. Saat para PKL berpanas-panasan meminta kejelasan, mereka tutup mata dan telinga sembari menikmati ruangan ber-AC.

“Kalau memang benar Teras Malioboro itu untuk mensejahterakan, coba kita tantang di sini. Silakan pakai bukti,” katanya

Penurunan omset setelah direlokasi ke Teras Malioboro 2 masih dirasakan oleh para pedagang. Selain karena tempat yang tidak strategis, fasilitas yang diberikan juga memengaruhi tingkat penjualan, seperti ruangan panas, genteng bocor, dan listrik yang sering mati membuat pengunjung tidak nyaman untuk belanja. Hal tersebut menunjukkan bahwa relokasi yang dilakukan oleh pemerintah tidak mensejahterakan PKL.

Dewi juga menceritakan kondisi lapak yang diberikan oleh pemerintah. Katanya, ia akan mendapat lapak dengan luas 120×120 sentimeter, namun nyatanya hanya setengah dari itu. Ia juga harus mengeluarkan modal sebesar 4 juta untuk membayar sepetak lapak kosong tersebut. 

“Mau jualan apa? segini aja tidak bisa duduk, tidak bisa nafas,” katanya saat diwawancarai ARENA

Belum selesai dengan itu, pemerintah lagi-lagi akan melakukan relokasi yang membuat para pedagang merasa khawatir. Pasalnya, mereka akan ditempatkan di Ketandan dan Beskalan, di belakang deretan toko-toko, area yang tidak lebih strategis dari tempat sebelumnya untuk menarik daya beli wisatawan.

“Relokasi permanen berikutnya itu di belakang toko, apa tidak malah semakin terpuruk, yang kelihatan aja tidak berhasil,” katanya.

Rista, Ketua Paguyuban Kartini, mengatakan bahwa para pedagang bukan tidak mau untuk direlokasi, namun mereka ingin relokasi yang mensejahterakan. Selama direlokasi, omset yang didapat oleh pedagang terus menurun, sangat berbeda ketika berjualan di selasar Malioboro, semua PKL bisa dikatakan sejahtera dan tercukupi.

“Di sini dari pagi sampai malam ga laku, jangankan nabung, buat sehari-hari saja gak dapet,” katanya.

Selama ini pemerintah tidak pernah mengajak berdiskusi terkait relokasi, informasi yang didapat PKL hanya sebatas kabar angin. Bahkan, ketika ada masalah dan keluhan dari PKL, pemerintah hanya diam, tidak memberikan solusi. Misalnya pada masalah listrik, pada pedagang berusaha sendiri untuk mengadakan genset di setiap lorong.

Ach Nurul Luthfi, perwakilan LBH Yogyakarta, menjelaskan bahwa pada kebijakan relokasi ini harus ada transparansi dari pemerintah dan partisipasi dari masyarakat yang terdampak, dalam hal ini adalah PKL. Jika tidak, mereka tidak punya ruang untuk menyampaikan aspirasinya.

Luthfi Juga menceritakan bahwa pembuat kebijakan pada relokasi ini adalah pemerintah daerah dan pelaksana kebijakannya adalah pemerintah kota. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, keduanya malah saling melempar kewenangan dan tidak bertanggung jawab terkait rencana relokasi jilid II ini.

“Kita kemarin sudah pernah ke pemerintah kota, dari mereka lebih condong ini diselesaikan ke pemda, sedangkan dari pemda persoalan PKL ini dilempar kewenangan ke pemkot,” katanya.

Reporter Bachtiar Yusuf | Redaktur Niswatin Hilma