Semua bermula saat perut Re membuncit. Ia tak tahu siapa gerangan yang menghamilinya, apakah anak bupati atau guru les matematika. Re kabur dari rumah. Ibunya sudah meninggal, yang tersisa hanya nenek tanpa belaian kasih sayang. Ia memilih jalan hidup sebatang kara, kabur dari asuhan neneknya dengan membawa manusia mungil di dalam perutnya.
Re memilih pekerjaan sebagai pelacur lesbian dan menekuninya. Walaupun pekerjaan itu ternyata rentan bagi Re. Ia pernah ditampar, tangan dan kakinya diikat ke tiang ranjang, layaknya film-film horor (hlm. 75).
Di sisi lain, tak jarang Mami Lani mengoceh dengan umpatan-umpatannya seperti kejadian matinya Sinta, sahabat baik Re. “Kalian itu kalau mati jangan ngerepotin Mami” kemudian Mami melanjutkan, “Selama di sini semua keperluan kalian sudah Mami urus. Mbok ya, kalau mati jangan bikin pusing kayak Sinta” (hlm. 13).
Perkataan Mami Lani yang terkesan bengis dan tidak berperasaan seperti itu menunjukkan realitas kehidupan bawah tanah yang keras. Hal ini didorong karena faktor ekonomi yang membuat Mami Lani terbutakan oleh materi dan mengesampingkan rasa kemanusiaan. Hal yang penting buatnya, bisnis rumah bordilnya terus berjalan.
“Baguslah kalau tidak ada yang tahu. Jadi nggak harus repot mencari dan menjelaskan. Mempermudah urusan!” (hlm. 9).
Novel Re dan PeRempuan karya Maman Suherman dibuka dengan kisah pilu kematian Sinta yang mati secara misterius. Maman menggambarkan risiko kerja yang dihadapi pelacur melalui kisah Sinta. Kematian pelacur tidak akan pernah diusut tuntas oleh pihak-pihak berwenang. Hanya menjadi berita seliweran saja di koran. Re sangat terpukul dan gelisah akan kepergiannya.
Mami Lani, seorang mucikari yang menolong hidup Re, tapi juga memperburuk hidupnya. Re dipaksa bekerja sebagai pelacur lesbian, melayani para perempuan yang orientasi seksualnya kepada sesama jenis, hampir setiap hari. Mulai dari artis papan atas hingga istri pejabat pernah memesannya. Namun, Re tidak pernah mendapat kesenangan (seksual) dalam pekerjaannya–berbanding terbalik dengan para pelanggannya,
Rentan mendapat kekerasan dan tak mendapat penghasilan yang cukup dalam pekerjaan, pelacur malah mendapat stigma sangat buruk di kalangan masyarakat–begitulah premis singkat bab ketiga dari novel setebal 330 halaman ini. Stigma buruk itu salah satunya didapat dari wacana media dalam memberitakan para pelacur. Seperti, “Pelacur Mabuk Tewas Dilindas Mobil!” dan “Pelacur Temui Ajalnya dengan Sangat Mengenaskan. Ditabrak Mobil, Tubuhnya Terseret, Darah dan Otaknya Berceceran!”
Terlepas dari stigma-stigma buruk masyarakat terhadap pelacur, nyatanya pelacur justru merepresentasikan omon-omon yang biasa digaungkan oleh pemerintah dan pejabat. Omon-omon perihal persatuan dan kesatuan yang hanya menjadi dongeng rutinan di telinga. Pekerjaan sebagai pelacur sejatinya soal persatuan dan kesatuan; ketika sedang melayani para pelanggannya, tidak peduli siapa yang berada di balik pintu, pelacur tidak menghakimi dan membeda-bedakan siapapun itu, baik ras, suku, warna kulit, agama, miskin atau kaya.
Walaupun dikucilkan dari sosial, novel ini memperlihatkan kehidupan pelacur yang tak ubahnya seperti kehidupan dosen, dokter atau guru. Seorang single parent yang harus berbanting tulang untuk memberi susu dan popok pada bayinya. Seorang manusia yang berusaha mengangkat martabat keluarga kecilnya. Sayangnya, masyarakat luput untuk menengok sisi-sisi lain dari kehidupan pelacur.
Jika pelacur di cap buruk, dimanakah tanggung jawab pemerintah akan kesejahteraan rakyatnya? Hanya melakukan penggusuran rumah bordil mereka saja tanpa memberi kepastian pekerjaan setelahnya. Padahal tak dapat dimungkiri sebagian oknum-oknum pemerintah juga mengeluarkan nafsu syahwatnya lewat para pelacur.
Re sadar akan stigma buruknya, maka ia memutuskan menitipkan bayinya pada Pak Sutadi dan Bu Marlina, pasangan berkepala empat yang tak kunjung dikaruniai buah hati. Dengan berat hati, Re juga menyembunyikan identitasnya sebagai ibu kandung dari Melur, anaknya. Ia tak ingin Melur terbebani dengan stigma ‘anak haram’ atau ‘anak pelacur’ saat dewasa. Pekerjaan Re berat dan cukup ia saja yang memikulnya.
Sosok Re mengingatkan akan ibuku di rumah. Seorang ibu yang baik, kasih sayangnya begitu tulus dalam memberi perhatian kepada anaknya meskipun tak sempat untuk bertemu. Entah rasa rindu pada ibuku atau rasa kagum pada Re, novel ini berhasil membuat air mataku mengalir.
Kasih sayang Re pada Melur terlihat sejak awal ia ingin anaknya masuk ke sekolah terbaik. Pendidikan adalah langkah terbaik perempuan untuk menambah values dalam dirinya. Dengan kecerdasaan yang telah ia emban atas perjalanan panjang menempuh cakrawala ilmu dan doa seorang ibu, Melur telah berhasil mendapatkan gelar Ph.D.
Terkadang berpendidikan tinggi menjadi ketakutan bagi perempuan. Ketakutan jika tidak ada lelaki yang mau menikahinya–tapi siapalah yang peduli ketika pendidikan justru dapat mengangkat derajat keluarga dan diri sendiri.
Bertahun-tahun menjadi pelacur, Re kehilangan hak politik seksual, baik untuk mendapatkan keuntungan material berkelanjutan maupun kesehatan biologisnya. Ia dihantui oleh kata-kata Mami Lani yang membuat hidupnya tak bisa terlepas dari kekangan Mami Lani. “Kalau kamu lari sebelum utang-utangmu lunas, Mami akan kejar sampai ke mana pun. Bahkan ke liang lahat akan Mami cari!”
Sekelumit kehidupan pelacur dalam buku ini tidak hanya membahas ranah sosial, tapi juga sisi religiusitas hubungan manusia dengan tuhan-Nya. Ia yakin Tuhan masih memberinya pahala dan ampunan sebanyak apapun dosa yang ia dan teman-temannya pikul. Mulutnya masih komat-kamit sepanjang waktu, mengingat Tuhan. “Sinta mati terbunuh dan dosanya telah habis dipikul oleh pembunuh, Sinta telah nyaman di surga-Nya.”
Judul Re: dan peRempuan | Penulis Maman Suherman | Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) | Tebal 330 hlm | Cetakan Mei 2022 | Peresensi Bahtiar Yusuf
Editor Maria Al-Zahra