Lpmarena.com–Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengadakan diskusi dan nonton bareng dokumenter “Pesta Oligarki” pada Jum’at (25/10) di Sekretariat AJI. Film ini rilis tepat menjelang pengukuhan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada 19 Oktober 2024. Hadirnya film ini memberi refleksi mendalam bagi demokrasi di Indonesia, salah satunya nihilnya pihak oposisi.
Zainal Arifin, Dosen Hukum Tata Negara UGM, menjelaskan pasca reformasi tepatnya sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono partai oposisi masih setengah-setengah untuk beroposisi. Partai oposisi seperti PKB dan PDI seperti saklar yang terkadang menjadi oposisi dan terkadang koalisi. Sedangkan di pemerintahan Jokowi, tidak ada lagi namanya partai oposisi.
“Ruang yang tersisa adalah oposisi publik yang seharusnya ditampilkan. Tapi kita gagal dalam membangunnya,” ujar Zainal.
Menurut Zainal, salah satu cara untuk membangun oposisi publik dapat digencarkan mahasiswa dari berbagai universitas. Sayangnya penanaman ideologi untuk beroposisi tergerus karena pihak universitas sendiri sudah berkoalisi dengan rezim oligarki.
Ia menambahkan, sikap dan kebijakan universitas dapat mempengaruhi mahasiswa. Pengalamannya mengajar selama 20 tahun di kampus membuat Zainal merasa tidak mengenal mahasiswa yang katanya sebagai ‘agent of change’. Alasannya banyak mahasiswa yang fomo dan menjadi apatis dalam melihat negaranya sendiri. Kesadaran kritis seharusnya dimiliki oleh mahasiswa agar dapat disalurkan ke masyarakat umum.
“UGM itu hipokritnya nauzubillah itu, sampai tahun ‘65 UGM itu misinya adalah membentuk masyarakat sosialis. Tapi sekarang UGM setiap ada urusan administrasi diumumkan oleh negara, akan langsung ikut melakukan penataan administrasi ke bawah,” paparnya.
Padahal menurut Zainal, universitas seharusnya dapat menjadi pengawal, penasehat dan pengkritik kebijakan pemerintah. Tujuannya agar kebijakan yang dibuat tidak hanya menyasar para oligarki, tapi semua masyarakat. Seharusnya universitas dapat diandalkan dalam peran tersebut.
Seperti pendapat Sigit Riyanto dalam salah satu scene di film itu. “Ketika pertimbangan pertimbangan atau pendapat pendapat akademisi diabaikan. Kita bisa melihat akan terjadi Turbulensi yakni kemunduran di dalam tata Kelola dan akan terjadi distrust atau ketidakpercayaan,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum UGM.
Fandhi Bagus selaku produser film juga mendorong masyarakat sipil untuk lebih peka terhadap modus-modus yang dilakukan rezim oligarki. Contohnya yaitu pembangunan narasi bahwa Jokowi adalah presiden yang ‘baik’ karena membangun infrastruktur. Padahal indikator pemimpin negara yang ‘baik’ harusnya berasal dari berbagai sisi, bukan hanya satu.
“Ngomongin infrastruktur yang dibangun Jokowi itu signifikan secara ekonomi, juga kalau kita lihat indikator misalnya tingkat biaya logistik kita, masih jauh dibawah rata rata. Jadi gak ada indikator yang menunjukkan kita baik-baik saja,” jelas Fandhi.
Zainal berharap dengan adanya film ini bisa menyadarkan masyarakat untuk kembali merebut ruang publik atau suara publik untuk mengkritik pemerintah.
“Kita bukan hanya sekedar gagal merebut ruang publik, gagal membahasakan di ruang publik itu kesadaran macam apa yang seharusnya ditawarkan, menurut saya. Dan tamparan ini buat saya juga dan buat kita semua teman-teman wartawan dan teman-teman dosen,” pungkasnya.
Reporter Iqbal Farraz (magang) | Redaktur Maria Al-Zahra